LEPAS empat hari pasca-militer Hamas melancarkan serangan roket kolosal, pasukan IDF Israel makin gencar melancarkan serangan balik ke Jalur Gaza, Palestina. Serangan membabi-buta yang juga menyasar penduduk sipil itu diberitakan juga menggunakan senjata terlarang, bom fosfor putih, sejak Selasa (10/10/2023) malam.
“Pesawat-pesawat tempur dan artileri Israel menggunakan (bom) fosfor putih yang dilarang dunia internasional, menghancurkan pemukiman #Al_Karama di barat laut Gaza dengan serangkaian serangan udara terus-menerus. Korban jiwa dan luka berjatuhan, sementara ambulans-ambulans dan kendaraan pertahanan sipil tak bisa mencapai area itu karena intensitas serangan udara dan penghancuran jalan-jalan,” ungkap Kementerian Luar Negeri Palestina di akun X-nya, @pmofa, Rabu (11/10/2023).
Hal serupa juga disuarakan Muhammad Hussein, warga negara Indonesia (WNI) yang bekerja sebagai relawan Mer-C di Gaza. Lewat sambungan jarak jauh, kepada program “Kabar Pagi” tvOne, dia menyatakan ini bukan kali pertama Israel menggunakan senjata kimia itu untuk menyerang penduduk sipil di Gaza.
“Kami juga mendapatkan kabar bahwa malam ini (10 Oktober, red) ada penampakan bom fosfor yang ditembakkan dari pesawat-pesawat tempur Israel ke pemukiman warga. Bom fosfor ini terkenal sangat ganas karena asapnya ini bisa membuat kulit itu melepuh dan kepanasan dan bisa membunuh secara perlahan,” kata Hussein, dikutip akun Youtube tvOneNews, Rabu (11/10/2023).
Baca juga: Che Guevara dan Perlawanan di Gaza
Bertambahnya korban yang berjatuhan, utamanya di Jalur Gaza, memicu keprihatinan dunia internasional, termasuk Indonesia. Menurut catatan Kementerian Kesehatan Palestina yang dikutip The Guardian, Rabu (11/10/2023), per hari Selasa (10/10/2023) tercatat serangan di Gaza sudah memakan korban setidaknya lebih dari lima ribu jiwa. Selain sekitar 900 tewas, termasuk 260 anak-anak dan 230 perempuan, 4.500 lainnya terluka.
“Indonesia mendesak agar perang dan tindakan kekerasan segera dihentikan untuk menghindari semakin bertambahnya korban manusia dan hancurnya harta benda, karena eskalasi konflik dapat menimbulkan dampak kemanusiaan yang lebih besar,” kata Presiden RI Joko Widodo di Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (10/10/2023), di laman resmi Sekretariat Kabinet RI.
“Akar konflik tersebut yaitu pendudukan wilayah Palestina oleh Israel, harus segera diselesaikan sesuai dengan parameter yang sudah disepakati PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa, red),” tukasnya.
Mula Fosfor Putih
Fosfor putih sederhananya merupakan satu dari tiga alotrop atau elemen dari fosfor dalam bentuk polimer amorf yang mengandung mineral-mineral hidroksiapatit, flourapatit, dan klorapatit. Dua elemen lainnya adalah fosfor merah dan fosfor hitam dengan mineral-mineral berbeda.
“Sebagaimana banyak temuan-temuan saintifik, fosfor putih ditemukan secara tidak sengaja oleh (ilmuwan kimia) Hennig Brand di Hamburg pada 1669, saat ia menyuling urine dengan pasir (silika) dan batubara dalam rangka mengisolasi logam untuk eksperimen-eksperimen kimianya. Sebutan phosphorus (fosfor, red.) diambil dari bahasa Yunani yang artinya ‘pembawa cahaya’ karena elemen itu bersinar dalam gelap,” tulis Marianne E. Walsh dkk. dalam Persistence of White Phosphorus Particles in Sediment.
Saat itu, Brand belum paham elemen-elemen seperti yang dikenal sekarang. Fosfor sebagai sebuah elemen baru dikenal pada 1772 lewat ilmuwan kimia Prancis Antoine Lavoisier. Oleh karenanya, fosfor putih juga jadi elemen yang mudah terbakar. Pembakaran yang dihasilkannya bahkan bisa mencapai suhu 1.500 derajat fahrenheit (setara 815 derajat celcius).
Baca juga: Serba-serbi Senjata Biologis
Produksi massal dan penggunan fosfor putih untuk aksi-aksi teror dan kekerasan baru tercatat terjadi di pertengahan abad ke-19, oleh kelompok pro-demokrasi Irlandia IRB (Persaudaraan Republik Irlandia) yang lebih kondang dengan sebutan Fenian Brotherhood. Kelompok pro-republik demokratis yang memperjuangakan kemerdekaan Irlandia dari Kerajaan Inggris itu sudah sering bikin aksi teror di London hingga Dublin.
“Pada November 1867, sebuah ledakan terjadi di pengadilan Dublin yang diakibatkan ‘Fenian Fire’, versi dari zat pembakar yang mengandung fosfor putih dan dilaporkan diproduksi IRB di Ballybrough, Dublin. Zat kimia yang mudah terbakar itu dimasukkan ke dalam botol dan digunakan seperti granat, di mana senjata-senjata itu ditemukan aparat dalam jumlah besar selama Pemberontakan (Fenian) Maret 1867,” ungkap Niall Whehelan dalam The Dynamiters: Irish Nationalism and Political Violence in the Wider World, 1867-1900.
Inggris sendiri mempelopori penggunannya sebagai senjata militer. Utamanya untuk pengemboman dengan mortir dan artileri pada Perang Dunia I (1914-1918) dan Pemberontakan Irak (1920). Militer Amerika kemudian mengikutinya.
Pada Perang Dunia II (1939-1945), Inggris memodifikasi lagi penggunaannya. Kali ini justru mirip “Fenian Fire”, yakni dengan dimasukkan ke dalam botol khusus dan dilemparkan bak granat. Sementara, Amerika mulai mengonversi penggunannya sebagai granat asap yang dibawa tank-tank M4 Sherman untuk menyamarkan posisi mereka jika berhadapan dengan tank-tank Panther atau Tiger Jerman.
“Asapnya (fosfor putih) juga bisa digunakan untuk menampakkan siluet kendaraan-kendaraan tempur musuh dengan menembakkan granat asapnya di belakang posisi musuh demi bisa mendapatkan penglihatan yang lebih kontras bagi kru penembak,” ungkap Steven J. Zaloga dalam Panzer vs Sherman: France 1944.
Baca juga: Gas Air Mata Awalnya untuk Perang
Sejak saat itu, fosfor putih makin umum digunakan sebagai senjata militer dengan ragam lebih luas, mulai dari bom hingga roket. Fosfor putih acap digunakan dalam banyak pertempuran, mulai dari penggunaannya oleh Amerika di Perang Vietnam (1955-1975), oleh Inggris di Perang Falkland/Malvinas (1982), oleh Rusia di Perang Chechen I (1994-1996) dan Perang Chechen II (1999-2009), Perang Rusia-Ukraina (2014-sekarang), hingga oleh militer Israel dalam konflik Gaza sejak 2008-sekarang maupun sebelumnya, Perang Lebanon (2006).
Luka bakar yang dihasilkan bom-bom fosfor putih akan lebih parah dari mereka yang jadi korban bom konvensional. Asap yang muncul dari ground zero atau lokasi pengembomannya bisa mengakibatkan korban mengalami luka bakar tingkat 2 hingga tingkat 3. Lantas asap yang masuk ke dalam tubuh melalui luka bakar tadi juga bisa menyebabkan gagal liver, jantung, atau ginjal.
Lantaran bahaya yang ditimbulkannya itulah hukum internasional melarang penggunaan fosfor putih terhadap konsentrasi sipil, baik pemukiman maupun kerumunan. Konvensi Jenewa 1949 melarang penggunaan senjata apapun dalam serangan udara terhadap sipil. Lalu diperkuat lagi dengan Konvensi PBB untuk Senjata Konvensional 1980 soal spesifik penggunaan senjata fosfor putih.
Meski begitu, CWC atau Konvensi Senjata Kimia 1992 tidak menyatakan fosfor putih masuk sebagai kategori senjata kimia yang dilarang penggunannya untuk militer. Alasannya, CWC mendefinisikan senjata yang mengandung kimia beracun adalah senjata beracun yang bisa menyebabkan kematian, sementara fosfor putih tidak dianggap sebagai senyawa beracun, lantaran lazimnya digunakan hanya untuk menghasilkan asap yang menyamarkan pergerakan pasukan. Padahal, kenyataan di lapangan berbeda, seperti yang dilakukan IDF terhadap penduduk sipil Gaza sekarang.
Baca juga: Darah dan Air Mata Palestina