Masuk Daftar
My Getplus

Serba-serbi Penjaga Persilangan Kereta Api

Penjaga persilangan kereta ikut berjuang menyabotase kereta Jepang. Menghentikan rombongan presiden dan tamu negara.

Oleh: Hendaru Tri Hanggoro | 08 Mei 2019
Dua orang menjaga persilangan kereta api. (Tropenmuseum).

KERJA menjaga persilangan kereta dengan kendaraan bermotor sekilas terlihat mudah. Sudah ada sejumlah petunjuk teknis dan peralatan pembantu di dalam gardu jaga. Penjaga tinggal menerima sinyal otomatis tanda kereta akan lewat, menjawab panggilan telepon dari petugas stasiun, membunyikan alarm, dan menekan tombol palang penutup persilangan.

Tapi ada saja pengendara dan pejalan kaki menerabas palang penutup persilangan. Tidak sabar menunggu kereta lewat. Kecelakaan pun kerap kali berulang di persilangan. Banyak korban luka atau meninggal. Juga kerugian material dari tabrakan kereta dengan kendaraan di persilangan.

Baca juga: Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa

Advertising
Advertising

Tanggung jawab penjaga persilangan kereta jadi lebih berat daripada kerjanya. Mereka turut memastikan perjalanan kereta lancar dan setiap nyawa aman selama di persilangan. Dalam sejarah perkeretaapian Indonesia, posisi mereka awalnya disebut sebagai Baanwachter. Kehadirannya seiring dengan operasional kereta api di Hindia Belanda pada 1867 sepanjang jalur Semarang-Kemijen-Tanggung di Jawa Tengah.

Status baanwachter tergolong pegawai rendahan atau tenaga kasar. Mereka setara perawat rel, juru rem, tukang wesel, dan kuli plat. Semuanya berasal dari golongan anak negeri dan bergaji ala kadarnya. Mereka bekerja untuk perusahaan kereta api swasta, Nederlansch Indische Spoorweg Maatschappij (NISM). Perekrutannya “dipenuhi dengan cara magang dan pelatihan sambil bekerja,” catat Tim Telaga Bakti Nusantara dalam Sejarah Perkeretaapian Indonesia Jilid 1.

Melarat, Tapi Revolusioner

Kondisi ini tak berubah ketika pemerintah kolonial mulai membangun dan mengambil alih jalur kereta api di sejumlah wilayah Hindia Belanda. Para penjaga persilangan kereta masih memperoleh gaji rendah di bawah kendali perusahaan kereta api negara, Staats Spoorwegen (SS).

Malah kadang keadaan di SS lebih buruk daripada di perusahaan kereta swasta. Saking melaratnya nasib pegawai rendahan di sana telah mengubah kepanjangan SS. “Loemrahnja ra’jat itoe mengatakan bahwa perkataan SS itoe mempoenjai arti Selamanja Soesah,” catat Boekoe Peringatan dari Staatspoor-en Tramwegen di Hindia Belanda 1875—1925.

Tapi rendahnya kesejahteraan tak menghalangi dedikasi penjaga persilangan terhadap pekerjaannya. “Mereka itulah yang disebut ‘si pendiam yang bekerja dengan rajinnya’ atau dalam bahasa Belanda dijuluki de stille werkers’,” tulis Tim Telaga Bakti Nusantara. Mereka tidak kurang jasanya dalam menjaga keselamatan perjalanan kereta api.

Baca juga: David Maarschalk dan Perusahaan Kereta Api Negara

Pengecualian terjadi pada masa akhir pendudukan Jepang. Masa ini menandai aksi-aksi revolusioner para penjaga persilangan kereta. Mereka tidak lagi bertugas memastikan keselamatan perjalanan kereta, melainkan justru menyabotasenya agar Jepang angkat kaki dari Indonesia. Bentuk sabotasenya bermacam-ragam.

“Sabotase dalam bentuk lain dilakukan oleh para penjaga pintu kereta api dengan cara menggeser rel kereta api atau memindahkan rel secara tiba-tiba, sehingga kereta api terbalik. Peristiwa sabotase seperti ini terjadi di Lasem, Pemalang, dan Pekalongan (semuanya di Jawa Tengah, red.),” tulis Razif dalam “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai” termuat di Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa.

Masa kemerdekaan menempatkan penjaga persilangan kereta kembali pada tugasnya semula. Juga pada nasibnya: melarat. Sebilangan mereka berpendidikan rendah. Bahkan tidak bisa membaca dan menulis. Sebilangan lainnya kombinasi pendidikan rendah dan telah uzur.

“Mestinya saya harus rajin mengikuti Pemberantasan Buta Huruf, tetapi maklumlah, pikiran sudah tua. Mau belajar rasanya mau lupa-lupa saja dan malas,” kisah seorang penjaga persilangan dalam “Djakarta Sehari-Hari Menunggu Lontjeng Pintu Kereta Api” termuat di Djaja, 27 Oktober 1962.

Baca juga: Sejarah Kereta Api Malam di Indonesia

Si penjaga menginginkan pekerjaan dan upah lebih baik. Tapi rendahnya pendidikan menghalanginya memperoleh kesempatan lebih luas sehingga memaksanya tetap melakoni kerja sebagai penjaga persilangan hingga pensiun.

Si penjaga mengaku pekerjaannya tidak bikin sejahtera. Minim perhatian pula dari Djawatan Kereta Api (DKA). “Pada hari hujan, tidak ada jas hujan dari DKA. Duduk saja di pojok gardu…Saya harap Saudara tidak usah menjadi tukang jaga pintu kereta api,” ungkap si penjaga.

Selain soal kesejahteraan, hal paling menekan untuk si penjaga ialah mentalitas menerabas dari para pengguna jalan. “Orang-orang apalagi zaman sekarang, maunya main angkat pintu saja dan menerobos. Tidak peduli keselamatan diri sendiri atau orang lain terancam. Padahal kalau ada apa-apa kami juga yang akan di bawa kemana-mana,” katanya.

Nyali Besar

Lain kala dulu, lain masa kemudian. Pengalaman Slamet, penjaga persilangan lain, bahkan harus mengambil keputusan berani dan sulit. Misalnya menghentikan rombongan Presiden Indonesia dan Perdana Menteri Singapura.

Cerita ini terjadi di persilangan kereta Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada 3 Juni 1980. Perdana Menteri Singapura Lee Kuan Yew tiba di sana siang hari dalam rangkaian tugas kenegaraannya. Presiden Soeharto beserta istri, sejumlah menteri, dan para perwira tinggi militer menyambut kadatangan Lee. Mereka berbasa-basi sejenak, lalu masuk ke mobil.  

Baca juga: Ketika Presiden Naik KRL

Iring-iringan mobil para pembesar dua negara bergerak meninggalkan Bandara Adisucipto. Sesuai jadwal protokol kepresidenan, pukul 12.05. Jumlah mobilnya puluhan. Mereka hampir tiba di persilangan kereta bandara. Sudah mau keluar dari Bandara. Tapi mereka harus berhenti ketika Slamet, penjaga persilangan, menurunkan palang dan membunyikan lonceng tanda kereta akan lewat.

“Ternyata pada saat itu sinyal dari stasiun kereta api di Maguwo bergerak naik. Slamet dengan cepat memutuskan palang pintu kereta harus segera ditutup,” tulis Julius Pour dalam “Sebelas Menit Memberhentikan Perjalanan Pak Harto”, termuat di Pengalaman dan Kesaksian Sejak Proklamasi Sampai Orde Baru.

Karuan sirine dan klakson kendaraan pengawal para pembesar dua negara tersebut berbunyi kencang. Beradu dengan suara lonceng persilangan kereta. Pengawal rombongan meminta Slamet membuka palang persilangan.

Baca juga: Tragedi Kecelakaan Kereta Api di Bintaro

Slamet sadar dia sedang berhadapan dengan rombongan Presiden Soeharto dan Perdana Menteri Singapura. Tapi dia tak bisa memenuhi permintaan pengawal rombongan. “Kalau palang pintu kereta tidak saya tutup, segalanya pasti akan lebih kacau. Siapa bisa menjamin kereta apinya bisa dihentikan,” kata Slamet.

Beberapa menit telah berlalu. Kereta tak kunjung muncul. Suasana kian tegang. Perwira tinggi militer seperti Mayor Jenderal Benny Moerdani dan Letnan Jenderal Widjojo Suyono turun dari mobil. Mereka lekasan menyuruh Slamet mengangkat palang kereta dan kasih jalan kepada rombongan.

Slamet kukuh pendirian. “Ia malah balik mengancam. ‘Kalau palang ini dibuka paksa, saya akan menguncinya’,” ungkap Julius Pour mengutip ucapan Slamet.

Para perwira tinggi militer dan pengawalnya pun mengalah pada Slamet, seorang yang berpangkat rendah dalam hierarki Perusahaan Jawatan Kereta Api.

Baca juga: Chemistry Lee Kuan Yew Pada Soeharto

Rombongan Soeharto dan Lee Kuan Yew terpaksa menunggu hingga sebelas menit di persilangan. Mereka menyaksikan serangkaian kereta barang melintas. Kemudian Slamet membuka palang, mempersilakan rombongan melanjutkan perjalanan.

Slamet, seorang pegawai rendahan bergaji Rp42.000 sebulan (kebutuhan hidup saat itu setidaknya Rp100.000 per bulan), mengaku berat hati menghambat perjalanan rombongan Soeharto dan Lee Kuan Yew. Tapi dia juga yakin pada apa yang telah dikerjakannya.

“Apakah perbuatan saya salah? Saya yakin tidak. Itu semua saya lakukan justru sebagai tanggung jawab tugas saya. Bahwa kereta api tersebut terpaksa harus ditunggu lama sekali baru muncul, setelah belasan menit, memang sangat keterlaluan, tetapi saya toh bukan masinisnya, saya hanya penjaga pintu kereta,” kata Slamet.

Seiring perbaikan kinerja dan pendapatan PT Kereta Api Indonesia, kesejahteraan penjaga persilangan kereta turut membaik. Gajinya kini rerata di atas Upah Minimum Provinsi. Ada pula berbagai macam tunjangan dan fasilitas. Putus sudah lingkaran kemelaratan ratusan tahun.*

TAG

transportasi kereta api buruh

ARTIKEL TERKAIT

Insiden Menghebohkan di Stasiun Kroya Soerjopranoto Si Raja Mogok Pemogokan Buruh Kereta Api di Bulan Puasa Sejarah Kereta Malam di Indonesia Masa Lalu Lampu Lalu Lintas Pemilik Motor Pertama di Indonesia Sukarno Bikin Pelat Nomor Sendiri Sejarah Pelat Nomor Kendaraan di Indonesia SIM untuk Kusir dan Tukang Becak Begitu Sulit Mendapatkan SIM