MUHAMMAD Al-Khaththath, sekretaris jenderal Forum Umat Islam (FUI), meminta Tugu Tani di bilangan Menteng, Jakarta Pusat, dirobohkan karena dia anggap sebagai patung warisan komunis. Tuntutan itu disampaikan dalam dialog “Lawan Komunis Gaya Baru” yang diselenggarakan Forum Komunikasi Putra Putri Purnawirawan Indonesia (FKPPI) di Jakarta, Rabu (25/5/2016). Pernyataan Al-Khaththath dapat dilihat di akun youtube Jakartanicus berjudul “Usulan Merobohkan Tugu Tani.”
“Patung Tugu Tani kontroversial karena petani bersenjata kadang-kadang diidentifikasi dengan komunisme,” tulis Jacques Leclerc dalam Urban Symbolism.
Bukan kali ini saja patung Tugu Tani diminta untuk dirobohkan. Pada 2001, organisasi yang menamakan diri Aliansi Anti Komunis (AAK), selain membakar buku-buku kiri, juga mengancam merobohkan patung tersebut.
Jauh sebelumnya, pada 1982, Letjen (Purn.) Sarwo Edhie Wibowo, menganggap Patung Tani sebagai pengejawantahan petani yang dipersenjatai. “Patung itu patung Pak Tani Komunis. Mana ada petani kita sikap angkuhnya begitu. Tidak ada! Di Indonesia mana ada petani yang angkuh? Petani kita sopan-sopan,” katanya dikutip Tempo, 1982.
Karena menganggap patung itu pengejawantahan angkatan kelima PKI, Sarwo Edhie menghimbau Gubernur Jakarta Suprapto agar meninjau kembali pemasangan patung tersebut. “Kalau patung Pak Tani BTI (Barisan Tani Indonesia, organisasi terafiliasi dengan PKI), apa harus, kita pasang terus?” ujar Sarwo Edhie, yang kala itu menjabat Irjen Departemen Luar Negeri.
Gagasan Sarwo Edhie ditentang Wakil Presiden Adam Malik yang terlibat dalam proses terwujudnya patung tersebut. Menurut Adam Malik, patung itu mengabadikan perjuangan merebut Irian Barat yang disiapkan, dibuat, dan terpancang jauh sebelum meletusnya G30S. Sukarno meresmikan patung tersebut pada 1963.
“Salah sama sekali jika dikatakan bahwa patung itu berbau kolone kelima,” kata Adam Malik.
Menurut Adam Malik, tatkala mengunjungi Uni Soviet sekitar tahun 1960, Sukarno memintanya, waktu itu menjabat duta besar Indonesia di Moskow, untuk mencari pematung terkenal Rusia untuk membuat patung perjuangan pembebasan Irian Barat. “Dengan demikian patung tersebut bukan hadiah atau hasil pemikiran orang Soviet, melainkan pesanan dan pemikiran Bung Karno sendiri,” jelas Adam Malik.
Sukarno kemudian mengundang pematung terkenal Rusia, Matvei Manizer, dan anaknya, Otto Manizer, ke Indonesia. “Matvei dan Otto mengunjungi beberapa tempat di Indonesia dan terinspirasi oleh cerita rakyat Sunda tentang seorang ibu yang melepaskan anaknya untuk pergi berperang,” tulis Jakarta Post, 10 Mei 2001.
Sementara itu, menurut Adam Malik, gambar dan bentuknya berdasarkan petunjuk Bung Karno. Idenya: seorang ibu yang rela dan gembira melepaskan pejuang untuk merebut Irian Barat. Dalam adegan perpisahan itulah sang ibu memberikan sebungkus nasi kepada pemuda pejuang yang akan berangkat ke medan juang.
Pematung terkemuka Indonesia, G. Sidharta, tidak setuju kalau patung Tugu Tani itu dihilangkan. Dia menilai, dari segi seni, patung itu salah satu yang terbaik di Jakarta dan penempatannya juga baik.
Peran Perempuan dalam Perjuangan
Cerita lain di balik latar belakang patung Tugu Tani dikemukakan Gubernur Jakarta Soemarno Sosroatmodjo. Sekira tahun 1961, Soemarno menyampaikan gagasan membuat patung yang mengangkat peran perempuan dalam perjuangan kemerdekaan karena peran mereka juga besar.
“Pak, selama ini yang kita tokohan sebagai patung hanya kaum pria. Saya mempunyai gagasan, kaum wanita pun perlu kita tokohkan sebagai patung, sebab jasanya selama perang kemerdekaan tak kurang besarnya,” kata Soemarno dalam otobiografinya Dari Rimba Raya ke Jakarta Raya.
Ide itu berdasarkan pengalaman Soemarno ketika bergerilya di Malang Selatan. Banyak perempuan berjuang tanpa mengenal lelah, menyediakan makanan bagi prajurit, “membantu saya merawat yang luka-luka, mencucikan pakaian, bahkan ikut memegang senjata melawan musuh.” Ini berbeda dari keterangan bahwa patung Tugu Tani menggambarkan perjuangan pembebasan Irian Barat tahun 1960-an.
Kepada Sukarno, Soemarno menggambarkan gagasan patungnya: “sebuah patung wanita yang sedang menggendong bayi, berdiri di dekat pancuran, tangan kirinya menjinjing cucian, dan tangan kanannya menyerahkan sebungkus nasi kepada prajurit yang hendak berangkat ke medan perang.”
Sukarno setuju dengan gagasan itu dan dia berkata: “O, baik sekali. Pikirkan itu lebih lanjut.”
Dalam kunjungan bersama Presiden Sukarno ke Yugoslavia, Soemarno membicarakan pembuatan patung itu dengan beberapa pematung Yugoslavia. Namun, Soemarno tidak puas dengan desain yang mereka buat. Tak lama kemudian, Soemarno membicarakan patung itu dengan pematung asal Jepang yang membuat patung Ibu Kartini. Perhimpunan Persahabatan Indonesia-Jepang menghadiahkan patung Ibu Kartini dan ditempatkan di depan Taman Surapati –patung ini sudah lama tiada.
Beberapa bulan kemudian, Soemarno menerima contoh patung dari pematung Jepang namun juga tidak memenuhi gagasannya. Ketika Sukarno bertanya apakah sudah ada contoh patung itu, Soemarno menjawab, “contohnya kurang memuaskan karena kurang sempurna melukiskan gagasan yang hendak dikemukakan.”
“Tiba-tiba Bung Karno memberi tahu saya, dia sudah memesan patung itu kepada pematung Uni Soviet. Hasilnya ialah Patung Pahlawan yang ditempatkan di Kwitang Prapatan,” kata Soemarno.
Menurut Jacques Leclerc, Patung Pahlawan –lebih dikenal dengan patung Tugu Tani–ditempatkan di persimpangan Jalan Menteng dan Prapatan karena tempat itu sangat penting selama hari-hari Revolusi Agustus 1945.
Soemarno punya tafsir sendiri dengan Patung Pahlawan itu: “melukiskan seorang wanita yang menyampaikan bekal makanan kepada pria yang hendak berangkat ke medan perang. Sang pria digambarkan mengenakan caping, lambang rakyat jelata. Sedangkan sang wanita melambangkan puteri kalangan atas, sehingga keseluruhan patung itu menggambarkan persatuan dan kesatuan antara rakyat jelata dan kaum feodal.”