Pak Bonnie Yth:
Saya lampirkan sebuah cerita kecil baru untuk Historia. Mudah-mudahan bisa diterima. Untuk ilustrasi, saya juga lampirkan gambar Buta Terong dari Hardjowirogo, Sedjarah Wayang Purwa, yang mungkin bermanfaat.
Ini merupakan sumbangan yang terakhir dari saya, paling sedikit untuk sementara. Ada tugas lain yang harus saya perhatikan. Apalagi, kesehatan saya terus menurun (lantaran kanker) dan semakin sulit untuk bekerja.
Dulu Anda mempunyai rencana untuk berkunjung ke Melbourne pada awal bulan Oktober. Bagaimana re(n)cananya sekarang?
Salam,
Merle
DEMIKIAN email yang saya terima dari sejarawan terkemuka Merle Ricklefs pada Sabtu, 28 September 2019, mengantar sebuah artikel tentang Syekh Ibrahim, seorang Turki yang memainkan peranan penting dalam perang saudara di Jawa abad ke-18. Ricklefs benar, tulisan tersebut jadi artikel terakhir yang pernah dikirimkannya kepada kami. Hari Minggu, 29 Desember 2019, sejarawan yang telah menulis puluhan buku dan ratusan karya sejarah mengenai Jawa dan Indonesia itu meninggal dunia setelah berjuang melawan kanker prostat yang dideritanya sejak beberapa tahun terakhir.
Email di atas memang bukan yang terakhir, beberapa email setelahnya masih sempat melayang ke kotak surat saya. Isinya berupa tagihan kapan artikelnya akan dimuat. Ada kalanya bernada cemas, seperti saat dia mengirimkan artikel mengenai asal-usul kaum abangan. “Kalau memang dirasa sensitif, tak perlu dimuat!” Padahal saya membutuhkan sedikit waktu tambahan untuk menyunting artikel penulis buku Sejarah Indonesia Modern 1200–2000 itu.
Walau mahaguru sejarah, Ricklefs juga tetap rendah hati dan kerap meminta pendapat mengenai karangannya, “…Seandainya dapat diterima untuk dipublikasikan, tolong periksa Bahasa Indonesianya apabila perlu,” kata dia dalam salah satu emailnya. Setiap artikel yang hendak kami muat selalu terbuka untuk didiskusikan, bahkan hingga ke soal detail.
Kekuatan tulisan-tulisan Ricklefs terletak pada kemampuannya merekonstruksi masa lalu dengan menggunakan sumber tangan pertama (primer). Selain fasih berbahasa Indonesia dan Belanda, Ricklefs juga mahir membaca sumber-sumber Jawa, modal utama mendalami teks berbahasa Jawa yang seringkali penuh ungkapan bermakna simbolis.
Baca juga: Saya dan Kisah Hidup Ibrahim Isa
Kemahirannya menguasai bahasa Indonesia dan Jawa bermula ketika dia mendalami sejarah Jawa di Cornell University, Amerika Serikat. Pria kelahiran Iowa, 17 Juli 1943 itu berhasil meraih gelar doktor dengan disertasi Yogyakarta Under Mangkubumi. Setelah lulus dari Cornell, Ricklefs berkarier sebagai pengajar di berbagai universitas bergengsi, mulai School of Oriental and African Studies (SOAS), London, Monash University, Australian National University, University of Melbourne dan pensiun sebagai guru besar dari National University of Singapore. Setelah pensiun, Ricklefs banyak melewati waktu di rumahnya di pegunungan sebelah timur laut Victoria, Australia. Belakangan, dalam masa-masa perawatan kankernya, dia lebih banyak tinggal di rumahnya di Melbourne.
“Karena saya sakit dengan kanker yang sudah ‘late stage’ dan agresif, kami lebih banyak di Melbourne karena dekat rumah sakit dan para ahli. Oleh karena kanker itu dan pengobatannya juga, saya sering lelah sekali dan kegiatan saya harus dibatasi,” tulis Ricklefs dalam satu emailnya kepada saya. Namun demikian dia tak berhenti berkarya.
Selain tema artikel yang memikat, Ricklefs juga selalu punya sudut pandang menarik di dalam melihat sejarah. Buat kami yang memilih cara populer untuk memublikasikan artikel sejarah, artikel-artikel karya Ricklefs mudah dipahami, mengalir jernih serta memuat banyak informasi baru. Artikel pertama yang pernah kami muat ihwal asal-usul Pangeran Samber Nyawa, julukan bagi Mangkunegara I, jadi contoh bagaimana tokoh sejarah Jawa yang mungkin namanya asing di telinga anak muda justru termasuk lima artikel paling banyak dibaca. Bahkan setahun setelah terbitnya pun artikel masih masuk ke dalam urutan artikel paling banyak diminati pembaca.
Kekuatan lain Ricklefs juga terletak pada caranya mendemitologi sejarah, yang selalu ditunjukan di dalam artikel-artikel yang pernah dikirimkannya kepada kami. Kisah Pangeran Samber Nyawa yang penuh mitos serta diselubungi dongeng mistis pun mampu diuraikan latar belakang peristiwanya tanpa hanyut terlalu jauh dengan kisah-kisah karya pujangga istana yang seringkali penuh bumbu hiperbola bahkan bombastis.
Baca juga: Saya dan Misbach Yusa Biran
Bagaimana bisa Ricklefs membongkar peran penting seorang pangeran Jawa yang terkenal pemberani itu tanpa harus latah larut dalam kisah magis yang sulit dibuktikan secara rasional? Lagi-lagi kekuatannya pada sumber.
Dia tak hanya membaca satu sumber primer, tapi juga berhasil mengumpulkan sumber-sumber primer lainnya sebagai bahan perbandingan. Untuk kisah Samber Nyawa, Ricklefs merujuk kepada naskah yang ditulis oleh Pangeran Samber Nyawa sendiri, Serat Babad Pakunagaran, otobiografi sang pangeran berbahasa Jawa yang paling kuno yang pernah diketahui sampai sekarang. Dalam serat tersebut Ricklefs menemukan fakta bahwa julukan Samber Nyawa berasal dari nama panji perang yang pernah digunakan dalam pertempuran di Gondang, dekat Surakarta pada 1750.
“Jadi, jelaslah nama Samber Nyawa itu berasal dari panji perang Sang Pangeran. Dulu saya membayang-bayangkan bahwa sebutan Samber Nyawa itu mungkin berasal dari salah satu peristiwa yang penuh dengan kekuatan gaib, tapi jelas tidak. Namanya tidak berasal dari peristiwa melainkan dari sebuah obyek: panji perang Sang Pangeran,” tulis Ricklefs.
Pada era itu, tulis Ricklefs, “biasanya tokoh-tokoh pemimpin mempunyai panji perang yang diberikan nama. Misalnya, panji perang Pangeran Mangkubumi bernama Gula Kalapa. Prawira terkemuka Rongga Prawiradirja mempunyai panji yang namanya Geniroga (api penyakit) dengan gambar seekor monyet yang berwarna wulung.”
Tak berhenti pada sumber karya sang pangeran, dia pun menggunakan sumber lain seperti Babad Tutur, Babad Nitik Mangkunagaran dan Babad Nitik Samber Nyawa. Naskah-naskah yang tersimpan di berbagai perpustakaan di banyak negeri, mulai Inggris, Belanda sampai Indonesia itu pun tak luput dari buruan Ricklefs.
Dalam artikelnya mengenai kaum abangan, Ricklefs berhasil memberikan tafsir kontekstual atas peristiwa sosio-historis kemunculan penganut agama Jawa itu. Ricklefs menelusuri kaum abangan mulai dari akar kata sampai dengan studi arsip. Dalam artikel yang berdasarkan bukunya Polarising Javanese society: Islamic and other visions 1830–1930 terbitan NUS Press, Singapore (2007) itu, Ricklefs memperkaya studi antropologis Clifford Geertz tentang abangan dengan menyumbangkan studi sejarahnya. Seperti diakuinya sendiri, sebagai sejarawan muda, dia terpukau pada karya antropolog Amerika tersebut dan turut mewarnai pemikirannya dalam melihat sejarah masyarakat Jawa.
Baca juga: Maulwi Saelan yang Saya Kenal
Untuk menelaah kemunculan abangan, Ricklefs menggunakan sumber-sumber berbahasa Belanda yang ditinggalkan misi zending sampai dengan sumber berbahasa Jawa yang ditulis Bupati Kudus Condronegara V (1836–1885), yang lebih dikenal dengan nama Purwalelana (pelancong pertama), Cariyos bab lampah-lampahipun Raden Mas Arya Purwalelana (Cerita Mengenai Perjalanan R.M.A. Purwalelana) terbit dalam dua jilid pada 1865–1866 (dan terbit lagi pada 1877 dan 1880).
Menurut Ricklefs, kemunculan lapisan abangan di tengah masyarakat Jawa, sebagaimana tersua dari sumber-sumber yang disebutkan di atas tak lepas dari polarisasi sosial Jawa antara abangan dan putihan yang baru muncul sebagai gejala khas masyarakat Jawa pada paruh kedua abad ke-19. Perkembangan itu menurutnya merupakan salah satu akibat dari tekanan dan harapan untuk reformasi sosial yang muncul dari gerakan pemurnian Islam.
Artikel tersebut kami muat ketika politik identitas semakin menguat akhir-akhir ini. Kontestasi politik, seperti yang pernah ditunjukan dalam peristiwa Pilkada DKI Jakarta 2017 sampai dengan Pilpres 2019 menunjukkan afinitas politik berdasarkan keagamaan memainkan peran penting dalam menentukan arah politik Indonesia. Merujuk kepada Ricklefs, gejala tersebut memiliki akar historis hingga ke abad 19 sebagaimana ditunjukan sumber-sumber tertulis, bahkan lebih jauh lagi ke abad 17.
Baca juga: Saya Mengenang Eddie Lembong
Sumbangan penting lainnya dari Ricklefs adalah buku Sejarah Indonesia Modern, yang menjadikan kedatangan Islam sebagai penanda penting zaman modern Indonesia. Terdiri dari enam bab, buku Sejarah Indonesia Modern tak hanya mendedahkan sejarah Indonesia secara deskriptif melainkan juga dengan analisis yang mendalam atas berbagai fenomena historis yang muncul sejak abad ke-14.
Nusantara pra-Indonesia digambarkan sebagai wilayah yang dipenuhi negara-negara kerajaan yang berdaulat sampai dengan kedatangan orang-orang Eropa. Pada bab kedua Ricklefs melukiskan situasi abad 17 sebagai era perebutan hegemoni antara VOC dengan para penguasa lokal Nusantara. Pertentangan tersebut berakhir dengan pembentukan negara kolonial disertai proses Pax Neerlandica di beberapa wilayah Nusantara. Di tengah zaman itu konsep Indonesia mulai mengemuka dan mewujud menjadi gerakan pembebasan nasional yang berhasil membangun negara-bangsa Indonesia di atas puing-puing reruntuhan negara kolonial yang porak-poranda akibat Perang Dunia Kedua.
Kisah sukses buku karya Ricklefs itu juga dapat dilihat dari jumlah kali cetak sebanyak lebih dari sepuluh dan selalu dikutip oleh para sarjana yang mengkaji sejarah Indonesia. Buku ini juga menjadi rujukan wajib bagi mahasiswa jurusan sejarah selain karya sejarawan Sartono Kartodirdjo, Pengantar Sejarah Indonesia Baru, 1500–1900: Dari Emporium sampai Imperium, tidak terkecuali buat saya yang pernah jadi mahasiswa sejarah dan mengidolakan figur Ricklefs sebagai sejarawan produktif.
Baca juga: Saya, Anton Lucas, dan Cerita Kutilnya
Pada 20 September 2019 saya menerima Anton Lucas Fellowship dan diundang untuk meneliti arsip-arsip koleksi sejarawan Anton Lucas di perpustakaan Flinders University, Adelaide. Jauh hari sebelum berangkat, sebagaimana disebut Ricklefs di dalam emailnya di atas, saya berencana menjenguknya di Melbourne. Namun karena jadwal kerja yang padat selama di Adelaide dan keterbatasan waktu kunjungan, saya mengurungkan rencana mampir ke Melbourne. Pembatalan itu sempat saya kabarkan kepadanya dan Ricklefs bisa memahaminya. Namun saat mendengar kabar kematiannya dua hari lalu, mendadak saya sangat menyesal tak menyempatkan datang menemuinya.
Selamat jalan Pak Ricklefs. Terima kasih atas karya-karya monumental yang telah disumbangkan kepada bangsa Indonesia.
Berikut ini tulisan-tulisan M.C. Ricklefs:
Asal-usul Pangeran Samber Nyawa
The Origin of Prince Samber Nyawa