Presiden Joko Widodo naik Moda Raya Terpadu (MRT) Jakarta bersama sejumlah figur publik pada Sabtu, 20 April 2019. Dia melakukannya setelah menghadiri sebuah pertemuan di pusat perbelanjaan Grand Indonesia. Sebelumnya, dia telah beberapa kali menjajal MRT. Dia juga pernah menggunakan Kereta Rel Listrik (KRL) untuk pulang ke Bogor pada 6 Maret 2019. Saat itu jam sibuk sehingga dia harus berdesakan dengan penumpang lain.
Selain Presiden Jokowi, presiden lain yang pernah menjajal transportasi publik berbasis rel di dalam kota adalah Soeharto. “Penggunaan KRL untuk pertama kali dilakukan Presiden Soeharto dalam rangka peninjauan dan peresmian rumah sederhana di Depok Baru pada 12 Agustus 1976,” tulis Tri Wahyuning M. Irsyam dalam Berkembang dalam Bayang-Bayang Jakarta: Sejarah Depok 1950—1990-an.
Perjalanan Presiden Soeharto ke Depok, Jawa Barat, menandai penghidupan kembali layanan KRL. Moda ini berhenti melayani warga sejak 1965. KRL hidup kembali lantaran penerapan konsep Jabotabek (Jakarta, Bogor, Tangerang, dan Bekasi).
Baca juga: Proses Lahirnya Konsep Pengembangan Jabotabek
Jabotabek bertujuan menciptakan pusat pertumbuhan baru di wilayah penyangga Jakarta demi mengurangi beban Jakarta. Salah satu caranya dengan membangun perumahan di Depok (selatan), Bogor (selatan), Tangerang (barat), dan Bekasi (timur).
Penduduk di wilayah penyangga Jakarta memerlukan moda transportasi aman, nyaman, dan cepat untuk pergi ke Jakarta dan pulang kembali ke rumah. Pemerintah berkeputusan menyiapkan moda transportasi berupa KRL. Tapi armadanya berbeda dari KRL sebelumnya.
Naik KRL Baru
Seluruh armada KRL tahun 1965 ke bawah berasal dari peninggalan Belanda. Badannya terbuat dari kayu dan ditarik oleh lokomotif listrik. Sebagian besar sudah rusak dan ketinggalan zaman.
Sejak 1976, KRL berganti rupa dan teknologi. Bahannya dari besi karbon (mild steel) dan tanpa lokomotif penarik. “Pemerintah mendatangkan KRL baru kelas ekonomi sebanyak 56 unit jenis reostatik dari Jepang,” catat Akhmad Sujadi dalam Si Ular Besi Antar Jonan Jadi Menteri. Armada baru KRL ini mengantarkan Presiden Soeharto ke Depok.
Sepuluh tahun kemudian, 5 Juli 1986, Presiden Soeharto naik KRL lagi. Kali ini dari Manggarai (selatan) ke Tanah Abang (pusat) sejauh 6,6 kilometer. Dia menumpang KRL mutakhir buatan Jepang. Bahannya baja tahan karat (stainless steel).
Perjalanan Presiden Soeharto bersama KRL berlangsung singkat. Hanya 11 menit. Kalau menggunakan mobil, makan waktu 40 menit. Dengan waktu secepat itu, dia berharap warga tertarik naik KRL.
Uji coba KRL baru ini juga bertujuan mengetahui rencana perbaikan prasarana dan sarana KRL. Di stasiun Manggarai, Presiden Soeharto memperoleh penjelasan tentang rencana pengembangan layanan KRL hingga tahun 2000. Antara lain mutu rel kereta, pembuatan rel ganda Depok—Gambir, elektrifikasi jalur barat dan timur, pembangunan jalur layang rute tengah (Manggarai—Kota), perbaikan sarana stasiun, dan pembelian kereta.
Baca juga: Laporan Khusus: MRT Sebuah Keajaiban di Jakarta!
Presiden Soeharto sempat turun sebentar di Stasiun Dukuh Atas, 2,5 kilometer dari Manggarai. “Dalam uji coba itu presiden sempat memerika Stasiun Dukuh Atas yang telah ditingkatkan kualitasnya dan bentuknya sehingga nyaman bagi masyarakat,” catat Soeharto.co, mengutip Berita Buana, 7 Juli 1986.
Setibanya di stasiun Tanah Abang, Presiden Soeharto memeriksa kereta pengangkut besi, baja, dan batu bara.
Beberapa rencana perbaikan layanan KRL berhasil terwujud. Misalnya pembangunan jalur layang rute tengah dan perbaikan sarana stasiun. Dikerjakan mulai 1988 dan selesai pada 1992.
Melewati Permukiman Kumuh
Presiden Soeharto kembali naik KRL untuk ketiga kalinya demi meresmikan operasional jalur layang rute tengah pada 5 Juni 1992. Dia mulai perjalanan dari stasiun layang berlantai tiga, Gambir.
Gambir stasiun baru yang megah pada masanya. Sebelumnya stasiun ini berada di permukaan tanah. Kumuh, tua, dan kewalahan mengikuti perkembangan zaman.
Baca juga: Awal Mula Jalur Layang Kereta di Indonesia
Atas bantuan konsultasi dan pinjaman lunak dari pemerintah Jepang, stasiun Gambir menjadi bersih, segar, dan tangkas menghadapi perubahan zaman. Lantai beralaskan porselin mengkilap berwarna hijau lumut. Terdapat fasilitas penunjang berupa 13 loket penjualan karcis, papan petunjuk manual dan elektronik, eskalator, toilet, dan telepon umum sistem kartu dan koin.
“Gambir barangkali kini menjadi stasiun kereta api paling apik di Indonesia,” tulis Kompas, 6 Juni 1992.
Dalam stasiun megah ini, Presiden Soeharto terlihat antre paling depan. Dia membeli karcis seharga Rp1.200 PP untuk dua orang. Dia bersama istri, Menteri Perhubungan Azwar Anas, duta besar negeri sahabat, dan pejabat kereta api dan dinas perhubungan.
Setelah pegang tiket, Presiden Soeharto beranjak naik ke lantai tiga. Serangkaian KRL reostatik telah menunggunya. KRL itu berwarna keperakan dengan ornamen strip biru putih. Pintunya bekerja otomatis.
Baca juga: Matahari Terbit di Kereta Rel Listrik
KRL mulai berjalan. Soeharto sesekali berdiri dari kursinya, melongok keadaan di sekitar jalur layang melalui jendela. Tersua barisan permukiman padat dan kumuh. Begitu kontras dengan warna-warni cerah tujuh stasiun layang.
Perjalanan sejauh 17,8 kilometer tuntas dalam waktu 15 menit. Beda jauh jika berkendara pakai mobil. Habis waktu sekira 90 menit.
Soeharto turun sebentar di stasiun Kota. Dia berbicara dengan sejumlah pejabat dan menteri. Kemudian naik KRL lagi untuk kembali ke stasiun Gambir. “Presiden merasa puas dengan peningkatan fasilitas baru ini,” kata Soejono, Dirjen Perhubungan Darat.
Inilah kali terakhir Presiden Soeharto naik KRL. Enam tahun berikutnya, dia lengser.