TEKANAN membuat orang mesti realistis. Acapkali tekanan membuat orang mesti menyesuaikan diri agar selamat meski harus “berbelok” sedikit, bahkan meninggalkan prinsip hidupnya. Hal itulah yang dialami Tumenggung Soeta Ono di pedalaman Kalimantan.
Laki-laki kelahiran Telang Siong, Kalimantan Tengah, 1822 itu sebetulnya cukup terkemuka di kampungnya yang tidak jauh dari Amuntai, Kalimantan Selatan. Putra pasangan Kalimah dan Suma itu telah dikenal Belanda setidaknya sejak 1861. Ketika usianya masih sekitar 29 tahun, dia terlihat sebagai seorang prajurit rimba yang kokoh dan dianggap sebagai seorang yang cerdas dan disegani. Kendati berpakaian sederhana ala orang Dayak, Soeta Ono memimpin pasukannya yang bersenjatakan mandau dan senjata-senjata lainnya. Biasanya mereka sabar menunggu sampai musuh muncul. Ketika musuh muncul, mereka akan mulai menembak ataupun menyerang.
Baca juga:
Medan Perang Pangeran Antasari
Namun bila dikaitkan dengan perlawanan Pangeran Antasari dan pengikutnya terhadap Belanda di Kalimantan Selatan, Soeta Ono coreng namanya.
“Suta Ono yang merupakan kepala suku Dayak Maanyan dan Temanggung Jaya Negara kepala suku dari Dayak Ngaju terpaksa berpihak dengan Belanda dan memilih berkhianat dengan perjuangan rakyat karena tekanan yang cukup kuat dari pihak Belanda,” catat Abdul Haris dalam Akar Sejarah Perjuangan Umat Islam Indonesia.
Soeto Ono membantu pasukan Belanda di bawah komando Schuak. Apa yang dilakukannya sebetulnya umum dilakukan kebanyakan orang ketika terdesak dalam sebuah konflik. Terlebih orang pedalaman seperti dirinya, umumnya sulit mengetahui dengan jelas apa yang terjadi pada daerah yang jauh di luar mereka.
Baca juga:
Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
Pilihan Soeto Ono jelas amat berisiko. Bahkan, harga yang harus dibayarnya pun juga sangat mahal. Koran Java Bode tanggal 14 Desember 1870 menyebut sekitar 200 pengikutnya kemudian terbantai dengan brutal oleh laskar Banjar pimpinan Pangeran Antasari di sekitar Sungai Ayu. Rakit-rakit mereka sampai berlumuran darah dan darah itu mengalir ke hilir.
Sedari Desember 1870 hingga Januari 1871, Soeta Ono dan pengikutnya kembali melawan musuh Belanda. Register Ridder Militaire Willemsorde (RMWO) nomor 3981 menginformasikan bahwa dia dan pengkutnya pada tanggal 14, 17, dan 27 Desember mengitari Sungai Bedandan, Behilap, dan lainnya. Mereka mencari pasukan perlawanan yang dipimpin Wangkang. Soeta Ono sendiri membuat Wangkang terluka parah dalam perebutan benteng pertahanan Wangkang.
Baca juga:
Kisah Hubungan Banjar dengan Bangsa Eropa
Soeta Ono yang berkali-kali dianggap berjasa itu pun dihadiahi medali, arloji, dan juga mandau bersarung emas oleh Residen Verspijck yang mewakili Kerajaan Belanda. Namun, Soeta Ono konon menolak hadiah itu.
Baca juga:
Bangsawan Banjar Kibuli Belanda Pakai Telegram Palsu
Soeta Ono yang dihormati orang Belanda di Kalimantan Selatan setelah perangnya kepada Pangeran Antasari akhirnya, berdasarkan Koninklijk Besluit tanggal 11 April 1872 nomor 21, menjadi penerima bintang Ridder Militaire Willemsorde (RMWO) 4e atau Ksatria Militer Orde Raja Willem.
Dia pernah datang kepada Residen Tromp di Banjarmasin. Koran Bataviaasche Handelsblad tanggal 12 April 1871 menyebut Tromp mengajak Soeta Ono yang memakai busana Melayu itu untuk menjadi pengikut Kristus dan juga setia kepada Kerajaan Belanda. Daeah Siong, kampung halaman Soeta Ono, kemudian kedatangan misionaris. Orang Dayak umumnya menganut agama Kristen. Sumatra Courant tanggal 26 April 1873 memberitakan Soeta Ono tampak tertarik ketika orang Belanda mengunjungi dirinya di rumahnya yang terletak pada lereng pegunungan Kalimantan Tengah.
“Saya berharap Tuan segera datang ke sini, agar anak-anak kami juga bisa mengenyam pendidikan,” katanya kepada orang Belanda yang datang.
Anak-anak Soeta Ono menjadi orang berpengaruh pula di kemudian hari. Koran Algemeen Handelsblad tanggal 3 Desember 1909 menyebut Kjai Goentik, salah satu putra Soeta Ono, lalu tinggal di Gelang dan menjadi kepala Dusun Atas. Demang Gaman, anak keduanya, tinggal di Buntok dan menjadi kepala Dusun Bawah. Soeta Ono tutup usia pada 27 April 1894 di kampung halamannya.*