Sepuluh hari menjelang Lebaran pada Mei 1923. Buruh-buruh kereta api di Jawa murung. Biasanya mereka menyambut lebaran dengan riang. Pengaruh resesi ekonomi sejak pertengahan 1922 masih terasa. Perusahaan kereta api negara dan swasta menghapus sejumlah tunjangan dan memangkas kenaikan gaji. Hidup belasan ribu buruh tak menentu.
Buruh-buruh kereta api memutuskan bertindak. Bulan puasa tahun 1923 menjadi puncak perlawanan mereka terhadap kebijakan perusahaan kereta api. Mereka mogok kerja pada 9 Mei 1923, tepat sepuluh hari sebelum Lebaran. Tuntutan buruh sederhana saja: perbaikan kesejahteraan.
Selama buruh kereta api mogok kerja, layanan kereta api penumpang dan barang pun lumpuh. Perusahaan kereta api marah bukan main. Mereka mengancam para buruh dengan pemecatan.
Baca juga: Ketika Genderang Buruh Ditabuh
“Pada tanggal 13 Mei, Perusahaan Kereta Api Negara meningkatkan tekanan mereka dengan memerintahkan semua pemogok yang tinggal di rumah-rumah milik perusahaan kereta api untuk mengosongkannya dalam waktu 24 jam,” tulis John Ingleson dalam “Pemogokan Buruh Kereta Api Tahun 1923” termuat di Tangan dan Kaki Terikat Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial.
Pemerintah kolonial turun tangan membantu. Polisi dan tentara masuk ke perkampungan buruh kereta api. Mereka menyisir rumah-rumah para buruh pemogok di Surabaya, Madiun, Semarang, dan Cirebon. Mereka juga mengejar dan menangkap para pemimpin pemogokan buruh.
Peran VSTP
Kebanyakan pemimpin pemogokan buruh kereta api berasal dari serikat buruh kereta api dan trem listrik (Vereniging van Spoor en Tramweg Personeel/VSTP). Beberapa namanya antara lain Semaoen (Semarang), Djaid (Cirebon), Kartaatmaja (Surabaya), dan Mohamad Sanoesi (Bandung). Sebilangan mereka juga menjadi tokoh di Partai Komunis Indonesia dan Sarekat Islam.
VSTP berdiri di Semarang pada 14 November 1908. Pendiri awalnya 63 buruh Eropa dari tiga perusahaan kereta api swasta di Semarang. Masa itu kereta api bukanlah usaha monopoli pemerintah seperti masa sekarang.
“Awal abad ke-20 jumlah perusahaan kereta api di Hindia Belanda telah mencapai 12 perusahaan, satu perusahaan Staats Spoorweg (SS) milik pemerintah Belanda dan 11 perusahaan lainnya adalah milik swasta yang beroperasi di Jawa dan Sumatra,” tulis Razif dalam “Buruh Kereta Api dan Komunitas Buruh Manggarai” termuat di Dekolonisasi Buruh Kota dan Pembentukan Bangsa.
Baca juga: Mengenang Keretapi Zaman Kolonial
Selain VSTP, serikat buruh kereta api lainnya adalah SS-Bond, serikat buruh kereta api milik pemerintah kolonial yang berdiri pada Oktober 1905. Kedua serikat ini sebermula memiliki persamaan: terbatas pada orang Eropa dan sebilangan kecil buruh Indonesia terampil.
“Buruh terampil adalah buruh yang memiliki keahlian tertentu seperti juru tulis, tenaga administratif, teknisi, masinis, dan kondektur,” tulis Kalam Jauhari dalam Radikalisasi Buruh Kereta Api di Perkotaan 1914—1926, tesis pada Program Studi Ilmu Sejarah Universitas Gajah Mada. Tak ada keinginan dan keseriusan dari para pemimpin dua serikat buruh kereta api itu untuk merekrut buruh anak negeri rendahan.
Tetapi mulai 1909, SS-Bond mulai berubah pandangan. Mereka merekrut lebih banyak buruh anak negeri.
Jumlah buruh anak negeri meningkat hampir separuhnya dari total anggota SS-Bond. Perubahan ini ternyata tidak berarti banyak bagi buruh anak negeri. Aktivitas SS-Bond hanya berkutat pada persatuan di kalangan buruh kereta api milik pemerintah. Mereka tidak punya visi dan gerak untuk memperbaiki kehidupan para buruh. Akhirnya SS bubar pada 1912.
VSTP tidak seperti SS-Bond. Gagasan dan geraknya lebih dinamis. Terlebih ketika Henk Snevliet, tokoh Partai Buruh Sosial Demokrat Belanda, datang pada 1913. Inilah masa ketika perubahan terjadi dalam orientasi dan pandangan VSTP.
Baca juga: Menelusuri Jejak Henk Sneevliet di Semarang
“Dia mendesak serikat-serikat kerja di Hindia untuk tidak hanya multirasial, tetapi juga harus bekerja atas nama mayoritas masyarakat Indonesia yang dibayar rendah,” tulis John Ingleson.
Gagasan Henk tembus dalam rapat-rapat eksekutif VSTP sepanjang 1913. VSTP mulai memberikan ruang lebar bagi buruh anak negeri. Bahkan VSTP juga menyediakan jatah kursi eksekutif pusat untuk mereka.
Perubahan lainnya terus bergulir di VSTP. Sebelum 1913, mayoritas anggota VSTP berkebangsaan Eropa. Setelah 1913, buruh anak negeri menjadi mayoritas anggota VSTP.
Sejumlah anak negeri menduduki kursi pemimpin eksekutif cabang-cabang VSTP di Jawa. Mereka punya tingkat pendidikan lebih tinggi dari rekannya sesama anak negeri. Karena itu, mereka punya kesadaran tentang eksploitasi terhadap buruh kereta api dari perusahaan. Untuk memperluas kesadaran ini pada buruh lainnya, mereka menerbitkan majalah Si Tetap pada 1915.
Mendapat simpati
Si Tetap memberitakan keadaan buruh kereta api di berbagai tempat di Jawa. “Kabar itu umumnya berisi keluhan yang membentang luas, mulai dari pengeluaran mereka untuk hidup dibanding upah, kecemburuan pada kelompok pekerja lain, dan kekerasan yang dilakukan atasan hingga masalah pakaian dan seragam kerja, kesulitan pribumi untuk buang air, penerangan, kursi, dan buffet,” tulis Kalam.
Baca juga: Serba-Serbi Penjaga Persilangan Kereta Api
Si Tetap mempunyai pengaruh cukup besar dalam menumbuhkan kesadaran buruh kereta api. Dari majalah ini diketahui bahwa tekanan buruh kereta api tidak hanya berasal dari perusahaan, melainkan juga dari peningkatan tajam biaya hidup di kota, diskriminasi rasial di segala bidang, dan sejumlah permasalahan perkotaan lainnya.
Tekanan-tekanan ini kemudian menumpuk. Para pemimpin VSTP merencanakan sejumlah aksi mogok selama 1910-an. Beberapa pemogokan berlangsung, tetapi tidak cukup berhasil. Penyebabnya kurang koordinasi. Ini membuat pemimpin VSTP belajar mengoordinasikan pemogokan secara lebih luas.
Resesi pada pertengahan 1922 membuka peluang mogok lebih besar. Diikuti pula oleh kebijakan-kebijakan merugikan untuk buruh kereta api. Semua tekanan ini pecah pada bulan puasa 1923. Pemogokan besar-besaran buruh kereta api berlangsung di berbagai tempat di Jawa. Dukungan pemogokan mereka datang dari serikat buruh lain, sopir taksi, tukang daging, dan tukang cetak.
Buruh kereta api mogok kerja berbulan-bulan lamanya. Pemerintah dan perusahaan kereta api enggan memenuhi sebagian besar tuntutan buruh. Mereka justru menjawabnya secara represif. Pemecatan, pengusiran, dan penangkapan terjadi di banyak tempat.
Tak ada perlawanan dari buruh kereta api atas pemecatan, pengusiran, dan penangkapan tersebut. Tapi para buruh menolak mentah-mentah ajakan pemerintah kolonial untuk tinggal sementara di tempat penampungan. Mereka lebih memilih berkumpul bersama teman-teman seperjuangan.
Sebagian besar buruh kereta api juga menolak ajakan kembali bekerja di perusahaan kereta api. Mereka pindah kerja di bidang usaha lain, seperti di pabrik gula atau menjadi sopir oplet. Pemogokan mereka berakhir pada Agustus 1923.
Baca juga: Oplet, Moyang Angkot di Indonesia