PEMERINTAH Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mulai melepas saham di perusahaan bir PT Delta Jakarta bertepatan malam pertama Ramadan 1439 H/2018 M. Jumlah sahamnya sebesar 26,25 persen dengan nilai jual mencapai satu triliun rupiah.
Kepemilikan saham di perusahaan bir itu berakar dari upaya Pemprov DKI Jakarta mencari sumber dana pembangunan di luar dana dari pemerintah pusat. Salahsatu upaya mencari sumber alternatif adalah melalui pembentukan perusahaan daerah.
Pada awal kemerdekaan, pemerintah Jakarta belum mampu merumuskan secara jelas bagaimana cara memperoleh dana untuk pembangunan kota. Jakarta masih bergolak oleh api revolusi.
Soewirjo, walikota Jakarta 1945-1951, berkutat pada ikhtiar menciptakan keamanan dan ketertiban kota. Tentara Sekutu dan Belanda hadir di Jakarta dan memantik perlawanan dari pejuang Republik.
Jakarta juga sempat punya dualisme pemerintahan: Soewirjo dan Administrasi Sipil Belanda. “Pemerintah kota, karena ada dua macam, tidak dapat berjalan dengan lancar,” kenang Soewirjo dalam Karya Jaya: Kenang-kenangan Lima Kepala Daerah Jakarta 1945-1966. Sehingga urusan mencari sumber dana jadi terbengkalai.
Sjamsuridjal, walikota Jakarta 1951-1953, bertekad menyejajarkan Jakarta yang berangsur tenteram dengan kota-kota metropolitan di luar negeri. Dia punya banyak program untuk mewujudkan tekadnya. Tapi sumber dana pembiayaannya masih gelap. Tekadnya pun gagal maujud.
Konsep pencarian sumber dana pembangunan Jakarta mulai agak terang pada masa Sudiro, walikota Jakarta 1953-1959. Dia punya prinsip, “mengadakan pemerintahan yang baik, dengan tersedianya biaya yang cukup, diperoleh dari dan diusahakan dengan kekuatan sendiri.”
Sudiro tak ingin bergantung pada satu sumber dana pembangunan. Dia berupaya mencari sumber dana selain subsidi dari pemerintah pusat. Antara lain dari pajak bandara, jalan berbayar, dan penaikan harga bensin di Jakarta. Tapi dia kesulitan menjalankan rencananya. “Menggali sumber-sumber baru biasanya tidak direstui oleh pemerintah pusat,” catat Sudiro dalam Karya Jaya.
Soemarno, gubernur Jakarta 1960-1964, mengalami hal serupa Sudiro. Gagasannya untuk mencari alternatif sumber dana pembangunan sempat beroleh penolakan dari Departemen Keuangan.
Soemarno berencana membentuk Bank Pembangunan Daerah untuk mengelola dana dari masyarakat dan perusahaan swasta. Dana bank itu terpisah dari dana pemerintah pusat. Soemarno mengupayakan sebagian besar modal bank tersebut berasal dari pemerintah Jakarta. Sisanya dari perusahaan swasta.
“Dua juta rupiah di antaranya dari pemerintah daerah dan setengah juta rupiah dari Maskapai Asuransi Bumi Putera 1912,” terang Soemarno dalam Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya. Dengan kepemilikan lebih besar keuntungan dari suka bunga pinjaman pun bisa berpulang lebih besar ke pemerintah daerah.
Tapi gagasan Bank Pembangunan Daerah terbentur oleh ketiadaan dasar hukum. Maka, Departemen Keuangan menolaknya.
Soemarno lapor kepada Presiden Sukarno. Departemen Keuangan pun berubah sikap mengiyakan pembentukan Bank Pembangunan Daerah pada 1961. Inilah Perusahaan Daerah pertama milik pemerintah Jakarta.
Gagasan Soemarno mulai kelihatan hasilnya. Bank Pembangunan Daerah menyalurkan pinjaman untuk biaya pembangunan Pasar Cikini, peremajaan Pasar Senen, peternakan Babi, dan jalan.
Selain membentuk bank, Soemarno juga mengadakan perusahaan patungan antara pemerintah daerah dengan swasta seperti PT Pembangunan Jaya dalam bidang konstruksi dan rekreasi; PT Surya Jaya dan PT Sinar Jaya dalam bidang penerbitan dan pemberitaan; PT Terigu Jaya dan Yayasan Kebutuhan Pokok Jakarta dalam bidang pangan.
Dari inisiatif Soemarno muncul pula badan-badan khusus untuk mengelola kebijaksanaan dalam wilayah atau proyek tertentu seperti Otorita Pluit, Otorita Cempaka Putih, Yayasan Perumahan Pulo Mas, Otorita Pembangunan Proyek Senen, Otorita Krekot Dalam, dan banyak lagi sepanjang 1962-1964. Kepemilikan modal dan kendalinya berasal dan berada lebih besar pada pemerintah Jakarta, seperti dalam Perusahaan Daerah.
Ali Sadikin, gubernur Jakarta 1966-1977, menjelaskan dalam Gita Jaya bahwa Perusahaan Daerah terbagi atas beberapa golongan.
Pertama, Perusahaan Daerah eks Gemeente Bedrifen Verondering yang bertujuan pelayanan publik semata. Kedua, Perusahaan Daerah yang bermula dari penyerahan pemerintah pusat ke pemerintah daerah untuk tujuan mencari laba dengan penyertaan modal swasta nasional atau asing. Ketiga, perusahaan bentukan pemerintah Jakarta berstatus perseroan terbatas. Keempat, badan usaha yang diadakan oleh pemerintah Jakarta dalam lingkup wilayah, proyek, promosi usaha, jasa, dan rekreasi tertentu.
Perusahaan Daerah bertambah lebih banyak pada masa Ali Sadikin. Penyebabnya dia berupaya menggenjot pendapatan daerah dari Perusahaan Daerah setelah melihat sulitnya memperoleh pendapatan dari pajak masyarakat. “Kesadaran, kemauan, dan kemampuan membayar pajak menurun,” kata Ali Sadikin dalam Prisma, No 5, Mei 1977.
Menurut Albert Widjaja dalam “Pengembangan Pemerintah DKI Jakarta dari Segi Operasionalnya”, tercatat ada 159 Perusahaan Daerah sepanjang masa Ali Sadikin. Tapi semua bermasalah dari pijakan hukumnya.
“Semua Perusahaan Daerah tersebut bergerak tanpa landasan hukum yang kuat, karena satu-satunya UU yang ada tentang Perusahaan Daerah dalam bentuk UU No. 5 Tahun 1962 telah dihapus dan belum ada penggantinya. Di samping itu, Perusahaan Daerah tersebut didirikan tidak berdasarkan peraturan daerah melainkan hanya SK (Surat Keputusan, red.) gubernur,” tulis Albert termuat di Kotapraja, No. 5 Tahun 1979.
Tak aneh ketika Ali Sadikin hendak menaruh modal pemerintah Jakarta di perusahaan bir Anker pada 1971, tantangannya bukan hanya berangkat dari sudut agama dan moralitas, melainkan juga sudut legalitas.
Mengabaikan keberatan orang soal legalitas, Ali Sadikin tetap menaruh modal di perusahaan bir tersebut. Dia mengatakan pemerintah Jakarta telah memperoleh izin dari menteri kehakiman untuk menjalankan kerja sama dengan swasta asing dan nasional sejak 1969.
Selain sorotan sisi hukum, Perusahaan Daerah menerima kritik lantaran kontribusi untuk kas daerah jauh dari harapan. “Penerimaan dari Perusahaan Daerah sangat kecil sekali, yaitu di bawah 1%,” tulis Albert.
Ali Sadikin akur dengan keadaan tersebut. Dia bilang, “iklim ekonomi pada waktu itu tidak menguntungkan dan kurang memberikan tempat bagi pertumbuhan dan perkembangan Perusahaan-Perusahaan Daerah sebagai suatu unit ekonomi.”
Satu demi satu Perusahaan Daerah tumbang atau merger. Jumlahnya hanya ada 27 buah pada zaman Wiyogo Atmodarminto, gubernur Jakarta 1987-1992. Tapi pada masa Wiyogo, kedudukan hukum Perusahaan Daerah lebih solid dan kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah (PAD) mulai nyata. Keadaan ini bertahan hingga sekarang.
Baca juga:
Cara Bang Ali Menggunakan APBD
Ali Sadikin dan Jalanan Jakarta
Bang Ali dan Bang Becak
Prostitusi di Jakarta, Sejak Zaman Ali Sadikin Sampai Ahok