KEMENANGAN telak Dwight D. Eisenhower-Richard Nixon atas Adlai Ewing Stevenson II-John Sparkman dalam pemilihan presiden Amerika Serikat tahun 1952 tak hanya memutus rantai kemenangan beruntun Partai Demokrat, tetapi juga mengubah pandangan para politisi terhadap televisi sebagai media kampanye.
Kesuksesan Ike, panggilan akrab Eisenhower, mengambil hati para pemilik suara hingga mereka ramai-ramai memilihnya di antaranya karena keberaniannya memanfaatkan iklan televisi. Tak ada warga AS yang tak mengenal “Eisenhower Answers America”, iklan kampanye yang menampilkan mantan panglima tertinggi pasukan Sekutu dalam Perang Dunia II itu menjawab pertanyaan-pertanyaan dari masyarakat.
Setelah tahun 1952, iklan menjadi andalan dalam kampanye politik modern. Menurut Marjolein Moorman dan Peter Neijens dalam “Political Advertising”, termuat dalam Advertising Theory, iklan kampanye politik kian populer karena memungkinkan para kandidat dan partai untuk menampilkan diri mereka secara langsung kepada para pemilih, tanpa intervensi dari jurnalis yang kritis maupun politisi lain yang menjadi saingan.
“Iklan kampanye tidak hanya mampu menjangkau para pemilih, tetapi juga memiliki kemampuan untuk memengaruhi minat politik, pengetahuan, evaluasi kandidat, dan pada akhirnya turut membentuk pandangan mengenai kandidat yang akan dipilih,” tulis Moorman dan Neijens.
Baca juga: Mula Iklan di Televisi Indonesia
Pilpres AS 1956
Adlai Stevenson dari Partai Demokrat, yang sebelumnya mengkritik dan mencemooh iklan kampanye di televisi Eisenhower, memutuskan untuk memanfaatkannya saat maju dalam kontestasi Pilpres AS 1956. Ia kembali berhadapan dengan Eisenhower. Meski begitu, maraknya iklan kampanye politik di televisi menuai kritik karena memunculkan iklan kampanye negatif yang menyerang kandidat lawan.
Philippe J. Maarek dalam Campaign Communication and Political Marketing menyebut kampanye pemilihan presiden AS tahun 1956 menjadi tahun pertama munculnya iklan negatif. Partai Demokrat yang pada kampanye Pilpres AS 1952 kalah dari Partai Republik dianggap sebagai yang pertama kali memanfaatkan iklan menyerang tersebut. Seperti halnya iklan kampanye sebelumnya, konsultan pemasaran Partai Demokrat (Norman, Craig, dan Kummel) menyarankan untuk membuat iklan kampanye yang menampilkan Eisenhower dalam sudat pandang negatif. Teknik yang mereka gunakan sangat sederhana, yakni memanfaatkan cuplikan-cuplikan dari iklan kampanye Eisenhower di televisi pada 1952.
“Setiap kali sang jenderal membuat janji-janji tertentu, mereka hanya menambahkan suara yang berbisik ‘Bagaimana, Jenderal?’ sebelum menunjukkan bahwa dia tidak menepati janjinya selama masa jabatannya,” sebut Maarek.
Baca juga: Iklan Kampanye dan Kemenangan Eisenhower dalam Pilpres AS
Selain itu, menurut Edwin Diamond dan Stephen Bates dalam The Spot: The Rise of Political Advertising on Television, Partai Demokrat juga melancarkan iklan kampanye yang menyerang Wakil Presiden Richard Nixon yang kembali menjadi pasangan Eisenhower di Pilpres AS 1956. Nixon menjadi sasaran karena partai yang mengusung Adlai Stevenson dan Estes Kefauver itu memandang popularitas Eisenhower terlalu besar di kalangan publik. Mengandalkan pemberitaan mengenai kondisi kesehatan Ike yang sempat menurun di tahun 1955, Demokrat membuat dua iklan yang merupakan suatu rangkaian untuk menyerang Nixon yang diyakini memiliki peluang besar untuk menggantikan posisi Eisenhower. Iklan pertama dimulai dengan foto Gedung Kongres AS yang megah, sementara yang lainnya dibuka dengan karikatur Nixon kecil yang duduk di kursi besar berlabel The President. Taktik menyerang kelayakan calon wakil presiden untuk menjadi presiden ini kemudian menjadi standar dalam kampanye di tahun-tahun berikutnya.
Stevenson juga mengkritik kebijakan pemerintahan Eisenhower di tengah memanasnya isu-isu internasional, di antaranya terkait tank-tank Soviet yang masuk ke Hungaria, invasi Israel ke Mesir, serta intervensi Inggris dan Prancis terhadap Terusan Suez. Menanggapi hal tersebut, Eisenhower tampil di televisi pada 31 Oktober 1956, untuk meyakinkan rakyat AS atas kebijakan-kebijakan yang diambil oleh pemerintahannya. Popularitas yang begitu tinggi membuat Eisenhower tak sulit untuk mengambil hati publik. Hasilnya, jenderal kelahiran 14 Oktober 1890 itu kembali memenangkan pemilihan presiden AS.
Pilpres AS 1964
Lyndon B. Johnson juga memanfaatkan iklan negatif untuk menyarang lawannya dalam pemilihan presiden tahun 1964. Iklan kampanye berjudul Daisy hingga kini dianggap sebagai iklan paling terkenal dari semua iklan negatif yang pernah muncul di AS. Johnson yang naik ke kursi kepresidenan setelah kematian John F. Kennedy, berhadapan dengan Senator Barry Goldwater, seorang anggota Partai Republik yang sangat konservatif. Kala itu, AS mulai bercokol di Vietnam dan Perang Dingin berada di puncaknya. Di tengah kondisi tersebut Goldwater menegaskan dukungannya terhadap penggunaan senjata nuklir.
Pakar periklanan Tony Schwartz, yang disewa untuk membantu tim hubungan masyarakat Johnson, merancang iklan televisi yang sangat rumit dan terkenal dalam semalam dan dikenal dengan nama Daisy. Iklan tersebut menampilkan seorang gadis kecil yang tengah memetik kelopak bunga sembari menghitung satu sampai sembilan. Tepat saat ia mencapai angka sepuluh, kamera diarahkan ke matanya secara close up dan selanjutnya terdengar suara yang menggelegar. Suara itu lalu menghitung mundur: “sepuluh, sembilan, delapan, tujuh…” dan pada akhir hitungan mundur, penonton mendengar dan melihat pantulan ledakan atom di mata gadis kecil itu, yang secara alami tampak ketakutan. Sebuah suara yang mengatakan “Inilah taruhannya –menciptakan sebuah dunia di mana semua anak-anak kita dapat hidup... atau masuk ke dalam kegelapan. Kita harus saling mengasihi atau kita akan mati,” pun terdengar dan diikuti dengan “Pilihlah Presiden Johnson pada 3 November. Taruhannya terlalu tinggi bagi anda untuk tinggal di rumah.”
Baca juga: Tragedi Kematian Kennedy
Maarek menyebut iklan tersebut hanya disiarkan sekali pada 7 September 1964 sebelum acara prime time CBS yang terkenal, Monday Night at the Movies, dan segera menimbulkan begitu banyak panggilan telepon sehingga switchboard Gedung Putih macet. Merespons iklan itu, Partai Republik, dimulai dari Goldwater sendiri, mengeluh bahwa Johnson telah melampaui batas-batas yang diizinkan untuk membuat iklan negatif.
“Partai Demokrat mengklaim bahwa iklan tersebut tidak akan ditayangkan lagi karena mereka menyadari bahwa mereka telah melampui batas-batas permainan yang adil,” sebut Maarek. “Namun, mereka juga telah mencapai tujuan mereka, yakni gambar Barry Goldwater dengan jari di tombol untuk selamanya tertanam di masyarakat Amerika, dimulai dengan sekitar 50 juta pemirsa yang telah menyaksikan iklan Daisy […] pamor Goldwater pun menjadi taruhannya.”
Johnson memenangkan pemilihan presiden AS dengan telak memperoleh 61,05 persen suara.
Pilpres AS 1988
Iklan kampanye yang tak kalah populer hingga menimbulkan kontroversi muncul saat Pilpres AS tahun 1988. Iklan kampanye yang dikenal dengan sebutan “Revolving Doors” dibuat oleh pendukung George H.W. Bush, calon presiden dari Partai Republik, bersama James Danforth (Dan) Quayle sebagai calon wakil presiden melawan calon presiden dari Partai Demokrat, Gubernur Massachusetts Michael Dukakis.
Menurut Peter Jackson, Costas Panagopoulos, Julio Borquez, F. Erick Brooks, dan Stephen Nemeth dalam “Advertising (Political)”, termuat di Encyclopedia of American Political Parties and Elections, iklan itu menggunakan simbol-simbol yang kuat untuk memainkan ketakutan dalam masyarakat AS dengan memanfaatkan isu rasial. Menanggapi angka jajak pendapat yang merosot, para pendukung George H.W. Bush menayangkan iklan “Willie Horton” yang terkenal. Gambar utama iklan tersebut adalah Horton seorang pria kulit hitam yang menjalani hukuman seumur hidup tanpa pembebasan bersyarat atas pembunuhan tingkat pertama. Iklan yang menggunakan gambar hitam-putih itu menceritakan tentang Horton yang sedang cuti akhir pekan selama 48 jam tanpa pengawasan memperkosa seorang wanita dan menyerang rekannya.
Baca juga: Enam Pelaut Amerika di Perang Pasifik yang Menjadi Presiden
Iklan tersebut menyerang program cuti di penjara Massachusetts dengan menujukkan para naripadana yang masuk dan keluar dari penjara. Iklan ini terbukti efektif karena tak lama setelah disiarkan di televisi, “Revolving Doors” langsung menjadi berita utama di berbagai media dan dibicarakan oleh berbagai lapisan masyarakat. Banyak pihak buka suara terkait pandangan mereka, Partai Republik berargumen bahwa iklan tersebut merupakan pernyataan yang sah mengenai catatan Dukakis dalam hal kejahatan. Sementara itu, Partai Demokrat menganggap bahwa iklan itu rasis.
Setelah iklan “Revolving Door” ditayangkan di televisi, Bush terus mengkritik Dukakis dan program cuti bagi narapidana di akhir pekan secara terbuka. Ia menganggap pandangan Dukakis terlalu lunak terhadap kejahatan. Christopher J. Dolan dalam “Two Cheers for Negative Ads”, termuat di Lights, Camera, Campaign! Media, Politics, and Political Advertising, menganggap iklan tersebut secara faktual benar karena Dukakis memang mendukung program cuti, namun program tersebut diberlakukan oleh pendahulunya dari Partai Republik, Francis Sargent.
“Iklan itu ditayangkan selama kurang lebih satu bulan tanpa ada balasan dari para ahli strategi Partai Demokrat, beresonansi dengan publik pemilih, yang mulai menemukan kredibilitas dalam isu yang diusung Bush yakni ‘Amerika tidak bisa menanggung risiko’ dari kepresidenan Dukakis,” tulis Dolan.
Baca juga: George H.W. Bush Sang Pilot "Mengudara" untuk Selamanya
Meski begitu Dukakis tak diam saja saat personanya dikritik habis-habisan oleh Bush. Ia juga melancarkan iklan kampanye yang menyerang calon wakil presiden Dan Quayle. Ia mengembuskan isu mengenai ketidakpercayaan publik terhadap kredibilitas Quayle seandainya Bush sakit dan dia harus menggantikannya. Namun, iklan tersebut terlalu sebentar dan terlambat dijalankan dalam kampanye.
Iklan kampanye yang menyerang bisa sangat efektif untuk menurunkan kredibilitas lawan. Namun, menurut Wayne Wanta, James B. Lemert, dan Tien-tsung Lee dalam “Consequences of Negative Political Advertising Exposure”, termuat di Engaging the Public: How Government and the Media Can Reinvigorate American Democracy, iklan kampanye negatif juga dapat menciptakan reaksi balik terhadap sang pembuat iklan.
“Efek serangan balik ini terjadi ketika target yang dituju dipandang sebagai korban dari serangan yang tidak adil oleh pihak lawan. Efek serangan balik paling mungkin terjadi di antara para pemilih yang merupakan pendukung kandidat target dan ketika iklan tersebut menyerang citra, bukannya isu, dari kandidat target,” sebut Wanta, Lemert, dan Lee.*