Indonesia salah satu negara berpenduduk terpadat di dunia bukanlah hal yang baru terjadi. Nyatanya pulau-pulau di Nusantara dulunya sudah menjadi tempat yang ramai, bahkan salah satu teramai di dunia.
Uka Tjandrasasmita dalam Pertumbuhan dan Perkembangan Kota-kota Muslim di Indonesia menulis pada masa perkembangan Islam beberapa kota di Nusantara memiliki jumlah penduduk lebih besar dibandingkan beberapa kota di Eropa dan Amerika.
London pada abad ke-14 berpenduduk antara 30.000 sampai 40.000 jiwa. New York dan Bristol kurang dari 10.000 jiwa. Pada pertengahan abad ke-15, Frankfurt berpenduduk 8.700 jiwa, Nurenberg 20.000, Strassburg 20.000 jiwa. Kota-kota itu pada masanya sudah termasuk kota besar.
Pada pertengahan abad ke-16 penduduk Bristol masih 10.000 orang, Swedia lebih kurang 5.000 orang. Padahal ukuran sebuah kota minimal berpenduduk 2.000-5.000 orang.
Di Eropa pada waktu itu hanya Paris dan Napoli yang berpenduduk lebih dari 100.000. Dua kota lainnya, Istambul dan Kairo, juga memiliki beberapa ratus ribu penduduk. Lalu seperti kata sejarawan Prancis F. Braudel, kota yang betul-betul raksasa dalam hal jumlah penduduk adalah Peking dan Edo (Tokyo). Pada abad ke-16 keduanya telah memiliki sejuta penduduk.
Sementara itu, menurut sejarawan Ong Hok Ham dalam artikelnya “Dulu Indonesia Punya Kota-Kota Besar," Tempo 20 Juni 1981, pada abad ke-16 dan 17 seluruh penduduk Indonesia diperkirakan telah mencapai jumlah 8.000.000 jiwa. Mengutip ceramah sejarawan Anthony Reid setahun sebelumnya, Ong menyebutkan kota-kota pelabuhan terbesar di Nusantara kala itu berpenduduk antara 50.000 dan 100.000 jiwa. Misalnya Malaka dan Demak pada abad ke-16. Aceh, Makassar, Banten, dan Surabaya pada abad ke-17.
“Maka Indonesia atau Asia Tenggara pada abad-abad itu agaknya merupakan salah satu bagian dunia yang paling urban, atau bagian terbesar penduduk tinggal di kota seperti Australia sekarang,” tulis Ong.
Sensus penduduk Kesultanan Banten
Pada kenyataaannya data soal jumlah penduduk yang menempati kepulauan di Nusantara pada masa lalu sulit dipastikan. Pada masa kerajaan-kerajaan khususnya, sensus penduduk belum menjadi perhatian.
Menurut Uka, satu-satunya kerajaan, khususnya pada akhir abad ke-17 M, yang pernah punya perhatian terhadap sensus penduduk adalah Kerajaan Banten. Tepatnya sensus itu dilakukan pada 1694. Ketika itu, yang memerintah Banten adalah Sultan Abdul Mahasin Zainul Abidin, di bawah pengawasan Pangeran Natawijaya.
Sensus penduduk dilakukan terhadap penduduk di Kota Surosowan. Ibu kota Kesultanan Banten itu tumbuh menjadi kerajaan muslim sejak tahun 1526. Di sana didirikan keraton, masjid agung, pasar, pelabuhan, dan perkampungan asing. Hasilnya, pada sensus yang pertama itu, penduduk Kota Surosowan berjumlah 31.848 orang.
Baca juga: Arsitek kesultanan Banten
Sensus kedua dilakukan pada 1708. Hasilnya penduduk Surosowan bertambah menjadi 36.302 orang. Artinya penambahan penduduk selama 12 tahun hanya 4.454 orang. “Suatu penambahan yang ralatif tak menonjol,” kata Uka.
Selain itu, data penduduk kota lainnya lebih bersifat relatif. Jumlahnya hanya perkiraan berdasarkan sumber berita asing, babad dan hikayat.
Pelawat asal Portugis, Tome Pires, salah satu yang mencatat data penduduk di tempat-tempat yang dia kunjungi. Dalam Suma Oriental, Pires mencatat kunjungannya ke Pasai, Palembang, Cirebon, Tegal, Demak, Tuban, dan Ternate pada abad ke-16.
Menurut Uka, sebelum Islam datang, Samudera hanyalah merupakan sebuah kampung (Gampong) dengan dikepalai oleh kepala suku. Pada abad ke-13 wilayah itu menjadi kota besar, bahkan ibukota kerajaan Islam.
Baca juga: Ibnu Battuta singgah di Samudra Pasai
Menurut catatan Tome Pires, penduduk kota di pusat Kerajaan Pasai tak kurang dari 20.000 orang. Palembang, yang juga berada di Sumatra, berpenduduk lebih kurang 10.000 orang.
Waktu itu Palembang telah ada di bawah pengaruh Demak. Kota Demak sendiri, pada awal abad ke-16 adalah pusat kerajaan bercorak Islam terbesar di Jawa. Penduduknya berjumlah antara 8.000-10.000 keluarga. Asumsinya, jika satu keluarga terdiri dari 4-5 orang, kira-kira di kota itu sudah ada 40.000 atau 50.000 orang yang tinggal.
Kendati sudah ramai, corak kehidupan masyarakat di Nusantara berbeda dengan di Eropa dan Amerika. Kota di Eropa Barat, misalnya, secara fisik dikelilingi oleh dinding-dinding pertahanan. Di Indonesia hanya ada beberapa kota yang memiliki dinding, misalnya Surabaya, Tuban, dan Aceh.
“Kota berdinding di Indonesia lebih bersifat kampung daripada gedongan seperti di Barat,” tulis Ong.
Artinya, perbedaan fisik antara daerah kota dan pedalaman tidak demikian nyata. Sebab, rumah di perkotaan Indonesia dikelilingi pekarangan luas dengan pepohonan.