Masuk Daftar
My Getplus

Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia

Banyaknya persilangan lintasan kereta dengan kendaraan bermotor jadi sebab rel diangkat ke udara.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 19 Apr 2019
Kereta Rel Listrik berteknologi Rheostatik buatan Jepang memasuki stasiun layang. (Wikimedia).

Kereta Rel Listrik (KRL) atau Commuter Line Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi (Jabodetabek) akan mempunyai jalur layang (elevated) lagi. Pembangunan jalur layang menyasar rute melingkar (loop line) mulai 2020. Dari Stasiun Manggarai, Tanah Abang, Kampung Bandan, Kemayoran, hingga ke Jatinegara. Panjangnya 24 kilometer dengan nilai investasi Rp16 triliun.

Jika terwujud, jalur layang KRL loop line melengkapi jalur layang pertama untuk KRL rute tengah (central line) Manggarai–Kota. Jalur layang pertama ini beroperasi sejak 1992. Tapi perencanaannya telah bermula pada dekade 1970-an. Seiring dengan keinginan pemerintah memperbaiki pelayanan KRL untuk mendukung penerapan konsep Jabotabek.

KRL beroperasi di Batavia sejak 6 April 1925. Melintas pada rel ganda (double track) listrik Tanjung Priok (utara) ke Jatinegara (timur) sejauh 15,6 kilometer. Kemudian jalur listrik berkembang (elektrifikasi) ke Manggarai (selatan), Kota (barat), Kampung Bandan (utara), dan kembali ke Tanjung Priok pada Mei 1927. Inilah jalur awal KRL di pusat kota Batavia. Bentuknya melingkari kota. Karena itu ia disebut Ring Baan.

Advertising
Advertising

Semula akan Bawah Tanah

Pemerintah kolonial meneruskan jalur KRL dari Manggarai hingga ke Buitenzorg (selatan) pada 1930. Tujuannya untuk melayani kebutuhan penumpang untuk keluar-masuk kota. Tapi jalur ini masih rel tunggal (single track). Demikian catatan buku Sejarah Perkeretaapian di Indonesia.

KRL menjadi transportasi publik andalan warga hingga 1965. Utamanya kaum pedagang. Menurut Soemarno, gubernur Jakarta 1960–1964, KRL melayani sekira 80.000 orang sehari. Penumpang terpadat berada pada jalur Manggarai–Kota. Soemarno menginginkan jalur ini masuk ke perut bumi. Sebab jalur permukaan “menimbulkan kemacetan lalu-lintas,” kata Soemarno dalam Djaja, 15 Februari 1964.

Baca juga: Setengah Abad Wujudkan Subway di Jakarta

Tapi gagasan itu meluntur. Seiring dengan pergantian kekuasaan dan merosotnya pelayanan KRL pada 1965. KRL sempat berhenti operasi sampai 1972. Masa ini konsep pengembangan wilayah Jakarta dan pinggirannya (Jabotabek) muncul. Pengembangan ini perlu didukung oleh transportasi publik yang memadai. Pilihannya jatuh pada KRL yang lagi mati suri.

Untuk menghidupkan kembali layanan KRL, pemerintah daerah dan Perusahaan Jawatan Kereta Api (PJKA) beroleh bantuan dari konsultan transportasi asal Jerman Barat. Kajian konsultan Jerman Barat terangkum dalam tiga bagian: Jakarta Metropolitan Area Transportation Study (JMATS), Jakarta Mass Rapid Transit Study (JMRTS), dan Jakarta Rapid Transit Study Eastern Corridor (JRTSEC).

“Studi tim mengisyaratkan bahwa untuk membangun sistem angkutan umum cepat dibutuhkan waktu lama,” tulis Clayperon No. 28, 1989. Pembangunan itu menyangkut perubahan sistem jalur KRL dan integrasinya dengan angkutan umum lain. Jalur KRL nantinya bukan hanya harus dipendam dalam perut bumi, tapi sebagian juga perlu diangkat ke udara. Biayanya terlalu tinggi. Tak terjangkau kocek pemerintah.

Baca juga: Proses Lahirnya Konsep Pengembangan Jabotabek

Bahkan untuk meninggikan peron stasiun sejajar dengan pintu KRL pun, tak ada dana dari pemerintah. Zaman itu naik-turun KRL perlu usaha sedikit melelahkan. Sebab celah antara peron stasiun dan pintu masuk KRL terlalu tinggi.

Peran Jepang

Maka pemerintah mengambil jalan tengah berupa meningkatkan fasilitas kelistrikan, memanfaatkan kembali jalur yang ada (existing), dan mendatangkan rangkaian KRL baru dari Jepang. Dari sinilah Jepang mulai menjajaki kemungkinan kerja sama dengan pemerintah untuk turut memperbaiki layanan KRL Jabotabek.  

Japan International Cooperation Agency (JICA), lembaga kerja sama teknik punya Jepang, dan Japan Railway Technical Services (JARTS), mengusulkan pembangunan jalur layang KRL pada rute tengah dari Manggarai sampai Kota sejauh 9,5 kilometer pada 1977. Mereka menyatakan siap membantu pengerjaan desain dan pencarian dananya.

Baca juga: MRT Sebuah Keajaiban di Jakarta!

Pemerintah menyepakati saran JICA dan JARTS. Kemudian mereka membuat panitia pengarah bersama. Terdiri atas Departemen Perhubungan, Bappenas, Departemen Keuangan, Departemen Pekerjaan Umum, Pemerintah DKI Jakarta, dan PJKA. Tugasnya membuat rencana induk (master plan) pengembangan KRL Jabotabek hingga tahun 2000 bersama JICA dan JARTS.

“Rencana induk ini dimaksudkan agar tercapai peran serta jalan kereta api dengan menyediakan sarana angkutan yang cocok bagi rakyat di kawasan yang tercakup dalam proyek ini,” tulis Clayperon No. 18, 1984

Rencana itu terbit pada 1981. Salah satu rencananya memasukkan pula pembangunan jalur layang rute tengah. Pembangunan ini menjadi prioritas. Sebab rute ini begitu padat penumpang. Untuk mengurangi kepadatan, armada KRL harus bertambah sehingga selang waktu keberangkatan bisa berkurang.

Tapi rute tengah mempunyai 19 persilangan dengan jalan kendaraan bermotor. Menambah armada kereta berarti menciptakan masalah baru selama jalur tersebut masih berada di permukaan. Misalnya masalah antrean kendaraan bermotor selagi menunggu di perlintasan dan kemungkinan kecelakaan antara KRL dengan kendaraan bermotor.   

Baca juga: Serba-Serbi Penjaga Persilangan Kereta Api

Kajian JICA dan JARTS menawarkan tiga pilihan kepada pemerintah terkait pembangunan jalur layang KRL.

Pertama, pembangunan jalur layang tepat di atas jalur lama. Konsekuensinya seluruh perjalanan KRL harus dihentikan. Lamanya waktu pengerjaan 6 tahun 1 bulan dengan biaya Rp82,7 miliar.

Kedua, pembangunan jalur layang berada di atas satu lajur KRL lama. Cara ini  berbiaya lebih mahal, tetapi memiliki keuntungan pada waktu pengerjaan lebih singkat dan tidak menggangu perjalanan KRL.

Ketiga, pembangunan jalur layang cukup di samping jalur lama. Biayanya memang mencapai Rp103,4 miliar, tetapi waktu pengerjaan hanya 4 tahun, dan KRL tetap beroperasi normal.

Baca juga: Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik

Pemerintah akhirnya memilih opsi terakhir. Lebih mahal, tetapi tidak banyak menimbulkan masalah. Pembangunan jalur layang KRL berlangsung dalam beberapa tahap: kajian awal, pembebasan lahan, konstruksi, penambahan dua stasiun (Mangga Besar dan Jayakarta), pengangkatan stasiun, pemasangan teknologi kelistrikan dan persinyalan, dan uji coba KRL. Dimulai pada Februari 1988 dan berakhir pada awal 1992.  

Jalur layang KRL rute tengah kali pertama beroperasi pada 5 Juni 1992. Presiden Soeharto meresmikan jalur ini dengan menjajal naik KRL buatan Jepang dari Gambir menuju Kota.

Berkat jalur layang ini, perjalanan KRL bisa lebih aman dan frekuensinya akan bertambah. Turut pula membantu naik-turun penumpang sebab tinggi peron dan pintu masuk kereta hampir sejajar.

TAG

transportasi kereta api jepang

ARTIKEL TERKAIT

Keluarga Jerman di Balik Serangan Jepang ke Pearl Harbor Susu Indonesia Kembali ke Zaman Penjajahan Uprising Memotret Kemelut Budak yang Menolak Tunduk Ulah Mahasiswa Kedokteran yang Bikin Jepang Meradang Mahasiwa yang Menolak Militerisme Jadi Orang Sukses Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian II – Habis) Melihat Tentara Hindia dari Keluarga Jan Halkema-Paikem Tamatnya Armada Jepang di Filipina (Bagian I) Azab Pemburu Cut Meutia Prabowo Berenang di Manggarai