Indonesia terbilang terlambat untuk memulai program KB. Tapi juga bukan hal mudah untuk menjalankannya, mengingat tentangan dari kelompok Islam yang tak menyetujui pembatasan kehamilan dan budaya “banyak anak banyak rezeki”.
Pemikiran tentang mengendalikan pertumbuhan penduduk sudah disuarakan sejumlah pemikir dunia sejak lama, dari Plato, Ibnu Khaldun, hingga Thomas Robert Malthus. Adalah Margareth Sanger, seorang juru rawat di Amerika yang kali pertama menggagas program pengendalian penduduk. Berkat usahanya, pada 1923 mulai dibuka biro klinik pengaturan kelahiran, yang membuka jalan bagi ratusan klinik sejenis di Amerika. Di Inggris, lima tahun sebelumnya, Marie Stoppes menggagas hal serupa.
Di India, pada 1923, Profesor Karve membuka klinik KB pertama di Poona, yang diikuti klinik KB pemerintah pertama di Bangalore tujuh tahun kemudian. India melaksanakan program KB nasional pada 1952, yang pertama di dunia. China, meski pada 1920-an tertarik dengan program kendali reproduksi, antara lain dengan mengintesifkan eugenika, mulai memperkenalkan program dan kampanye KB pada 1953 –kemudian pada 1969 menerapkan kebijakan satu anak.
Di Indonesia, Presiden Sukarno belum menganggap penting masalah pertumbuhan penduduk. Dia sibuk dengan persoalan politik dan ekonomi yang sempat terbengkalai akibat perang kemerdekaan. Dia justru mengatakan, Indonesia dapat menghidupi 2-3 kali lipat dari 80 juta penduduk yang mendiami negeri ini pada 1950-an. Di sisi lain, Sukarno melihat aspek moralitas dan potensi oposisi dari kalangan agama. Tapi bukan berarti Sukarno tak peduli.
Baca juga: Penduduk Indonesia Sudah Padat Sejak Dulu
Terence H. Hull dan Valerie J. Hull menulis bagaimana Sukarno mengingatkan istrinya agar tak hamil sekurang-kurangnya tiga tahun. Dia juga memahami isu fertilitas dan kesehatan perempuan, serta bersimpati dengan KB. “Namun, sebagai presiden, beliau tidak ingin kelihatan menerima saran dari luar negeri,” ujar Dr Soeharto, dokter pribadi Sukarno, seperti dikutip Terence H. Hull dan Valerie J. Hull, “Dari Keluarga Berencana ke Pelayanan Reproduksi: Sebuah Riwayat Singkat,” termuat dalam Masyarakat, Kependudukan, dan Kebijakan di Indonesia.
Sekembalinya dari studi di negara-negara Eropa, pada 1952 Julie Sulianti Sarosomengkampanyekan gerakan KB. Bersama sejumlah tokoh perempuan, dia mendirikan Yayasan Kesejahteraan Keluarga, yang bergerak dalam pengaturan kehamilan serta kesehatan ibu dan anak.
Tapi masih ada tantangan yang menghadang. Tak mudah mendapatkan alat kontrasepsi seperti IUD atau diafragma. Jumlahnya terbatas. Pemakaian kondom belum familiar; dan kerap dikaitkan dengan “perilaku menyimpang”. Maka, seringkali dokter menyarankan penggunaan “metode India”. Begini caranya: sepotong kapas diikat dengan benang atau tali. Rendam kapas dalam air garam (kemudian diganti dengan minyak kelapa) lalu masukkan ke dalam vagina dan dorong hingga ke leher rahim. Fungsinya untuk memblokir jalan sperma. Di pagi hari, tarik tali untuk mengeluarkan kapas.
Gerakan KB kian menguat sejak pembentukan Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI) oleh H.M. Judono bersama sejumlah dokter dan aktivis perempuan. PKBI antara lain bekerjasama dengan International Planned Parenthood Federation (IPPF), untuk melatih dokter dan perawat serta mengimpor alat kontrasepsi. Beragam alat kontrasepsi tersedia menjelang kejatuhan Presiden Sukarno.
Baca juga: Keluarga Berencana ala Bung Karno
Sama seperti Sukarno, Soeharto bersikap hati-hati. Selain merupakan isu sensitif, “Rezimnya sangat berhutang budi pada berbagai kelompok Islam yang telah menjadi prajurit dan pembasmi orang komunis...,” tulis Terence H. Hull dan Valerie J. Hull.
Pada akhirnya Soeharto menerima anjuran para teknokrat dan lembaga donor untuk menandatangani Deklarasi Pemimpin-pemimpin Dunia mengenai Kependudukan yang disponsori Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada 10 Desember 1967. Pada September 1968, dia secara terbuka menyatakan bahwa KB akan menerima bantuan, dukungan, dan perlindungan dari pemerintah. Pada saat bersamaan, sebuah keputusan disepakati bersama perusahaan farmasi Organon Internasional untuk mengimpor bahan baku guna memproduksi pil kontrasepsi di Indonesia.
Soeharto menyampaikan program KB dalam pidato kenegaraan pada 16 Agustus 1972 di DPR/MPR: “Kita dihadapkan pada keadaan terpaksa atau darurat. Apabila keluarga berencana mengalami kegagalan, apabila tingkat kelahiran tidak dapat ditekan sampai batas minimum, maka semua usaha pembangunan tidak ada artinya, bahkan dapat membahayakan generasi mendatang.” Pidato kenegaraan tersebut masuk dalam Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN).
Baca juga: Malu-Malu Mau pada Kondom
Pemerintah menjalankan program KB nasional dengan sokongan dana dari sejumlah lembaga donor. Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN), yang dibentuk pada 29 Juni 1970, bertindak sebagai pelaksana maupun koordinator.
KB menjadi contoh bagaimana negara mengatur perencanaan keluarga dengan pedoman Norma Keluarga Kecil Bahagia dan Sejahtera (NKKBS). “Dalam mencapai sasaran NKKBS dicanangkan konsep pancawarga: keluarga dengan tiga anak, kemudian menjadi caturwarga: cukup dua anak saja,” tulis dr. Ida Ayu Chandranita Manuaba, dkk. dalam Memahami Kesehatan Reproduksi Wanita Edisi 2.
Muncullah kisah sukses BKKBN dalam peningkatan jumlah pasangan, terutama perempuan, yang menerima kontrasepsi –sekalipun sempat muncul kritik terkait indikasi pemaksaan demi mengejar target jumlah akseptor KB, termasuk melibatkan militer. Pada 1979, misalnya, tercatat lebih dari 1,3 juta perempuan mengandalkan BKKBN untuk memenuhi kebutuhan pengendalian kelahiran. Tingkat fertilitas juga menurun, misalnya, dari 5,6 pada 1971 menjadi 4,6 pada 1980 dan turun lagi menjadi 2,8 pada 1997. Program ini kemudian berkembang menjadi gerakan keluarga sejahtera yang jauh lebih luas dari sekadar pelayanan kontrasepsi.
Baca juga: Mencegah Keluarga Brayut
Keberhasilan Indonesia mendapat pengakuan dari dunia internasional. Bahkan Badan Kependudukan PBB (UNFPA) menetapkan Indonesia sebagai pusat rujukan dalam bidang kependudukan, KB, dan kesehatan reproduksi.
Program KB nyaris tak terdengar sejak reformasi. Pada masa pemerintahan SBY jilid I, kedudukan BKKBN diturunkan di bawah koordinasi menteri kesehatan –bukan lagi Badan Koordinasi tapi menjadi Badan Kependudukan. Praktis BKKBN tak bisa leluasa bergerak. Di daerah-daerah, sejalan dengan otonomi daerah, banyak kantor BKKBN ditutup atau digabung dengan instansi lain tanpa kejelasan tugas. Pembagian kontrasepsi diserahkan Dinas Kesehatan. Kesinambungan program KB pun jadi tersendat.
Apa kabar KB? Masihkah berjalan atau kita akan menyaksikan tingginya tingkat fertilitas yang berdampak pada ledakan kelahiran bayi (baby boom).