Masuk Daftar
My Getplus

Si Bung dan Dua Gadis Jepang

Tak banyak orang tahu jika Naoko Nemoto bukanlah perempuan Jepang pertama dalam hidup Sukarno.

Oleh: Hendi Jo | 13 Feb 2018
Aksi mahasiswa Jakarta mengeritik Presiden Sukarno. Foto: Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa karya Yozar Anwar

AWAL 1966. Indonesia bergolak. Di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, ribuan demonstran nyaris tiap hari tumpah ruah ke jalanan. Selain menuntut penurunan harga, rombak kabinet dan pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia), mereka pun mengeritik tingkah polah Presiden Sukarno yang dinilai tidak peka terhadap penderitaan rakyat. Salah satu yang dikritik mahasiswa adalah kebiasaan Bung Karno memiliki banyak istri.

Dalam Angkatan 66: Sebuah Catatan Harian Mahasiswa karya Yozar Anwar disebutkan bagaimana pada 9 Februari 1966, serombongan mahasiswa Jakarta berparade dalam dandanan ala geisha (perempuan penghibur Jepang) lengkap dengan o-icho (sanggul tradisional Jepang) dan kimono khas-nya. Di dada mereka sebuah poster tergantung dengan tulisan yang berbunyi: “Gundik-Gundik Impor”

Kata-kata di poster itu sangat jelas ditujukan kepada Bung Karno. Seperti sudah umum diketahui, selain memiliki istri-istri pribumi, Sukarno pun mengambil seorang gadis Jepang bernama Naoko Nemoto menjadi pendamping hidupnya. Namun rupanya Naoko Nemoto bukanlah perempuan Jepang pertama yang hadir dalam hidup Bung Karno. Menurut seorang penulis Jepang bernama Masashi Nishihara, empat tahun sebelum menikahi Naoko, Si Bung ternyata pernah menjalin cerita cinta dengan seorang gadis Jepang yang lain. Namanya Sakiko Kanasue.

“Ia adalah seorang model fesyen,” tulis Nishihara dalam The Japanese and Sukarno's Indonesia.

Perjumpaan kali pertama Bung Karno dengan Sakiko terjadi di Kyoto. Begitu berkenalan, nampak sekali Si Bung sudah merasa tertarik dengannya. Sinyal cinta sang presiden rupanya tidak disia-siakan oleh Kinoshita, sebuah perusahaan Jepang yang memiliki kepentingan menanamkan investasi di Indonesia saat itu. Jadilah Sakiko ‘dibawa’ oleh grup Kinoshita sebagai bagian dari lobi bisnis tingkat tinggi di Indonesia.

Ternyata Sukarno memang benar-benar suka kepada Sakiko. Maka pada suatu hari di penghujung 1958, didatangkanlah Sakiko ke Indonesia, sebagai “pengajar anak-anak ekspatriat Jepang” di Jakarta dan ditempatkan dalam wilayah elite Menteng. Namun aslinya, menurut Nishihara, Sakiko sebenarnya dijadikan sebagai salah satu nyonya rumah bagi Sukarno. Lengkap dengan nama Indonesianya: Nyonya Basuki.

Namun menurut sejarawan Aiko Kurasawa, hubungan Sukarno-Sakiko tak berlangsung lama. Diperkirakan itu terjadi karena setahun kemudian, saat mengunjungi Jepang untuk kesekian kali, Sukarno jatuh cinta kembali kepada seorang perempuan Jepang berusia 19 tahun bernama Naoko Nemoto. Perempuan Jepang yang cantik itu ternyata menjadi andalan grup Tonichi (saingan Kinoshita) untuk memuluskan jalur bisnis perusahaan tersebut di Indonesia.

Singkat cerita, sekembali dari Jepang Sukarno mengundang Naoko Nemoto untuk berlibur ke Indonesia. Tahun 1959, tepatnya di hari keempat belas dalam bulan September, Naoko dengan suka cita datang ke Indonesia. Menurut penulis CM Chow, Naoko datang tidak sendiri, ia didampingi oleh dua gadis Jepang cantik lainnya.

Advertising
Advertising

“Mereka ditempatkan di rumah yang disediakan secara khusus oleh perusahaan Tonichi di Jakarta,“ tulis CM Chow dalam Autobiography as told to Atoh Matsuda .

Lalu bagaimana nasib Sakiko setelah kedatangan Naoko? Entah merasa dirinya “terbuang” atau mungkin ada masalah lain, diberitakan dua minggu usai kunjungan Naoko itu, Sakiko Kanasue memilih mengakhiri hidupnya dengan cara memutus urat nadi.

“Jasad Sakiko dimakamkan secara diam-diam di Pemakaman Blok P, namun sekitar akhir tahun 1970-an, kerangka Sakiko dipindahkan oleh keluarga besarnya ke Jepang,” ungkap Aiko.

Demi mendengar kabar menyedihkan itu, Sukarno sendiri konon sempat shock dan berurai air mata. Tapi, umumnya lelaki di dunia, duka itu bisa terhapus seketika. Obatnya? Apalagi jika bukan Naoko yang tiga tahun setelah kejadian itu, akhirnya dinikahi secara resmi oleh Sukarno. Kelak nama gadis Jepang kedua-nya itu dia ubah menjadi lebih me-Nusantara: Ratna Sari Dewi.

TAG

ARTIKEL TERKAIT

Tanujiwa Pendiri Cipinang dan Bogor Riwayat NEC Nijmegen yang Menembus Imej Semenjana Jalan Radius Prawiro Menjadi Ekonom Orde Baru Mengungkap Lokasi Pertempuran al-Qadisiyyah Tuan Tanah Cakung Indo-Priangan Insiden Perobekan Bendera di Bandung yang Terlupakan Kiprah Radius Prawiro di Masa Perang Letnan Rachmatsyah Rais Gugur saat Merebut Tank Belanda Merekatkan Sejarah Lakban Para "Ekonom" Perintis Selain Margono