SUASANA sunyi menyergap kompleks makam pendiri daerah Loano, salah satu daerah tertua di Purworejo, Jawa Tengah. Letaknya di gugusan perbukitan Gunungdamar, sekira 1,5 kilometer ke arah barat kantor Polsek Loano. Sesekali suara tonggeret, serangga yang muncul sebagai penanda akhir musim penghujan, turut menyapa. Jauh masuk kedalam hutan, suara mesin gergaji mengalun, memotong batang pohon di hutan-hutan Purworejo.
Di kompleks makam itu, terdapat dua nisan utama dalam satu cungkup. Di sekitar cungkup utama itu, masih terdapat sekira 13 nisan lain yang berukuran lebih kecil.
“Dua nisan besar itu adalah persemayaman terakhir Adipati Anden dan istrinya, Nyai Dewi Retno Marlengen. Dan 13 nisan lain adalah keturunannya. Dan di antara 13 nisan kecil itu ada satu nisan Tionghoa bernama Nyai Tan Ing Hwat atau Mak Kempiang,” ujar Erwan Wilodilogo, 37 tahun, perangkat desa Lowano sekaligus penulis buku Lowano, Sejarah yang Tersembunyi.
Ke-15 nisan itu berada dalam satu kompleks makam sejak setahun lalu. KH Ibnu Hajar Soleh Pranolo, generasi ke-25 Adipati Anden, membangunnya pada Agustus 2015.
Siapakah Adipati Anden?
Dalam cerita tutur setempat, Haryo Bangah dari Kerajaan Galuh di Jawa Barat, berjalan ke arah timur untuk mencari adiknya, Raden Tanduran. Dia menyingkir ke timur setelah kalah bertarung dengan Ciung Wanara. Menurut Saleh Danasasmita dalam Babad Pakuan atau Babad Pajajaran I, Haryo Bangah merupakan pewaris takhta Kerajaan Galuh.
Hingga di tepi sungai Bogowonto, Haryo Bangah putus asa karena belum juga menemukan adiknya. “Haryo Bangah jatuh sakit di daerah yang namanya Pagelen. Dia sakit karena tak kunjung dapat menemukan adiknya,” seperti tercatat dalam Babad Lowano. Dia pun memutuskan tidak meneruskan perjalanan dan menetap di daerah ini.
Haryo Bangah dalam perjalanannya ditemani beberapa pendamping dan meminta mereka membuat perkubuan sederhana. Perlahan mereka mulai berinteraksi dengan penduduk setempat. Haryo Bangah selalu bercerita ihwal perjalanannya kepada penduduk. Penduduk pun menyebut rombongan Haryo Bangah sebagai sing gelo atau mereka yang kecewa.
Haryo Bangah menyunting seorang gadis desa dan menurunkan beberapa putra. Salah satunya sering dipanggil Anden yang kemudian dikenal sebagai Pangeran Anden Lowano.
Bukan saja dapat membangun keluarga, perkubuan sederhana Haryo Bangah pun berkembang. Hingga pada akhirnya daerah itu lebih dikenal sebagai Singgelopuro.
Pangeran Anden tumbuh menjadi pemuda tangkas. Dia diproyeksikan sebagai penguasa selanjutnya dari Kadipaten Singgelopuro. Guna menambah pengalaman, Haryo Bangah meminta Pangeran Anden menjadi prajurit Majapahit. Singkat cerita, dia sukses menjadi perwira di Majapahit. Bahkan, dia menyunting Ratna Marlengen, saudara perempuan dari salah satu selir raja. Namun, mahligai keluarga mereka tak tenteram karena dirongrong oleh Jayakusuma, yang juga masih kerabat Majapahit.
Anden mengetahui asmara terpendam Jayakusuma terhadap istrinya. Saat kesabarannya hilang, mereka memutuskan duel. Anden kalah sedangkan Jayakusuma menghilang.
Sejak itu, Anden merasa malu kepada istrinya, Ratna Marlengen. Hingga beberapa lamanya, mereka tak bertegur sapa, meski masih seatap.
Hingga pada satu waktu, Ratna Marlengen diiringi pembantunya berjalan di dekat pertemuan sungai Bogowonto dan sungai Kodil dan menemukan sebuah telaga yang kini disebut sendang Ngumbul. Di dekat telaga itu terdapat pohon besar yang berbuah menarik.
“Apa nama pohon itu?” tanyanya kepada para pembantunya. Tak ada yang menyahut karena tak tahu nama pohon dan buah itu.
“Itu namanya pohon Lo,” jawab seorang laki-laki. Ratna Marlengen menoleh kaget. Ternyata suaminya, Adipati Anden, sudah berdiri tak jauh dari tempatnya.
Akhirnya, ujar Erwan, kebekuan yang terjadi menjadi cair. Mereka saling berbicara kembali. Masyarakat pun kemudian menyebut lokasi itu sebagai Lowano: Lo (pohon) dan wanuh (menyapa).
Kini, secara administratif, nama Loano menggantikan Lowano, dan di beberapa literatur disebut juga Lowanu. Bahkan pada awal tahun lalu, di bekas situs kadipaten Loano, ditemukan arca Mahakala atau Nandikala yang diduga peninggalan era Hindu.