Selain sapi, sebutan untuk hewan penghasil daging dan susu ini adalah lembu. Namun, di Indonesia lema sapi lebih populer ketimbang lembu. Bahkan, daging impor berarti daging sapi impor. Ini ada ceritanya.
Dianto Bachriadi dan Anton E. Lucas dalam Merampas Tanah Rakyat: Kasus Tapos dan Cimacan menjelaskan, pada akhir 1975 sejumlah kapal pendarat Angkatan Laut diperintahkan melanjutkan perjalanan ke Australia setelah mendaratkan pasukan penyerbu di Timor Timur. Tujuannya untuk menjemput sapi-sapi yang dipesan Presiden Soeharto tatkala dia berkunjung secara informal ke Australia awal April 1975. Sapi-sapi impor itu untuk mengisi ranch di Tapos, Bogor, Jawa Barat, milik keluarga Soeharto.
Ranch adalah peternakan sapi modern dengan tempat khusus penyilangan ternak, lahan untuk menanam pakan ternak dan bangunan untuk mengolahnya, serta tempat beristirahat bagi pemilik dan keluarga. Ternak unggul hasil persilangan kemudian disalurkan ke peternak kecil di berbagai daerah lewat program Sapi Bantuan Presiden (Sapi Banpres).
Baca juga: Kon(sapi)rasi
Dalam otobiografinya, Soeharto mengeklaim sampai pertengahan 1985 sudah 2.000 bibit unggul Sapi Banpres disebarluaskan kepada peternak di berbagai daerah.
Sapi Banpres pun masuk dalam A Comprehensive Indonesian-English Dictionary karya Alan M. Stevens dan A. Ed Schmidgall-Tellings sebagai: “sapi ternak yang biasanya diimpor pemerintah Indonesia dari Australia dan didistribusikan kepada peternak dengan dana khusus yang disediakan presiden.”
Jika “sapi impor” berarti sapi dari Australia, adakah sapi asli Indonesia?
Suprio Guntoro dalam Membudidayakan Sapi Bali menyebut bahwa sapi asli Indonesia adalah sapi Bali (Bos sondaicus) yang diduga hasil domestikasi (penjinakkan) dari banteng liar. Sebagian ahli yakin bahwa domestikasi tersebut berlangsung di Bali sehingga disebut sapi Bali.
Baca juga: Sejarah Sapi di Indonesia
Menurut Anthony Reid dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga 1450-1680, hewan liar (banteng atau Bos sondaicus) yang asli berasal dari Jawa, Bali, Borneo, dan Indocina diburu dan dagingnya dimakan.
“Hanya di Bali yang kepadatan penduduknya telah mengakibatkan pembabatan hutan-hutan yang tiada taranya, hewan itu diternak untuk dijadikan penghasil daging sapi tropis yang istimewa –meskipun setidak-tidaknya pada abad ke-19 orang Hindu Bali sendiri tidak memakannya,” tulis Reid.
Bagi agama Hindu, sapi adalah hewan suci. Sebab, inkarnasi (perwujudan) Vishnu yang paling terkenal adalah Khrisna, yang digambarkan sebagai anak kecil atau pemuda berwarna hitam atau biru tua, bermain seruling, dan ditemani sapi. Di antara berbagai nama dan gelar Khrisna, yang terkenal adalah Gowinda (penggembala sapi) atau Gopala (pelindung para sapi).
“Kedudukan Khrisna menjelaskan mengapa sapi merupakan binatang suci bagi orang Hindu sehingga tidak pernah disembelih,” tulis Michael Keene dalam Agama-Agama Dunia.
Baca juga: Merah Putih, Kerbau, dan Banteng
Sementara itu, dalam mitologi Jawa, penguasa para dewa, Batara Guru, melanglang buana bersama permaisurinya, Dwi Uma, dengan menunggangi sapi.
“Mereka berpesiar dengan naik kendaraan Batara Guru, Lembu Andini, lembu sakti yang bisa terbang mengarungi angkasa raya,” tulis Shindunata dalam Kambing Hitam: Teori René Girard.
Tersebab sapi atau lembu adalah binatang suci, maka lembu dipinjam sebagai nama orang besar. Sebut saja, Lembu Mangkurat atau Lambung Mangkurat dalam pengucapan orang Banjar, raja Kerajaan Negara Dipa (cikal bakal Kesultanan Banjar); Lembu Sora, patih Kediri yang kemudian diangkat menjadi demang pada masa Raja Kertarajasa memerintah Kerajaan Majapahit; dan Lembu Peteng, Raja Brawijaya VI (dari garis ibu, Lembu Peteng adalah leluhur KH Hasyim Asyari, pendiri Nahdlatul Ulama).
Selain lembu, nama hewan lain yang dipinjam untuk dijadikan nama adalah gajah, hayam, bango, kebo, dan mahesa (kerbau): Gajah Mada, Hayam Wuruk, Bango Samparan, Kebo Ijo, dan Mehesa Jenar.
Baca juga: Anjing, Anjay, dan Kata-kata Umpatan
Makna sapi yang suci kemudian tercemar setelah masuk ranah politik. Dalam politik terkenal istilah “politik dagang sapi” dan “sapi perahan.”
Kwik Kian Gie dalam Kebijakan Ekonomi Politik dan Hilangnya Nalar menjelaskan, politik dagang sapi adalah terjemahan harfiah dari bahasa Belanda, koehandel: koe (sapi) dan handel (dagang). Istilah “dagang sapi” sebenarnya netral karena tiada lain adalah kesepakatan atau perjanjian yang dalam prosesnya selalu diwarnai give and take.
"Walaupun deskripsinya netral, istilah koehandel mempunyai arti negatif, karena dalam praktik koehandel berarti menukarkan prinsip dan nilai luhur dengan uang. Inilah yang kita kenal dengan istilah money politics," tulis Kwik Kian Gie.
Selain "politik dagang sapai", istilah lain yaitu “sapi perahan”. Ini adalah kiasan untuk orang yang diperas tenaganya (penghasilannya, dsb.) oleh orang lain; orang yang dimanfaatkan secara terus-menerus oleh orang lain.