Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
Ia ditakuti pihak musuh karena taktik gerilyanya berhasil memporakporandakan pos-pos pertahanan Belanda. Berujung tragis di tiang gantung musuhnya.
Genderang perang itu akhirnya ditabuh. Seluruh Banjarmasin dilanda kekacauan hebat pada 1859. Rakyat yang tersulut amarah sudah tidak bisa lagi menmaklumi sikap keterlaluan orang-orang Belanda. Setelah seenaknya melakukan monopoli perdagangan, mereka malah turut campur dalam proses pergantian takhta Kesultanan Banjar.
Mulanya kebencian rakyat ditujukan kepada Sultan Tamjid, pemimpin Banjar yang diangkat pemerintah Belanda. Selain dianggap boneka kolonial, perangai sang sultan juga tidak disenangi rakyat. Ia kerap menjalankan hal-hal yang dilarang oleh agama Islam. Namun pertentangan berubah menjadi keinginan mengusir para kolonial setelah keberadaan mereka semakin memberatkan kehidupan rakyat Banjarmasin.
Pucuk perlawanan rakyat dipegang oleh Pangeran Hidayatullah, satu-satunya pewaris takhta yang diakui rakyat. Ia berjuang bersama pahlawan besar Banjarmasin, Pangeran Antasari, dan sejumlah bangsawan serta pemuka agama. Sang pangeran juga didampingi salah seorang pengikutnya yang paling setia: Demang Lehman.
Ditakuti Pihak Musuh
Demang Lehman lahir di Barabai, Hulu Sungai Tengah, Kalimantan Selatan pada 1832. Diceritakan Tamar Djaja dalam Pustaka Indonesia: Riwajat Hidup Orang-orang Besar Tanah Air, ia terlahir dengan nama Idis. Nama Demang Lehman sendiri didapat setelah ia masuk ke dalam lingkungan Kesultanan Banjar sebagai pengikut Pangeran Hidyatullah.
Ketika perang pecah, Demang Lehman dipercaya memimpin pasukan di wilayah Martapura, Matraman, Tanah Laut dan Pengaron. Ia terlibat dalam berbagai pertempuran, baik bersama Pangeran Antasari maupun Pangeran Hidayatullah. Seperti ketika dirinya membantu Pangeran Antasari menduduki benteng Belanda di Pengaron.
Baca juga: Pangeran yang Terbuang
Bersama Haji Nasrun, Demang Lehman juga melakukan penyerbuan besar-besaran ke pos pasukan Belanda di Martapura. Pada Agustus 1859, dibantu Haji Bajasin dan Kiai Langlang, Demang Lehman berhasil merebut benteng Belanda di Tabaniau. Namun tidak bertahan lama karena Belanda segera mengirim pasukan besar untuk merebut kembali benteng tersebut.
“Ia berjuang dengan memakain sistem gerilya, terkenal dengan gerilya kilat. Ia selalu menyerang secara cepat dan tepat. Karena itu kerap kali Belanda kewalahan dibuatnya,” ungkap Djaja.
Pada September 1859, Demang Lehman memimpin pasukannya bergerilya di sekitar benteng Gunung Lawak. Meski kekuatan musuh lebih besar, Demang Lehman berhasil merepotkan pertahanan mereka. Ia menggunakan taktik keluar masuk hutan. Penyerangan dilakukan secara cepat. Berkat itu Belanda kewalahan dan memilih merusak benteng kemudian meninggalkannya. Namun demikian, menurut Idwar Saleh dalam Lukisan Perang Banjar 1859-1865, Demang Lehman kehilangan sekitar 100 pasukan dalam upaya tersebut.
Baca juga: Sultan yang Dimakzulkan
Dari benteng Gunung Lawak, Demang Lehman memfokuskan kekuatannya di Martapura dan Tanah Laut. Dia bertugas menjaga pertahanan di kedua tempat itu selagi pasukan Pangeran Hidyatullah, Pangeran Antasari dan pimpinan perang lain mengambil alih pos-pos pasukan Belanda. Demang Lehman beberapa kali terlibat pertempuran kecil di Martapura yang sebagian besar dimenangkan olehnya.
Dijelaskan dalam buku Republik Indonesia: Kalimantan, terbitan Kementerian Penerangan, Demang Lehman berperang dengan taktik dan persiapan yang matang, ditambah pengetahuan medan yang mumpuni. Bala tentaranya pun begitu memercayai segala arahan darinya. “Siasat Kiai Demang Lehman sekalipun tidak bersenjata lengkap sebagaimana serdadu-serdadu Belanda, tetapi dengan sebilah keris pusakanya, ia pimpin pasukan gerilya.”
Pada 1860, Pemerintah Belanda mengirim surat kepada Pangeran Hidayatullah. Ia diminta menyerah dan menghentikan perlawanan. Namun sang pangeran dengan tegas menolak menyerah. Mendapati jawaban tersebut pasukan Belanda kembali melancarkan serangan besar. Kali ini sasarannya adalah benteng pertahanan rakyat Banjar di Gunung Madang.
Gempuran dilakukan sebanyak lima kali, sepanjang September tahun tersebut. Belanda mengirim de Brauw, de Vries, kapten Koch, dan Mayor Schuak sebagai komandan perang. Sementara pertahanan di Gunung Madang dipimpin langsung Sultan Hidyatullah, bersama Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin.
Baca juga: Empat Raja yang Dibuang ke Cianjur
Gempuran habis-habisan Belanda terjadi pada serangan ke-4 dan ke-5. Di bawah pimpinan Mayor Schuak, pasukan bersenjata lengkap, dengan tambahan meriam berat, dikirim untuk menjebol pertahanan benteng Gunung Madang yang begitu kokoh. Demang Lehman dan Antaluddin memimpin dengan sangat baik. Antara menyerang dan bertahan dilakukan dengan teratur dan terukur. Terutama saat serangan ke-5, pasukan Belanda dibuat morat-marit saat Demang Lehman dan Antaluddin berhasil menghancurkan pertahanan mereka.
“Ketika pasukan Belanda kocar-kacir, diam-diam Demang Lehman dan Tumenggung Antaluddin beserta pasukannya keluar benteng dan menyebar ke luar meninggalkan benteng, dan selanjutnya berpencar. Karenanya, ketika Belanda berhasil masuk ke dalam benteng, mereka telah mendapati benteng yang kosong tanpa ada pasukan pejuang,” ungkap Henraswati dan Zulfa Jamalie dalam Pedagang dan Gerakan Perlawanan terhadap Kolonial Belanda pada Masa Perang Banjar (1859-1905).
Dimanfaatkan Belanda
Pada permulaan 1861, pertempuran sengit terjadi di benteng Tabaniau. Serdadu Belanda melakukan gempuran ke barisan pertahanan pasukan Demang Lehman. Meski selalu dalam keadaan siap, pertahanan Demang Lehman dibuat kewalahan oleh serangan mendadak tersebut. Pertempuran berlangsung selama berhari-hari.
Dalam peristiwa tersebut ratusan serdadu Belanda tewas. Sementara pihak Banjar pun mengalami kerugian yang tidak sedikit. Kerusakan terjadi di mana-mana. Banyak rakyat juga yang menjadi korban. Diperparah lagi oleh kenyataan bahwa mereka harus kehilangan sang panglima perang, Demang Lehman. Ia berhasil ditangkap dan dibawa ke luar dari benteng pertahanannya.
Baca juga: Negeri Berlian di Barat Kalimantan
Tetepi meski telah begitu merepotkan pemerintah Belanda, Demang Lehman tidak dihukum. Menurut Idwar Saleh, ia hanya diminta membuat kontrak dengan Belanda. Tugasnya pun hanya satu: menjadi penghubung antara Belanda dan para pemimpin rakyat Banjar, terutama Pangeran Hidyatullah.
Pada Oktober 1861, Demang Lehman bersama para pemimpin diminta datang ke Banjarmasin. Setelah dilakukan perundingan, pemerintah Belanda sepakat memberi akses tinggal di Banjarmasin, Martapura, atau Pelaihari untuk seluruh keluarga para pemimpin yang datang hari itu. Belanda pun menjanjikan kesepakatan lebih jauh asalkan mereka bisa membawa serta Pangeran Hidyatullah.
“Belanda kemudian minta bicara empat mata dengan Demang Lehman. Residen berusaha memikat Demang Lehman dengan berjanji memberi biaya tiap bulan kepada Demang Lehman dengan syarat rakyat kembali ke desa masing-masing dan meneruskan pekerjaannya,” tulis Saleh.
Pada Desember 1861, Belanda kembali memanggil Demang Lehman. Telah dua bulan sejak ia berjanji membawa Pangeran Hidayatullah. Namun tidak ada hasil apa pun yang dilaporkan. Pemerintah Hindia Belanda ingin Demang Lehman mengatakan kepada Pangeran Hidayatullah bahwa mereka hanya ingin berunding dengannya. Kalau pun perundingan itu dirasa tidak menguntungkan, sang pangeran boleh menolak dan kembali ke pertahannya.
Baca juga: Kerajaan Kuno di Barat Kalimantan
Setelah mendengar janji Belanda tersebut, pada Januari 1862 Demang Lehman pergi menemui Pangeran Hidyatullah di persembunyiannya. Akhirnya setelah diyakinkan, dan berunding dengan orang-orang kepercayaannya, Pangeran Hidyatullah setuju bertemu dengan orang-orang Belanda di Martapura. Pada akhir Januari, rombongan pangeran sampai di lokasi perundingan. Ia membawa serta keluarga, sejumlah pangeran, pejabat kerajaan, dan puluhan pengiring, termasuk Demang Lehman. Residen Verspyck dan pejabat Belanda lainnya menyambut langsung kedatangan Pangeran Hidayatullah.
Namun ketika perundingan berlangsung, Belanda menunjukkan kepicikannya. Mereka segera menjalankan siasat menangkap Pangeran Hidyatullah dan rombongan. Ia dipaksa menandatangani perjanjian dengan Belanda. Salah satunya setuju untuk diasingkan ke Pulau Jawa.
“Sekalipun penangkapan Pangeran Hidayat tersebut usaha Demang Lehman, tetapi bagi Kiai Demang Lehman sendiri tidak mengerti kalau akan kejadian semacam itu karena pada permulaannya residen mengatan bahwa Pangeran Hidayat akan diserahi kembali kerajaannya, maka dengan demikian Kiai Demang Lehman merasa kecewa dan tertipu seolah-olah berkhianat terhadap diri Pangeran Hidayat,” tulis Kementerian Penerangan.
Demang Lehman yang merasa sangat bersalah segera menghimpun kekuatan guna membebaskan Pangeran Hidayatullah. Ia merencanakan serangan dadakan di sepanjang jalan antara Martapura dan Banjarmasin yang akan dilalui rombongan tahanan sang pangeran pada Februari 1862. Dengan membawa persenjataan lengkap, pasukan Demang Lehman berhasil membawa lari Pangeran Hidayatullah ke Riam Kanan.
Mengetahui pemberontakan tersebut, pemerintah Hindia Belanda tidak tinggal diam. Mereka langsung mengirim ratusan tentara untuk mengepung daerah yang ditempati sang pangeran. Namun tidak untuk bertempur, melainkan menutup akses keluar-masuk tempat itu. Mereka melarang pengiriman bahan makanan ke sana. Akibatnya daerah Riam Kanan dilanda bencana kelaparan. Pada akhir Februari 1862, Pangeran Hidayatullah kembali ditangkap. Sebulan kemudian ia dibawa ke Batavia menggunakan kapal-kapal Belanda dan langsung diasingkan ke Cianjur. Sementara Demang Lehman terus melanjutkan perjuangan dengan melakukan serangan-serangan terhadap semua pos pertahanan militer Hindia Belanda.
Pada 1863, perjuangan Demang Lehman akhirnya kandas. Melalui berbagai siasat, ia ditangkap oleh serdadu Belanda di daerah Batu Licin. Dalam Mimbar Penerangan dijelaskan bahwa Demang Lehman lalu diangkut ke Martapura dan menjalani hukuman gantung pada 1864. Kepalanya disita dan dibawa ke negeri Belanda.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar