Punahnya Kesultanan Banjar
Kendati sempat menguasai Kesultanan Banjar lewat jalan damai, pihak Hindia Belanda pada akhirnya memilih jalan kekerasan.
Setelah meletusnya Perang Banjar (1859--1905), serangan demi serangan terus dilancarkan rakyat tanpa henti. Para pemimpin Banjar silih berganti memimpin penyerangan pos-pos pertahanan Belanda di seluruh wilayah Banjarmasin. Pemerintah kolonial dibuat kewalahan dalam menghadapi gempuran yang tiada habis tersebut. Kegigihan rakyat akhirnya membuat Belanda lelah. Mereka segera mengupayakan cara diplomasi.
Perang Banjar sendiri masih mencatatkan diri sebagai perang terbesar di Kalimantan Selatan, bahkan seluruh Kalimantan, pada abad ke-19. Kerusakan yang ditimbulkannya begitu masif. Korban jiwa tak terhitung besarnya. Perang juga meliputi wilayah yang amat luas. Hampir tak ada tempat yang terhindar dari api peperangan.
Kerugian akibat perang tidak hanya dirasakan rakyat Banjar, tetapi juga pihak Kolonial. Perang telah membuat keuangan mereka terpuruk. Pemerintah pusat di Batavia juga sudah tidak banyak memberikan bantuan, mengingat sebelum Perang Banjar mereka harus menghadapi pemberontakan di Jawa. Maka untuk menghindari kerugian yang lebih jauh, Belanda mencoba menerapkan cara-cara non militer.
Baca juga: Jawa Mencengkeram Kalimantan
Menurut Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia Jilid 4, langkah pertama yang dilakukan pemerintah kolonial dalam menerapkan taktik baru tersebut adalah mendatangkan serdadu-serdadu Belanda dari Jawa di bawah pimpinan Kolonel Andresen. Dia ditugasi merebut Martapura untuk kemudian membuka jalan menuju Pengaron, lokasi tambang batu arang Orange Nassau. Selain mencari infromasi mengenai sebab terjadinya perlawanan rakyat. Namun itu bukan pekerjaan mudah. Adresen yang hanya membawa 100 orang dijegal oleh kurang lebih 6000 laskar Pangeran Antasari. Bahkan kapal perang miliknya dibuat kandas oleh suatu serangan besar.
“Sebab itu pada mulanya Andresen tidak berani menggunakan kekerasan, dan mengutamakan taktik politik yang lebih hemat dan menguntungkan,” terang Idwar Saleh dalam Pangeran Antasari.
Pada Juni 1859, usaha Andresen menduduki Martapura berbuah hasil. Sultan Tamjidillah yang telah lama dibenci rakyatnya sendiri karena dianggap boneka Belanda memutuskan turun takhta. Kekosongan pun terjadi di Kesultanan Banjar. Andresen sementara mengambil alih pemerintahan kota sampai pejabat pusat memilih pemimpin baru.
Setelah menerima kekuasaan, Andresen mempelajari surat-menyurat di dalam istana. Dia mendapati fakta bahwa Pangeran Hidayat yang selama ini dianggap dalang di balik penyerangan terhadap Belanda ternyata sama sekali tidak terlibat. Upaya pemberontakan sepenuhnya direncanakan oleh Pangeran Antasari dan Pangeran Aminollah. Dia terhindar dari tuduhan ikut campur dalam persiapan perang terhadap Belanda.
Baca juga: Hikayat Demang Lehman dari Kesultanan Banjar
“Karena itulah Kolonel Andresen selaku komisaris berkuasa penuh pemerintah Hindia Belanda memberi kesempatan kepada Pangeran Hidayat untuk menjadi Sultan agar wibawanya bisa digunakan untuk menentramkan rakyat yang telah bangkit melawan Belanda,” ungkap Idwar.
Andresen berusaha menjalin hubungan baik dengan Pangeran Hidayat. Dia beberapa kali meminta sang pangeran datang menemuinya di Banjarmasin. Tapi tak pernah dipenuhi. Diceritakan dalam Republik Indonesia: Kalimantan, terbitan Kementerian Penerangan, Pangeran Hidayat khawatir jika dia mendapat pengkhianatan dari pemerintah Belanda, seperti yang dialami Prabu Anom.
Karena tak kunjung mendapat jawaban, Andresen mengirim 20 orang utusan ke hadapan Pangeran Hidayat di Amuntai. Mereka menyampaikan jika HIndia Belanda bersedia menyerahkan Kesultanan Banjar kepadanya, asalkan dia bersedia kembali dan tinggal di Banjarmasin. Namun melihat besarnya perlawanan rakyat, serta pengaruh pasukan Pangeran Antasari, Pangeran Hidayat menolak syarat itu. Dia tidak ingin terpengaruh siasat Belanda terhadap kekuasaannya.
Rupanya pemerintah pusat di Batavia tidak terlalu senang dengan siasat Andresen. Cara-cara yang dia gunakan terlalu lemah. Pemerintah pusat menghendaki keputusan yang cepat. Akhirnya pada November 1859, Andresen dipindahkan ke tempat lain. Sebagai gantinya, bertugaslah F.N. Nieuwenhuizen, yang secara penuh mengendalikan pemerintahan di Banjarmasin.
Baca juga: Negeri Berlian di Barat Kalimantan
“Nieuwenhuizen mengadakan pertemuan dengan Pangeran dan Alim Ulama di Martapura untuk membicarakan sumpah dan kutuk yang mengancam runtuhnya kerajaan Banjarmasin, sebagai yang tersebut dalam surat wasiat almarhum Sultan Adam, yang akhirnya diputuskan bahwa segala kutuk dan sumpah itu dianggap tidak terjadi sebab semuanya bertentangan dengan agama Islam,” tulis buku terbitan Kementerian Penerangan RI itu.
Nieuwenhuizen lalu meminta pemerintah pusat menerbitkan surat berisi ulitmatum kepada Pangeran Hidayat agar dirinya menyerahkan diri. Jika menolak, Kesultanan Banjarmasin akan diambil alih dan dihapuskan. Namun pemerintah Batavia sendiri telah memutuskan jika penghapusan Kesultanan Banjarmasin akan dilakukan meski tidak ada respon dari Pangeran Hidayat. Maka pada Desember 1859, melalui surat putusan pemerintah Belanda di Batavia, Kesultanan Banjarmasin secara resmi dihapus dan pemerintahan di kota itu seluruhnya dikendalikan Nieuwenhuizen.
Setelah merampas seluruh hak Kesultanan Banjarmasin, pihak kolonial mengadakan pengepungan dan pembersihan pasukan-pasukan Banjar pimpinan Demang Lehman, Pangeran Antaludin, dan Pangeran Aminullah. Mereka juga tak henti-hentinya mengirim serdadu-serdadu-nya ke semua wilayah yang dianggap masih berpotensi melakukan pemberontakan.
Pada Juni 1860, pihak Hindia Belanda mengumumkan penghapusan Kesultanan Banjarmasin secara luas ke seluruh Kalimantan Selatan. Maka punahlah salah satu kesultanan terbesar di Kalimantan itu. Kesultanan Banjarmasin pada akhirnya dibagi oleh Hindia Nelanda menjadi tiga afdeling, yakni Kuwin, Martapura, dan Amuntai. Masing-masing dibagi ke dalam beberapa distrik, yang dikepalai oleh perutusan dari Batavia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar