Masuk Daftar
My Getplus

Mencegah Keluarga Brayut

Ki dan Nyi Brayut yang repot karena banyak anak jadi media kampanye program Keluarga Berencana.

Oleh: Nur Janti | 02 Agt 2017
Wayang Brayut koleksi Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat, yang digunakan untuk kampanye program Keluarga Berencana di Yogyakarta. Foto: Nur Janti/Historia.

Ki dan Nyi Brayut sepasang suami istri dalam cerita pewayangan yang memiliki banyak anak. Nyi Brayut menggendong anak-anaknya di belakang, sedangkan Ki Brayut memikul anak-anaknya. Wayang Brayut yang dipamerkan di Museum Wayang di Jalan Pintu Besar Utara No. 27 Jakarta Barat, digunakan untuk kampanye program Keluarga Berencana (KB) di Yogyakarta.

“Ini (Ki dan Nyi Brayut, red.) menggambarkan adanya keluarga besar. Brayut dari kata brayat, berarti keturunan. Orang zaman dulu berpikir setiap anak sudah ada yang mengatur rezekinya masing-masing. Beda dengan sekarang, sudah takut duluan tidak bisa menghidupi,” terang Sumardi, kepala satuan pelayanan Museum Wayang, kepada Historia.

R. Bima S. Rahardja, dosen Sastra Nusantara Universitas Gadjah Mada menjelaskan bahwa penggunaan wayang brayut untuk kampanye program KB bertujuan memberikan gambaran pada masyarakat akan repotnya memiliki banyak anak.

Advertising
Advertising

“Wayang Brayut digunakan untuk menggambarkan kerepotan memiliki banyak anak. Nah, kemungkinan ini yang ditangkap Pak Harto pada saat itu untuk sosialisasi program KB. Dulu Pak Harto senang sekali dengan wayang,” jelas Bima kepada Historia.

Menurut Bima, pemilihan wayang sebagai media kampanye karena pada tahun 1970-an belum banyak hiburan yang dapat dinikmati rakyat. Wayang merupakan hiburan yang paling digemari banyak orang.

“Akses hiburan belum begitu banyak kecuali seni tradisional, salah satunya wayang. Wayang menjadi tontonan nomor satu di Jawa pada saat itu sehingga menjadi alat yang efektif untuk mensugesti masyarakat,” terang Bima.

Wayang Brayut sudah muncul jauh sebelum program KB dicanangkan. Mulanya, wayang ini muncul di Surakarta pada masa Pakubuwana IV yang memerintah sejak 1788 hingga 1820. “Wayang Brayut kemungkinan sampai ke Yogyakarta pada masa Hamengkubuwono V (memerintah sejak 1823-1826 dan 1828-1855, red.). Kalau dilihat dari busana wayangnya, mereka adalah rakyat biasa. Selain tokoh Ki dan Nyi Brayut, ada pula gambaran anak-anak mereka,” kata Bima.

Menurut Sumardi, Ki dan Nyi Brayut bukan tokoh baku dalam cerita pewayangan. Tokoh-tokoh ini muncul sebagai sisipan dalam pertunjukan wayang. Mendukung pernyataan Sumardi, Bima memberikan gambaran mengenai kemunculan tokoh Brayut dalam cerita pewayangan. Dalam salah satu adegan di cerita Mahabharata, ketika pasukan kerajaan sedang berjalan, mereka melihat anak-anak Ki dan Nyi Brayut. Salah seorang anggota pasukan yang melihat kemudian merasa keheranan dengan jumlah anak yang sangat banyak.

Dengan digunakannya wayang Brayut sebagai media kampanye, kemudian muncul cerita-cerita yang khusus untuk tujuan sosialisasi KB. “Wayang Brayut merupakan wayang suluh, yakni wayang sebagai media penerangan kepada masyarakat. Wayang itu media dakwah yang sangat luwes. Sehingga digunakan sebagai sarana penyuluhan tentang KB di era Soeharto,” tutup Sumardi.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Aksi Spionase di Balik Kematian Leon Trotsky Eks Pesindo Sukses Satu Episode Tim Garuda di Olimpiade Ibnu Sutowo dan Anak Buahnya Kibuli Wartawan Kisah Bupati Sepuh AS Kembalikan Benda Bersejarah Peninggalan Majapahit ke Indonesia Mata Hari di Jawa Menjegal Multatuli Nobar Film Terlarang di Rangkasbitung Problematika Hak Veto PBB dan Kritik Bung Karno