Medan Perang Pangeran Antasari
Sang pangeran menjadi dalang pecahnya Perang Banjar dengan menggaungkan perang sabil melawan orang-orang kafir.
Pada April 1859, pos pertahanan pasukan HIndia Belanda di Pengaron mendapat serangan dari rakyat Benua Ampat. Ratusan orang bergerak menembus benteng Pengaron dan melancarkan tembakan bertubi-tubi. Orang-orang Belanda dibuat tak berkutik. Kejatuhan Pengaron pun tak terelakan. Serangan itu menjadi tanda dimulainya Perang Banjar.
Tidak hanya Pengaron, pusat kekuatan Belanda di Banyu Irang, Bangkal, Gunung Jabuk, Marabahan, serta pulau Petak dan pulau Telo, tidak luput dari serangan dadakan laskar rakyat Banjar. Bahkan benteng di Tabonio dan Martapura mendapat gempuran terbesar dari rakyat Benua Ampat dan Benua Lima. Seluruh pertempuran dilakukan secara serentak. Otak di balik itu semua adalah Pangeran Antasari.
Debut Pangeran Antasari dalam Perang Banjar terjadi ketika rakyat Benua Ampat melakukan pemberontakan di daerah Muning, yang ditujukan untuk menduduki tambang-tambang batu arang Belanda di Pengaron dan Banyu Irang. Menurut Idwar Saleh dalam Pangeran Antasari, sebelum pemberontakan hebat itu pecah, tak ada seorang pun yang mengenal Pangeran Antasari. Masyarakat, lebih-lebih penguasa Banjar dan pemerintah Hindia Belanda, tak mengetahui siapa sosok yang pemimpin gerakan perlawanan tersebut.
Baca juga: Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
Aktivitasnya sebelum Perang Banjar hanyalah pemilik tanah lungguh di Muara Mangkauk sampai daerah Wilah dekat Rantau. Tanah miliknya menghasilkan kurang lebih f 400 dalam setahun. Dia berkedudukan di Antasan Senor di Martapura. Padahal jika dilihat dari garis keturunannya, Pangeran Antasari sebetulnya adalah pewaris Kesultanan Banjar dari garis Sultan Kuning, yang kehilangan takhta setelah kekuasaannya terputus pada pertengahan abad ke-18. Itu terjadi karena adanya konflik internal kerajaan. Akibatnya, hak atas Banjar beralih ke garis keturunan Pangeran Hidayatullah.
“Ia tak memiliki kekayaan apa pun yang bisa membuatnya hidup seperti para pangeran-pangeran yang lain. Ia dianggap sebagai orang yang tak berkemampuan apa-apa. Tanpa penonjolan sifat-sifat yang dinamis dan pembawaan kepemimpinan, ia hidup terlupakan di tengah-tengah rakyat biasa dan telah berumur. Sejarah mendudukkannya pada tempat yang terkemuka ketika Perang Banjar akan pecah dan sesudahnya,” ujar Idwar.
Pangeran Antasari mulai menarik perhatian lawan-lawannya setelah berhasil menghimpun kekuatan sekitar 3.000 orang dari daerah Benua Ampat dan Benua Lima untuk menyerang benteng Pengaron dan menjatuhkan kedudukan Sultan Tamjid di Martapura yang dianggap antek Belanda. Terlebih gerakan yang dibawa oleh Pangeran Antasari diembel-embeli isu perang sabil melawan orang-orang kafir.
Baca juga: Punahnya Kesultanan Banjar
Selain itu, menurut Hendraswati dan Zulfa Jamalie dalam Pedagang dan Gerakan Perlawanan Terhadap Kolonial Belanda pada Masa Perang Banjar (1859-1905), Pangeran Antasari juga hendak menyelamatkan kedaulatan wilayahnya dari campur tangan penjajah Belanda yang telah menodai tradisi dan merusak norma-norma agama dari sendi kehidupan masyarakat.
“Pangeran Antasari prihatin terhadap nasib dan penderitaan rakyatnya akibat kesewenang-wenangan, campur tangan, dan tradisi-tradisi Belanda yang bertentanan dengan ajaran Islam dan nilai-nilai tradisi orang Banjar,” terang Hendraswati dan Zulfa.
Berkat kepiawaiannya menghimpun kekuatan rakyat untuk melakukan pemberontakan, Pangeran Antasari pernah ditawari takhta Kesultanan Banjar oleh pemerintah Hindia Belanda. Diceritakan dalam Republik Indonesia: Kalimantan terbitan Kementerian Penerangan, pemerintah kolonial yang sudah mengetahui garis keturunan Pangeran Antasari, memutuskan melengserkan Sultan Tamjid dan mengangkatnya menjadi sultan baru. Namun Pangeran Antasari menolak. Dia lebih menghendaki Pangeran Hidayatullah duduk di takhta Banjar. Pangeran Antasari juga lebih memilih terus berperang melawan kekuatan kolonial ketimbang harus tunduk di bawah perintah mereka.
Menurut Idwar Saleh dalam Lukisan Perang Banjar 1859-1865, selama berlangsungnya perang, Pangeran Antasari memimpin pasukan di daerah Barito, Kapuas, dan Katingan. Ketiga tempat itu kerap menjadi sasaran serang serdadu Belanda lantaran keberadaan sang pemimpin yang begitu merepotkan.
Baca juga: Kisah Hubungan Banjar dengan Bangsa Eropa
Pemerintah kolonial berusaha keras menangkap Pangeran Antasari. Mereka bahkan sampai memaksa kerajaan-kerajaan di Kalimantan ikut membantu penangkapan, seperti Kerajaan Kutai yang diminta mengirim pasukan-pasukan Dayak-nya untuk melumpuhkan Pangeran Antasari di Muara Teweh, Babai, dan Lahai. Tetapi para kolonialis selalu menemui kegagalan. Antasari dan pasukannya pandai mempertahankan diri. Banyak pemimpin daerah yang melindunginya. Taktik gerilya juga menjadi andalan sang pangeran.
“Antasari dalam umur 50 tahun ternyata telah menunjukkan bahwa ia tak kekurangan energi, ketajaman pikiran, kemampuan ahli siasat, keuletan, keberanian, kekerasan watak, ketegasan, kebijaksanaan dalam memimpin peperangan,” kata Idwar.
Dari sekian banyak pertempuran yang pernah diikuti Pangeran Antasari, pertempuran di Benteng Tongka mungkin menjadi yang paling merepotkan. Pertempuran itu terjadi pada 1861. Pangeran Antasari bersama anak-anaknya, dibantu Tumenggung Surapati, harus menghadapi dua gelombang serangan dari Hindia Belanda di bawah pimpinan Letnan Beeckman. Dengan kekuatan lebih dari 500 orang bersenjata lengkap, ditambah sejumlah kapal perang, pasukan Belanda siap menggempur pertahanan Antasari di Gunung Tongka.
Baca juga: Kontes Kuasa Alam Kalimantan
Namun pada percobaan pertama Hindia Belanda mengalami kekalahan yang memalukan. Kondisi alam Gunung Tongka, dan serangan dadakan di sepanjang jalan, membuat pasukan Hindia Belanda banyak yang tewas. Mereka pun terpaksa mundur. Beberapa bulan kemudian, pihak militer Hindia Belanda kembali mengirim pasukannya ke Tongka. Kali ini mereka mendirikan pos-pos pertahanan sebelum melakukan serangan agar dapat menyiapkan segala kebutuhan logistik. Pertempuran-pertempuran kecil terjadi selama berminggu-minggu. Tetapi belum juga berhasil menundukan Benteng Tongka, pasukan Hindia Belanda harus ditarik mundur. Ada pertempuran yang lebih menedesak dan memerlukan banyak kekuatan. Pangeran Antasari pun kembali selamat.
“Hidup mengemban penderitaan rakyat, rupa-rupanya yang menempa wataknya yang keras, pantang menyerah, memberikanya sikap kepemimpinan yang tabah dan ulet dalam menghadapi kesukaran-kesukaran besar,” tulis Idwar.
Pangeran Antasari wafat pada 1862. Menurut Amat Asnawi, dkk dalam Sejarah Daerah Kalimantan Selatan, perjuangannya diteruskan oleh anak-cucunya. Para pengikutnya juga terus melancarkan serangan mempertahankan daerah-daerah yang pernah dipimpin sang pangeran.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar