Masuk Daftar
My Getplus

Bukan Haji dari Moskow

Gajah mati meninggalkan gading. Misbach wafat meninggalkan Sinematek.

Oleh: Bonnie Triyana | 12 Apr 2012
Misbach Yusa Biran. (Historia).

DALAM buku kumpulan ceritanya, Keajaiban di Pasar Senen Misbach berkisah tentang Mang Jen, tukang cukur di kampungnya, Rangkasbitung, Banten, yang pensiunan awak kapal Semprong Belao di zaman Ratu Wilhelmina masih berkuasa di Belanda. Mang Jen, kata Misbach, mantan jawara berangasan. Masa mudanya dilewati di atas kapal, juga sebagai tukang cukur di kelas satu. “Taon empatbelas mamang udah pegang gunting,” kata Mang Jen menyombongkan diri.

Mang Jen insaf di masa tuanya. Tak lagi jadi jawara petantang-petenteng nyekek botol. Tapi sisa kejawaraannya masih ada. Paling tidak saat kliennya ngotot bahwa gaya cukuran Mang Jen tak sesuai dengan gaya yang diinginkannya. “Mamang ngarti... ngarti...” bentaknya emosi sambil memegang gunting, namun segera tersadar sambil bilang, “Astagfirullah...”.  Walhasil, gaya rambut pun tak keruan. Tapi siapa berani protes sama tukang cukur mantan jawara?

Korban salah cukur itu Misbach sendiri. Kejadiannya bermula saat dia pulang kampung. Ayahnya bermuka masam melihat rambut Misbach yang gondrong. “Yang pantas berambut gondrong cuma profesor dan orang gila saja,” kata ayahnya. Apa boleh buat, Misbach yang profesinya belum diakui oleh ayahnya itu harus merelakan rambut gondrongnya, simbol seorang seniman, dipangkas habis oleh Mang Jen. Seniman bukan pekerjaan di mata ayahnya.

Advertising
Advertising

Kisah itu agaknya bukan sembarang kisah. Ia refleksi dari keadaan masyarakat di kampungnya sendiri, yang kendati tak jauh dari ibukota, modernitas masih jadi barang mahal. Misbach, pada zamannya, adalah anak muda yang “maju” terlalu cepat. Dia jadi “Orang Bandel” sebagaimana judul memoarnya, merantau ke Jakarta untuk sekolah di Taman Siswa dan mulai kecebur di dunia seni. Dunia yang masih dianggap tak menjanjikan apa-apa. “Kalo di Rangkas mana bisa orang-orang kayak kita ini hidup, dipandang juga nggak, betul nggak?!” kata dia suatu kali kepada saya.

Tapi Misbach maju terus, betapa pun hidup di awal jadi seniman lebih banyak pahitnya ketimbang manisnya, seperti juga diceritakan di dalam Keajaiban di Pasar Senen. Pada buku yang sama dia menceritakan kehidupan para seniman yang mangkal di Senen. Sesekali menyelipkan kisah tentang dirinya sendiri, dibalut bumbu-bumbu fiksi yang sedap. Tapi bukan Misbach kalau tidak bisa menulis dongeng yang memikat. Dalam soal satu itu dia memang jagonya. Awal profesi menulisnya dimulai sejak SMA, di mana dia sering menulis puisi. Tapi belakangan, dia mulai menulis naskah teater untuk menggelar pertunjukan di sekolah. Bersama dengan Sjuman Djaja dan SM Ardan, Misbach kerap membawakan naskah karya Utuy Tatang Sontani dan Usmar Ismail.

Kariernya di bidang film pun terus melesat. Mulai dari pencatat skrip di Perusahaan Film Nasional Indonesia (Perfini) pimpinan Usmar Ismail sampai jadi sutradara film. Paling tidak sembilan film telah disutradarainya, antara lain Pesta Musik La Bana (1960), Holiday in Bali (1962), Bintang Ketjil (1963), Panggilan Nabi Ibrahim (1964), Apa Jang Kautangisi (1965) dan Dibalik Tjahaja Gemerlapan (1966).

Sebagai orang kreatif, kegiatan Misbach tak hanya di film tapi juga merambah hingga ke jurnalistik. Dia tercatat pernah jadi pemimpin redaksi suratkabar Minggu Abadi (1958-1959), Purnama (1962-1963), dan redaktur Duta Masjarakat (1965-1966), Abadi Muslimin (1966) dan Gelanggang (1967). Karya-karya kepenulisannya merentang mulai dari skenario film, cerpen sampai esai-esai kebudayaan. Sebagai orang kreatif, Misbach cukup ulet dalam menggeluti pekerjaannya.

Keuletan itu juga yang ditunjukkannya ketika mengupayakan berdirinya sebuah pusat dokumentasi film yang kemudian dikenal sebagai Sinematek. Misbachlah yang lari pontang-panting mengusahakan agar setiap film karya sineas Indonesia disimpan dan didokumentasikan, mulai posternya sampai gulungan pita filmnya. Atas dukungan Gubernur Ali Sadikin, proyek itu akhirnya terwujud. “Saya setuju dengan simelatek,” kata Ali lantas dikoreksi oleh Misbach, “Bukan simelatek, Pak, tapi sinematek.” Ali pun menyambar, “Yah pokoknya kalau untuk museum saya setujulah,” ujarnya.

Sinematek menyimpan ribuan dokumentasi film Indonesia. Namun setelah Misbach pensiun, Sinematek seakan mati suri. Koleksi tak terawat. Foto-foto berserakan di lantai. Entah berapa rol pita film yang tak lagi bisa diputar karena tingkat keasaman merusaknya. Jerih payah Misbach itu kini terabaikan.

Entah dari mana Misbach mewarisi darah seninya. Ayahnya, Ajun Sabiran, bukan seorang seniman. Kalau penulis, mungkin iya. Dalam memoarnya, Misbach bercerita kalau ayahnya pernah menulis sebuah artikel di bawah nama samaran Jose Beron. Ajun orang Minang eks Digulis, semasa mudanya terlibat pemberontakan komunis di Silungkang, Sumatera Barat pada 1927. Ketika Ajun dibuang ke Digul, dia bertemu seorang gadis asal Banten yang dibawa oleh ayahnya, yang juga sesama Digulis.

Ayah sang gadis itu bernama Salihun. Dia satu dari sekian banyak orang dari Banten yang turut dalam pemberontakan komunis pada 1926. Di Banten pemberontakan memang berkobar lebih cepat. Salihun dari Rangkasbitung, terhitung tokoh kiri di sana. Ajun jatuh cinta dan menikahi gadis itu. Ketika masa tahanan di Digul selesai, mereka pulang ke Rangkasbitung dan membina rumahtangga di sana. Misbach lahir di Rangkasbitung pada 11 September 1933 sebagai anak pertama dari pasangan itu. Sempat pula pasangan muda itu mengadu nasib ke Jakarta. Namun, akhirnya kembali ke Rangkasbitung saat kemerdekaan tiba. 

Di zaman revolusi, Ajun punya peran. Dia jadi Ketua Komite Nasional Indonesia Daerah (KNID) di Lebak, Banten. Di zaman revolusi, Misbach juga sempat angkat senjata, sebagai tentara pelajar yang ditugasi menjaga daerah Parung Panjang. Tapi Misbach tak tertarik terus jadi tentara, mungkin darah seninya yang entah dari mana mengalirnya itu terlalu deras. Dan memang demikian faktanya, sampai akhirnya hayatnya dia tetaplah seorang seniman.

Kendati kakek dan ayahnya terbilang tokoh komunis, entah kenapa Misbach membenci komunisme sampai ke ubun-ubun. Pada masa Demokrasi Terpimpin, dia ada di seberang PKI. Misbach bergabung dengan Lesbumi, sebuah organisasi seniman onderbouw Nahdlatul Ulama. Kalau bicara soal afiliasi politik kedua leluhurnya itu dia selalu bilang, “Orang dulu kan mana ngarti komunis, yang penting melawan Belanda.” Padahal nama Misbach sendiri mirip-mirip dengan tokoh komunis di era tahun 1920-an, Haji Misbach.

Pernah pula suatu kali, dia mengirim saya SMS. “Lihat itu Najwa Shihab, sekarang sudah jadi simpatisan komunis,” katanya. Rupanya Misbach menonton show Mata Najwa di Metro TV, di mana Najwa jadi pemandunya. Saat itu tema yang dibahas seputar hasil visum et repertum para jenderal yang dibunuh di Lubang Buaya. Atas pesan singkat itu saya hanya membalas, “Setahu saya PKI sudah dibubarkan tahun 1966, Pak.” Lantas dia balas bentak, “Ya, tapi ideloginya masih bisa hidup!”. 

Tapi, begitulah Misbach. Kadang-kadang sentimen terhadap sesuatu mengalahkan apa pun. Tapi dia juga bisa sentimentil, khususnya kalau sudah bicara soal identitas kebantenannya. Kendati banyak orang bilang dia bukan orang Banten tulen: ayahnya orang Minang, ibunya memang dari Banten. Sementara itu bagi orang Minang, dia pun direken sebagai “anak pisang”, karena ibunya dari Banten, bukan dari Minang. Garis genealogi yang membingungkan itu, Minang matrilineal dan Banten patrilineal, tak menghalanginya untuk menepuk dada sebagai orang Banten. 

“Jawara Banten yang beneran itu Mang Citra, gak mempan dibacok, kekuasaannya dari Jembatan Lima sampai Tanjung Priok,” kata dia suatu kali. Sebuah foto, pada memoarnya Kenang-Kenangan Orang Bandel, pun menunjukkan gambar seorang jawara Banten yang masih terhitung pamannya. “Lihat tongkrongan orang yang tak mempan dibacok,” begitu kata keterangan di bawah foto.

Beberapa hari sebelum jatuh sakit dan kemudian wafat pada hari ini, Rabu, 11 April 2012, Misbach sempat berkirim pesan singkat pada saya. “Saya ingin agar nama Bing Slamet diabadikan jadi nama jalan dari Serang ke Cilegon, masak kalah sama Jakarta yang punya jalan Benyamin,” kata dia. Bing Slamet memang kelahiran Cilegon, Banten. Bukan hanya itu saja, diam-diam Misbach telah merampungkan sebuah film kolosal tentang Sultan Ageng Tirtayasa. “Biar orang Banten punya kebanggaan, bukan dibikin malu sama korupsi aja,” kata dia kepada saya.

Naskah film itu kemudian dikirimkan kepada saya. Dia meminta saya menilik aspek sejarahnya. “Jangan sampai naskah ini bocor kemana-mana ya,” katanya mewanti-wanti. Sampai akhir hayatnya, tak jelas siapa yang bersedia membiayai produksi film tersebut. Misbach sempat bilang, “Ada seorang pengusaha Banten yang mau sponsorin.” Tapi belakangan dia bilang pengusaha itu mundur dan kemudian dia meminta saya mencarikan orang yang mau memodali film itu. Baru-baru ini saya juga tahu kalau skenario itu diserahkan pula kepada Rano Karno, aktor yang kini jadi Wakil Gubernur Banten.

Skenario film itu menjadi bukti kegilaannya terhadap film tak pernah sembuh. Bahkan pada usia senja dia masih saja kreatif dan tak kehilangan daya imajinasi dalam membayangkan keadaan Kesultanan Banten pada abad ke-16, sebuah hal yang sulit dilakukan bahkan oleh sejarawan sekalipun. Tapi itu perkara cincay buat Misbach.

Misbach selalu terbuka pada anak muda. Dia mau diajak diskusi kapan pun, lewat apa pun caranya. Dia terbiasa dengan internet. Diskusi lewat SMS pun jadi. Beberapa kali saya jumpa dengannya, setiap kali Misbach bicara dia selalu terlihat megap-megap seperti sesak nafas. Rupanya dia punya masalah pada paru-parunya. Dan karena itu pula dia mengembuskan nafas terakhirnya setelah sempat dirawat dulu di RS Eka Hospital, Serpong.

Suami artis Nani Wijaya itu wafat pada usia 78 tahun. Dia meninggalkan begitu banyak jejak dalam dunianya: sebagai penulis, sebagai sutradara dan dokumentator film terbaik yang pernah dimiliki Indonesia. Selamat jalan Pak Misbach.

TAG

Obituari

ARTIKEL TERKAIT

Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Suami Istri Pejuang Kemanusiaan Berpulangnya Yayu Unru, Aktor Watak yang Bersahaja Djoko Pekik dan Trilogi Celeng Nani Wijaya dari Tari ke Film Pelé adalah Sepakbola, Sepakbola adalah Pelé Sisi Lain Ridwan Saidi Aminah Cendrakasih Sebelum Jadi Mak Nyak