BANYAK tradisi-budaya yang asing bagi James Brooke (diperankan Jonathan Rhys Meyers) dan rombongannya ketika pertamakali bersua etnis Melayu dan Dayak Iban. Mulai dari praktik perbudakan hingga tradisi mengayau atau berburu kepala manusia.
Maka ketika sudah mampu menyingkirkan komplotan pemberontak dan menjadi Rajah Sarawak pertama berkulit putih, ia “mereformasi” beberapa aturan. Selain menghapus perbudakan di dalam komunitas Melayu, ia juga melarang tradisi Ngayau.
“Tidak boleh mengayau lagi, rajah?” tanya Tujang (Yusuf Mahardika), seorang prajurit Suku Dayak Iban.
“Tidak boleh lagi ada (perburuan) kepala, Tujang,” jawab Brooke dalam suatu adegan di film Rajah garapan sineas Michael Haussman yang mulai tayang di bioskop-bioskop tanah air pada 9 Oktober 2024.
Baca juga: Alkisah Eksotisme dan Prahara Sarawak lewat Rajah
Selain menyajikan tradisi mengerikan itu, film Rajah tentu menghadirkan sejumlah tradisi-budaya Dayak lewat tarian-tarian tradisional hingga iringan-iringan music scoring etnik Dayak nan indah. Karakter Tujang yang diperankan aktor Indonesia juga jadi nilai tambah lantaran suku tersebut memang berasal dari sekitar Sungai Kapuas di Kalimantan Barat, meski Yusuf aslinya berdarah Batak Pakpak bermarga Lingga.
“Dari film ini saya juga jadi sedikit banyak belajar tentang history yang ada di tanah Sarawak, mulai daru suku Dayak lalu culture dan sejarah yang ada di sana. Menyenangkan bisa ikut andil dalam film ini,” ungkap Yusuf dalam rilis pers yang diterima Historia.
Nilai tambah lainnya adalah keseluruhan lokasi syutingnya dilakukan di pedalaman hutan Siniawan, Sarawak. Di masa James Brooke, wilayah tersebut berada di bawah Kesultanan Brunei tapi sejak 1963 menjadi salah satu negara bagian Malaysia.
Populasi Dayak Iban sendiri yang terbesar berada di Sarawak. Sejumlah pakar menyebut mereka sebagai suku Dayak Laut karena kecakapannya dalam bidang maritim meski lebih sering berdiam di pedalaman hutan.
Menurut sensus Malaysia, “Penemuan Utama Banci Penduduk dan Perumahan Malaysia 2020”, ada lebih dari 702 ribu jiwa suku Dayak Iban yang berdiam di Sarawak. Mereka merupakan masyarakat etnik Dayak terbesar (28,2 persen) selain etnis Bidayuh (7,6 persen), Orang Ulu (5,5 persen), dan Melanau (5,2 persen). Selebihnya ada sekitar 23 ribu orang Dayak Iban yang ada di Brunei Darussalam dan 20 ribu lainnya di Indonesia (Kalimantan Barat).
Baca juga: Orang Hokian di Pusat Borneo
Bermigrasi dari Kapuas
Masyarakat Iban jadi satu dari beberapa etnis Dayak yang punya tradisi ngayau. Kepala yang diburu utamanya kepala musuh yang kemudian diawetkan agar dipercaya membawa keberuntungan.
“Iban adalah satu suku yang mampu mengaplikasikan julukan pemburu kepala dengan konotasi sesungguhnya dari sebutan itu, bahwa berburu kepala ditempuh sebagai suatu bentuk kegiatan olahraga. Walaupun saking bersemangatnya pada perburuan kepala sehingga sering tak segan melakukannya dengan cara-cara yang tidak sportif,” tulis pakar etnologi Inggris Charles Hose dan psikolog William McDougall dalam The Pagan Tribes of Borneo.
Bersama tradisi mendirikan rumah panjang dan bertani padi, ritual ngayau turut dibawa serta ketika orang Dayak Iban bermigrasi dari Kalimantan Barat ke Sarawak. Akademisi sosio-linguistik Lilly Metom dalam Emotion Concepts of of the Ibans in Sarawak menulis, tradisi pengayauan itu dilalukan sebagai ritual untuk menghormati salah satu dewa perang yang paling dihormati Suku Iban, Lang Singalang Burong.
“Menurut mitologi Iban, adalah Singalang Burong pula yang menguak rahasia menanam padi kepada masyarakat Iban dan mengajarkan mereka untuk mencari nasihat-nasihat para dewa. Selama ritual ngayau, mereka merapal (mantra) sampi sembari menyembelih unggas dan babi sebagai persembahan untuk menghormati Singalang Burong,” tulis Metom.
Baca juga: Kisah Pemburu Kepala
Dalam mitologi Iban juga diceritakan bahwa mereka berasal dari lembah Sungai Kapuas, tepatnya Ketungau (kini Kabupaten Sintang, Kalimantan Barat). Sejarawan dan pakar etnologi Malaysia berdarah Dayak Iban Benedict Sandin menyebutkan dalam riset sejarahnya, The Sea Dayak of Borneo before the White Rajah Rule, gelombang pertama migrasi Suku Dayak Iban dari Kapuas ke Sarawak, tepatnya di Batang Lupar, terjadi pada 1750-an.
Gelombang perintis itu terdiri dari enam generasi dan bermukim di sekitar Sungai Undup. Lalu sekitar lima generasi kembali menjelajah ke utara, timur, dan barat sejurus menyusuri sungai-sungai utama di Sarawak.
“Lalu pada awal 1800-an pergerakan berskala besar Suku Iban datang lagi ke sekitar Sungai Rejang, Batang Ai, Leboyan, dan Kanyau. Di masa pemerintahan Rajah Brooke, mereka membuat permukiman di sekitar Sungai Oya dan Mukah. Tetapi oleh Rajah Brooke, mereka dilarang membuka permukiman lagi di sepanjang Sungai Limbang,” urai Christine Padoch dalam Migration and Its Alternatives Among the Iban of Sarawak.
Baca juga: Benteng Kuno Dayak dari Masa Tradisi Berburu Kepala
Namun situasi masyarakat Iban di masa Rajah Sir James Brooke (1841-1868) tak kalah kompleks. Menurut Jürg Helbling dalam artikel “The Iban in Sarawak (1840-1920)” yang termaktub di buku The Ending of Tribal Wars: Configurations and Processes of Pacification, di antara mereka pun terkadang masih terjadi perselihan. Utamanya antara komunitas Iban yang berkenan untuk patuh pada aturan-aturan Rajah Brooke dan mereka yang memberontak serta jadi perompak di wilayah pesisir Sarawak.
“Komunitas Iban pro-pemerintah (Rajah Brooke) ikut membantu memerangi musuh-musuh lama Iban mereka. Sementara komunitas Iban yang memberontak menganggap pemerintah sebagai sekutu musuh Iban mereka yang lain. Di sisi lain, Charles Brooke, keponakan rajah yang menjadi residen wilayah II, turut mengikutsertakan prajurit Iban pro-pemerintah untuk juga menumpas pemberontak orang-orang China,” tulis Helbling.
Zaman Rajah Putih dengan penguasa terakhirnya Charles Brooke berakhir pada 1941 seiring pendudukan Jepang di Sarawak. Seperti halnya di daerah lain, beberapa kalangan Suku Dayak Iban memilih turut dalam Gunseibu (koordinator pemerintahan militer Jepang) dan lainnya pilih memberontak.
“Orang-orang Iban, lazimnya yang kalangan pendidikan elit di wilayah Divisi II ikut bekerja di pemerintahan Jepang pada masa perang (Pasifik) dan mereka yang berpengalaman diberikan kewenangan lebih. Tapi ada pula orang-orang Iban seperti Edward Brandah Saban yang sebelum masa perang merupakan inspektur polisi tapi menolak masuk Gunseibu dan malah bergabung ke SRD (Departemen Intai Australia) dan ikut bergerilya di garis belakang Jepang,” tulis Ooi Keat Gin dalam The Japanese Occupation of Borneo, 1941-45.
Ketika Sarawak dimasukkan sebagai salah satu negara bagian Federasi Malaysia, beberapa tokoh Iban mulai banyak yang memasuki pemerintahan dan militer. Salah satunya Kanang anak Langkau yang dijadikan pahlawan nasional Malaysia atas jasanya dalam Konfrontasi Indonesia-Malaysia (1962-1966) dan penumpasan pemberontakan Komunis (1968-1989). Kisah Kanang sampai diabadikan dalam film biopik Kanang anak Langkau: The Iban Warrior (2017).
Baca juga: Asal-Usul Suku Tidung