JAUH sebelum Lee Kuan Yew memutuskan untuk melepaskan diri dari Federasi Malaysia pada 9 Agustus 1965, hubungannya dengan Indonesia sudah lebih dulu terjalin. Pada Agustus 1960, dia melakukan kunjungan resmi pertamanya ke Jakarta. Dia menemui Presiden Sukarno yang menjamunya di Istana Merdeka.
Namun, dalam 20 menit perbincangannya itu, Lee Kuan Yew menemukan Sukarno berlawanan dari yang dia kagumi sebelumnya. Menurutnya, Sukarno terlalu “angkuh” dan dia kurang nyaman dengan sikap Sukarno yang menempatkan dirinya seakan seorang kakak yang selalu menasihati adiknya.
Satu hal terpenting, Indonesia di bawah Sukarno kala itu merupakan penentang utama gagasan pembentukan Federasi Malaysia. Di bidang ekonomi, Indonesia menganggap Singapura “biang keladi” penyelundupan yang merugikan perekonomian Indonesia. Tapi sebagai Perdana Menteri Singapura di bawah federasi, Lee Kuan Yew pernah mengusir para pedagang dan pemasok senjata PRRI-Permesta yang berbasis di Singapura.
Hubungan Indonesia-Singapura pernah memburuk ketika dua marinir Indonesia, Usman dan Harun, membom MacDonald House, 10 Maret 1965. Tiga orang tewas dan 33 lainnya mengalami cedera. “Jaksa Penuntut Umum berpendapat, bahkan jika terdakwa merupakan anggota angkatan bersenjata Indonesia, mereka telah kehilangan hak untuk diperlakukan sebagai tawanan perang karena mengenakan pakaian sipil dan menyerang target sipil,” tulis straitstimes.com.
Baca juga: Singapura Tak Terima KRI Usman Harun
Setelah peristiwa G30S meletus di Jakarta, yang diikuti pergantian penguasa dari Sukarno ke Soeharto, hubungan Singapura dengan Indonesia perlahan membaik. Soeharto membawa Indonesia meninggalkan politik Konfrontasi yang diusung Sukarno. Lee Kuan Yew menemukan chemistry pada diri Soeharto. Dalam pertemuan pertama mereka di Lusaka, Zambia pasca KTT Non Blok, 8-10 September 1970, Lee Kuan Yew mengaku ada kesamaan pandangan antara dirinya dan Soeharto dalam strategi pembangunan dan antikomunis.
Meski perlu waktu untuk menormalisasi hubungan, adanya kesamaan pandangan membuat langkah kedua negara untuk bekerjasama menjadi lebih ringan. Pada Agustus 1966, program bertajuk “$150 million handshake” menandai awal kerjasama ekonomi kedua negara. Singapura memberi kredit kepada para pedagang Indonesia dan mengizinkan Bank Negara Indonesia cabang Singapura kembali beroperasi. Sebagai gantinya, Indonesia kembali membuka pelabuhan-pelabuhannya bagi kapal-kapal Singapura, mengizinkan bank-bank Singapura membuka cabang di Jakarta.
Namun, upaya normalisasi itu berhenti pada 1968 ketika Singapura mengeksekusi mati Usman dan Harun. “Reaksi Indonesia lebih kejam dari yang kami perkirakan,” kenang Lee Kuan Yew dalam memoarnya Singapore: From Third World to First. Kedutaan Singapura di Jakarta diserbu sekelompok mahasiswa, boikot perdagangan diserukan di berbagai tempat, layanan telekomunikasi ke Singapura diputus, dan dua rumah diplomat Singapura di Jakarta dijarah.
Kemarahan baru mereda setelah Menteri Luar Negeri Adam Malik menyerukan agar warga tetap tenang. Menurutnya, boikot perdagangan dengan Singapura hanya akan merugikan Indonesia, dan membahayakan keamanan regional. Pernyataan publiknya yang menjamin Indonesia tak akan membalas dendam terhadap Singapura, serta menghormati kedaulatan hukum negara lain membuat hubungan Indonesia-Singapura berangsur membaik. Kunjungan tiga anggota parlemen Indonesia ke Singapura pada akhir November mulai mencairkan hubungan kembali. Puncaknya, ketika Lee Kuan Yew menaburkan bunga ke makam Usman dan Harun dalam kunjungan resminya ke Jakarta pada 1973.
Dalam kunjungan itu, Lee Kuan Yew melakukan pertemuan empat mata dengan Soeharto. Dia mendapatkan gambaran utuh tentang Indonesia. Salah satu poin terpenting adalah Indonesia hanya akan berkonsentrasi membangun dan meminta Singapura mendukung pembangunan itu.
Maklum, Singapura masih trauma atas konfrontasi yang dilancarkan pemerintahan Sukarno. Maka Soeharto menegaskan bahwa Indonesia tak berniat mengklaim wilayah Singapura atau Malaysia. Mengenai Selat Malaka, Indonesia hanya akan menuntut yang memang menjadi bagian wilayahnya; dan meminta kerjasama dari tetangganya untuk ikut mengamankan wilayah tersebut.
“Yang terpenting dari semua itu, ia tak percaya komunis, terutama komunis China, yang telah menyebabkan banyak masalah di Indonesia. Aku bertekad mereka (komunis) takkan berhasil. Aku tak ingin pengaruh China meluas ke Asia Tenggara. Itu adalah benteng utama dengan dia (Soeharto, red.),” ujar Lee Kuan Yew.
Kesamaan pandangan itu menjadi fondasi kerjasama Singapura-Indonesia hingga ketika Lee Kuan Yew tak lagi menjabat perdana menteri dan digantikan Goh Chok Tong. Ketika Soeharto telah mangkat pun, hubungan kedua negara tetap berjalan seperti yang mereka berdua gariskan sejak awal.
Baca juga: