Ali Sadikin dan Jalanan Jakarta
Apapun dilakukan Bang Ali untuk menertibkan lalu lintas di ibukota, termasuk turun langsung ke lapangan.
“Lalu lintas di Jakarta brengsek. Sayalah yang paling tidak puas terhadap keadaan itu.” Pernyataan demikian pernah dilontarkan Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin.
Selama sedekade memimpin Jakarta (1966-1977), Ali Sadikin tahu persis kelakuan para pengendera di jalanan Jakarta yang tak kenal sopan santun berlalu-lintas.
Sekali waktu dalam perjalanan menuju satu upacara di Menteng, mobil yang dikendarai Bang Ali –sapaan akrab Ali Sadikin– disalip truk pasir bermuatan delapan ton. Kendaraan bernomor polisi SL sekian itu seenaknya saja meluncur di tengah jalan tanpa menghiraukan mobil-mobil lain di belakangnya. Sementara mobil Ali Sadikin yang berplat B-8 berada tepat di belakang truk dan terus mengklakson.
“Saya suruh sopir saya mengejar truk itu. Tapi sopir truk tetap bandel. Saya suruh truk itu berhenti. Tidak juga ia berhenti bahkan mau melarikan diri. Akhirnya setelah dikejar terus barulah truk itu berhenti di tengah jalan,” tutur Ali Sadikin dalam otobiografinya Demi Jakarta karya Ramadhan K.H.
Setelah berhenti di pinggir jalan, Bang Ali keluar dan kemudian menghampiri sopir truk.
“Truk siapa ini?” tanya Ali setengah membentak.
“Truk ABRI, Pak, ” jawab sang sopir.
“Mana surat tugas dan SIM-mu?” tanya Ali lagi.
Ketika sopir truk memperlihatkan surat-surat yang ada padanya, Ali Sadikin bertanya lagi. “Apa saudara tidak merasa bersalah?”
“Tidak, Pak,” jawab sopir. “Kan boleh saja jalan di sebelah kanan.”
“Ketepaaaak!” Tanpa berkata apa-apa lagi, Ali Sadikin langsung melayangkan tangannya menggampar pipi sang sopir. “Kalau bawa muatan berat, apa boleh jalan di tengah?” Ali Sadikin berang. Belum sempat menjawab, sang sopir kena “tanda mata lagi” dari gubernur jebolan marinir AL itu.
“Ketepuuukk!” dua kali tempelengan pun mendarat ke pipi si sopir truk malang “Saudara tidak menghiraukan orang lain. Saudara memalukan ABRI. Saya juga dari ABRI,” kata Ali yang memberikan teguran keras. “Jadi ABRI jangan sembarangan!” kata Ali lagi sebelum naik lagi ke mobil.
Di dalam mobil, Bang Ali masih dongkol. “Dia pikir karena sudah ABRI, boleh semaunya. Bahkan seharusnya sebaliknya. Ia harus memperlihatkan contoh yang baik kepada rakyat,” demikian gerutu Ali.
Masalah yang Tak Kunjung Usai
Pengemudi ugal-ugalan macam tadi hanya satu dari sekian persoalan lalu lintas Jakarta era Ali Sadikin. Kemacetan menambah keruwetan lalu lintas ibukota. Keadaan akan semakin parah bila Jakarta diguyur hujan deras yang mengakibatkan jalanan kebanjiran. Mobilitas pun bisa lumpuh.
Ketika baru memimpin Jakarta, Ali Sadikin dihadapkan persoalan lalu lintas yang pelik. Pada 1967, kendaraan bermotor di ibukota meliputi setengah juta unit. Angka kecelakaan saat itu terbilang tinggi: rata-rata dua orang meninggal dan 17 orang menderita luka-luka. Jadi dalam setahun, korban meninggal akibat kecelakaan mencapai 726 orang.
“Lalu lintas di Jakarta adalah persoalan yang rumit,” ujar Ali Sadikin. Salah satu masalahnya adalah kurangnya jumlah dan panjang jalan serta sempitnya sejumlah jalan-jalan yang sudah ada. Selain itu, perilaku pengguna jalan yang tak disipilin berkendara, menurut Ali juga ikut menjadi biang kerok masalah lalu lintas.
Untuk membangun jalan, Pemda DKI Jakarta menemukan masalah dalam membangun jaringan jalan raya. Kendala ini disebabkan letak geografi Jakarta yang hanya beberapa ratus meter dari atas permukaan laut. “Ini membawa hambatan-hambatan teknis dan membuat pembuatan jalan menjadi sangat mahal,” tulis Ratu Husmiati dalam tesisnya di Universitas Indonesia berjudul “Ali Sadikin dan Pembangunan Jakarta 1966-1977”.
Untuk mengatasinya, Ali Sadikin memprakasai sejumlah kebijakan. Diantara nya seperti: penertiban pelarangan becak, menambah armada bus kota, hingga membagi zona jalan. Pada periode Ali Sadikin, jalanan Jakarta dibedakan menurut fungsinya, yaitu jalan ekonomi, jalan lingkungan dan jalan desa. Ratu juga mencatat kebijakan Ali Sadikin dalam menormalisasi jalan dalam kota seperti normalisasi sebagian jalan raya Jakarta-Bogor antara Cililitan sampai batas kota Jakarta (1973); normalisasi jalan raya Pondok Gede (1974); normalisasi jalan terobosan Warung Buncit yang meliputi jalan Mampang Prapatan sampai Ragunan (1975)
Selama 11 tahun menangani Jakarta, perencanaan dan kinerja Ali Sadikin terhadap jalanan ibukota membuahkan hasil. Jalan-jalan diperbaiki, diperlebar, dibangun yang baru dan dipelihara dengan benar. Lampu lalu lintas ditambah sehingga lalu lintas menjadi lebih baik.
“Transportasi publik semakin baik dengan tambahan beberapa ratus bis baru, termasuk mini bus sejak 1976 dan seterusnya,” ujar Susan Blackburn, sejarawan Universitas Monash, yang meneliti Jakarta dalam Jakarta: Sejarah 400 Tahun.
Namun setelah purnabakti menjabat, Ali Sadikin masih belum puas menata jalanan Jakarta. Kemacetan tetap menjadi momok yang kerap diidentikan dengan ibukota Indonesia itu.
“Persoalan lalu lintas dan angkutan tak ubahnya dengan gelombang di lautan, datang, mereda, gemuruh, lalu mereda lagi. Tak henti-hentinya,” ungkap Ali Sadikin.
Hingga saat ini persoalan lalu lintas menjadi pekerjaan rumah Pemda DKI yang masih terus dibenahi.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar