SAYA tak pernah lupa gaya menyisirnya yang rapi dan klimis, begitu pula dengan cara berpakaiannya yang kerap necis. Alur bicaranya teratur, diselingi nada meninggi kala membahas topik yang menurutnya penting. Selera humornya cukup baik: tak segan mengejek diri sendiri untuk mengundang tawa lawan bicaranya, seperti saat dia mengisahkan kemampuan berbahasa Inggrisnya pada awal merintis industri farmasi di era 1960-an.
“Waktu itu bahasa Inggris saya saja belum bagus, blepotan. Saya bahkan pernah keliru menggunakan kata “fabric” untuk pabrik, padahal dalam bahasa Inggris “fabric” ya kain bukan pabrik. Pabrik kan factory,” kata dia terkekeh menertawakan diri sendiri.
Terinspirasi nama pulau Pharos di dekat Teluk Alexandria, Mesir, pada 1971 Eddie dan seorang rekannya mendirikan pabrik obat Pharos. Tak lama berkongsi, dia memutuskan mengambil alih kendali Pharos sendirian, sekaligus menanggung beban utang yang membelit perusahaan. Tiga tahun jungkir-balik mempertahankan kapal usahanya tetap berlayar di tengah badai tagihan kreditur, laju Pharos kian kencang seiring membaiknya keuangan perusahaan. Tak ada lagi cerita didemo karyawan gara-gara telat bayar tunjangan hari raya seperti terjadi di awal berdirinya perusahaan.
Tak hanya pabrik obat, Eddie juga membangun jaringan pemasaran produknya melalui apotek Century yang didirikan pada 1993. Apotek tersebut tak hanya menjual obat, tapi juga menyediakan layanan informasi bagi konsumen mengenai obat yang mereka beli. Pemberi informasi tak lain adalah farmasi atau apoteker, yang pada apotek konvensional seringkali hanya dipinjam namanya sebagai cara mendapatkan izin membuka usaha apotek.
Dalam jangka waktu 20 tahun, usaha farmasinya mencapai sukses. Namun, sejak awal dia mafhum bahwa usaha di bidang farmasi tak hanya sekadar mencari untung, tapi juga mengemban misi sosial. Salah satu produk Pharos yang mendapat sambutan baik dari masyarakat karena manjur sekaligus murah adalah Pharolit, merk obat diare kebanggaan Eddie.
Kesuksesan bisnis Eddie Lembong ditopang situasi politik dan ekonomi yang relatif stabil di era Soeharto. Tapi itu tak berlangsung selamanya. Pada 1997 krisis moneter datang menghumbalang, membuat banyak perusahaan tumbang. Kepiawaian Eddie menakhodai armada usahanya kembali diuji. Saat banyak pengusaha lain mengambil fasilitas pinjaman lewat Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), dia tak tertarik mengambil se-sen pun dari tawaran tersebut. Terbukti keputusannya benar: saat banyak perusahaan lain dikejar utang, Pharos tetap melenggang tenang.
Terpaan badai tak hanya menggoyahkan usahanya. Pada 13-14 Mei 1998 Jakarta terbakar diamuk massa, mengawali rangkaian tragedi rasial yang membawa luka mendalam bagi warga Tionghoa Indonesia. Eddie menyadari ada sesuatu yang salah pada hubungan antaretnis di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk ini.
Sejak peristiwa tersebut, dia “banting setir” tak semata memikirkan bisnis lagi, tapi juga mencurahkan perhatiannya pada isu multikultural di tengah masyarakat Indonesia. Pada 5 Februari 1999, Eddie dan rekan-rekannya yang memiliki kepedulian yang sama mendirikan Perhimpunan Indonesia-Tionghoa (INTI). Para pendiri INTI sadar diskriminasi yang kerap terjadi terhadap warga Tionghoa diwariskan sejak zaman kolonial, seperti termaktub dalam peraturan pemerintah kolonial tahun 1854 yang menggolongkan masyarakat jajahan ke dalam kelompok-kelompok ras.
Pemikiran Eddie tentang relasi antaretnis di Indonesia bukannya tanpa dasar. Dia selalu merujuk kepada konsep pemikiran kebangsaan yang pernah dikemukakan Sukarno pada 1 Juni 1945. Dalam pidato tersebut, yang kemudian terkenal sebagai tonggak awal lahirnya Pancasila, landasan bernegara dan berbangsa Indonesia, Sukarno mengemukakan konsep nasionalisme modern Indonesia, bukan etnonasionalisme yang sempit.
Kendati demikian masih ada anggapan kuat bahwa warga Tionghoa bukan termasuk ke dalam warga negara Indonesia. Prasangka rasial semakin menguat dengan kesan ekslusif kalangan warga Tionghoa. Belum lagi tuduhan sebagai “economic animal” yang terlalu mementingkan urusan bisnis ketimbang urusan lainnya. Eddie ingin mengubah gambaran itu dengan jalan menumbuhkan dialog antaretnis di Indonesia.
Berhenti dari INTI, Eddie terus mengejar cita-citanya. Pada 30 September 2006, bertepatan dengan ulang tahunnya yang ke-70, dia dan istrinya, Melly Saliman, mendirikan Yayasan Nabil, kependekan dari Nation Building. Melalui yayasan itu Eddie dan Melly mendukung banyak kegiatan mulai dari penelitian, penulisan buku, seminar dan pemberian anugerah tahunan Nabil Award bagi tokoh-tokoh yang dinilai telah menyumbangkan hidup serta karyanya untuk memperkokoh keberagaman masyarakat Indonesia.
Melalui Yayasan Nabil, Eddie juga mengusahakan agar John Lie, perwira Angkatan Laut yang memainkan peranan penting dalam masa revolusi kemerdekaan Indonesia, mendapat gelar Pahlawan Nasional. Gelar tersebut diperoleh 9 November 2009. Tak hanya John Lie yang Tionghoa, Eddie juga mengajukan AR Baswedan dari tokoh Indonesia keturunan Arab sebagai Pahlawan Nasional. Namun, hingga kini Baswedan belum kunjung ditetapkan jadi Pahlawan Nasional.
Pengajuan dua nama itu mewakili dua kelompok etnis, yang pada masa Belanda termasuk golongan timur asing, namun memiliki sumbangsih bagi pembentukan bangsa Indonesia. Komitmen Eddie bisa dilihat dari usahanya menyokong riset dan penulisan biografi serta penyelenggaraan seminar kedua tokoh itu sebagai syarat pengajuan sebagai Pahlawan Nasional.
Menurut Eddie, kebudayaan yang berlaku pada masyarakat sebuah negeri turut berpengaruh pada maju atau mundurnya negeri tersebut. Rupanya dia terinspirasi dari buku yang disunting Samuel P. Huntington, Kebangkitan Peran Budaya: Bagaimana Nilai-nilai Membentuk Kemajuan Manusia. Dalam buku itu, Samuel sebagaimana sering dikutip oleh Eddie, menyajikan hasil riset terhadap dua negeri dari dua benua yang berbeda: Korea Selatan dan Ghana.
Pada awal 1960, kedua negeri berada dalam keadaan ekonomi yang setara: sama-sama terbelakang. Setelah diamati selama 30 tahun, dua negara yang semula berada pada titik berangkat yang sama itu ternyata mengalami perkembangan yang berbeda saat memasuki era 1990-an. Korea Selatan berkembang 15 kali lipat lebih pesat ketimbang Ghana.
Para sarjana yang terlibat dalam penulisan buku tersebut menemukan fakta bangsa Korea memiliki ciri khas budaya yang tak dimiliki oleh Ghana, yakni hemat, kerja keras, rajing menabung (berinvestasi), menjunjung pendidikan, organisasi dan disiplin. Budaya yang telah built in di dalam masyarakat Korea Selatan mendorong mereka jauh lebih cepat mengubah diri daripada rakyat Ghana.
Eddie terus mencari penyebab kenapa bangsa Indonesia tak seulet dan seliat bangsa Korea. Padahal dengan ragam kebudayaan tiap suku bangsa yang menghuni negeri ini, ada nilai-nilai positif yang bisa diambil dan diramu dengan nilai-nilai budaya suku bangsa lainnya. Eddie lantas menyebutkan sejumlah ciri khas dari suku bangsa di Indonesia, semisal suku Jawa dikenal ulet dan suku Batak pemberani, Bali terkenal dengan jiwa seninya. Menurutnya, aspek positif dari tiap suku bangsa itu bisa diramu menjadi karakter bangsa Indonesia.
Memang sekilas terlihat kalau Eddie melakukan “stereotipe” pada setiap suku bangsa. Karena sifat-sifat tersebut sebetulnya melekat pada individu, tidak bisa mencerminkan keseluruhan suku bangsa. Hal yang perlu digarisbawahi dari pemikiran tersebut adanya itikad untuk menghormati keunikan pada setiap suku bangsa yang harus diberi tempat di dalam bingkai kebangsaan Indonesia.
Artinya, setiap orang berhak membawa keunikannya masing-masing sebagai ciri khas, baik fisik maupun kultural, yang terwariskan dari mana suku bangsanya berasal. Seorang Jawa bisa tetap menjadi seorang Jawa, begitu pula seorang Tionghoa bisa tetap menampilkan diri sebagai seorang Tionghoa. Ini pula berlaku secara kolektif, sehingga memperkaya khazanah kebudayaan Indonesia, bukan malah menyeragamkannya.
Gagasan tersebut membutuhkan kondisi yang “Political correctness”, sehingga situasi “plural monokulturalisme” bisa menuju situasi yang “multikulturalisme”. Karena bagaimana pun masyarakat bineka hanya bisa dipertahankan oleh suatu budaya politik kewargaan yang demokratis (democratic citizenship) yang menjamin bukan saja hak-hak sipil dan politik setiap individu (individual rights), tetapi juga hak-hak sosial-budaya kelompok masyarakat (communitarian rights).
Ketika diminta menulis biografinya, saya melihat secara prinsip ada kemiripan gagasan Eddie Lembong dengan ide “integrasi wajar” yang pernah dikemukakan oleh Siauw Giok Tjhan, ketua Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki). Ide pembauran itu bersaing dengan konsep asimilasi total yang diusung oleh kelompok Lembaga Pembinaan Kesatuan Bangsa (LPKB) yang dimotori oleh Kristoforus Sindhunata dan Junus Jahja.
Dalam konsep pembauran Giok Tjhan, seseorang lahir ke dunia membawa ciri khas yang telah melekat pada fisiknya. Dan ciri-ciri fisik tersebut, seperti bentuk mata, hidung, wajah dan warna kulit, tak pernah bisa diubah. Begitu pula dengan budaya yang diwariskan kepadanya. Maka dalam konsep integrasi wajar, seorang Tionghoa leluasa menjadi dirinya sendiri dan menampilkan ciri khas budayanya, asalkan dia tetap memiliki orientasi dan dedikasi kepada bangsa Indonesia.
Berbeda dari konsep asimilasi total yang menyaratkan seorang keturunan Tionghoa sebisa mungkin harus melebur ke dalam masyarakat pribumi dengan mengganti nama dan menanggalkan ciri khas identitasnya yang terwaris dari budaya leluhur. Setelah peristiwa 1 Oktober 1965 terjadi, Baperki yang kerap diidentikan dengan PKI ikut dibubarkan dan dilarang. Konsep integrasi wajar pun turut lenyap bersamanya, betapapun gagasan pembauran ini terasa jauh lebih manusiawi dan egaliter.
Stigma negatif itu membuat masyarakat trauma dan menghindari segala hal yang berbau kiri. Tidak terkecuali Eddie Lembong. Saat saya tulis analisis kesamaan pemikirannya itu, kontan saja editor mencoret nama Siauw Giok Tjhan dan Baperki dari naskah buku. Tapi setelah negosiasi dan berdiskusi panjang, akhirnya analisis tersebut tetap bisa disajikan di dalam buku. Ini bisa dipahami karena hingga sekarang gambaran tentang gerakan kiri beserta gagasan yang muncul dari kalangan mereka turut tercoreng bersama pabrikasi kisah sejarah monoversi produk Orde Baru.
Bagaimana pun, konsep penyerbukan silang antarbudaya tersebut memang tak bisa dilepaskan dari pengalaman serta petualangan intelektual Eddie semasa hidupnya. Lahir sebagai anak kelima dari sepuluh bersaudara di Palasa, Kecamatan Tinombo, Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, 30 September 1936, Eddie dibesarkan oleh kedua orangtua yang disiplin dan mengutamakan pendidikan.
Ayahnya, Joseph Lembong dan ibunya, Maria, datang dari keluarga imigran Tiongkok. Kedua orang tua mereka membawanya ke Indonesia untuk memulai hidup dan mencari peruntungan baru. Joseph datang pada usia 15 tahun sementara Maria diboyong orangtuanya pada umur tiga tahun. Leluhur keluarga ini berasal dari suku Han, suku terbesar di Tiongkok.
Eddie dan saudara kandungnya sejak kecil sudah terbiasa hidup membaur dengan warga setempat yang mayoritas beragama Islam, sebagaimana mayoritas warga di Kecamatan Tinombo. Daerah itu, sebagai mana tempat-tempat lain di Sulawesi Tengah memiliki keberagaman yang cukup tinggi. Warga pendatang beretnis Arab dan Tionghoa tak lagi asing dan telah “direken” sebagai kelompok warga yang telah membaur dengan warga lainnya. Dua kelompok warga ini telah datang ke Sulawesi sejak berabad lampau dan menjadi kelas-kelas pedagang yang cukup berpengaruh.
Pembauran yang berlangsung mulus dan damai itu membentuk pula karakter masyarakatnya yang egaliter, tak memandang latar belakang ras dan kedudukan. Suatu kali Eddie pernah berkisah tentang seorang kusir dokar di Manado yang ikut masuk ke dalam sebuah kedai minuman ketika penumpangnya, seorang berpangkat, mampir ke kedai yang sama. “Kalau di Jawa ini pemandangan yang tidak lazim,” kata dia.
Setelah melalui pendidikan sekolah dasar sampai menengah di Gorontalo, Manado dan Jakarta, pada 1956 Eddie mendaftar ke Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Menurut dia, pada tahun itu pula UI memberlakukan penjatahan terhadap calon mahasiswa yang berminat mendaftar ke FKUI. Penjatahan itu bernuansa rasialis karena membedakan secara tegas komposisi penerimaan berdasarkan etnisitas, yakni 50 persen Tionghoa dan 50 persen pribumi. Namun kemudian jatah bagi pribumi bertambah jadi 60 persen, otomatis penerimaan bagi kalangan warga Tionghoa pun berkurang jadi 40 persen, membuat Eddie tak bisa lolos. Inilah kebijakan rasialis pertama yang berimbas pada jalan hidupnya.
Atas bantuan kakaknya, Johannes Lembong (ayah Thomas Lembong, mantan Menteri Perdagangan, kini Kepala BKPM) yang saat itu sudah lebih dulu kuliah di Fakultas Kedokteran UI tingkat V, Eddie menghadap Dekan FKUI Prof. Dr. Djoened Poesponegoro. Dalam kesempatan itu Eddie memohon kepada Prof. Djoened untuk memberinya surat keterangan yang menyatakan prestasi akademisnya dalam ujian masuk itu bernilai baik. Surat itu diharapkan dapat berguna untuk melamar ke sekolah lain.
Prof. Djoened pun memberi surat keterangan mengenai kemampuan akademis Eddie. Berbekal surat itu Eddie melamar ke Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Teknologi Bandung (ITB, dulu masih Fakultas Teknik Universitas Indonesia). Kali ini Eddie beruntung, dia diterima kuliah di jurusan Farmasi ITB dan lulus sebagai sarjana farmasi pada 1964.
Akhir 1965 dia menikahi Melly Saliman dan dari pernikahan mereka lahir tiga orang anak, dua di antaranya meneruskan jejak bisnis Eddie Lembong di bidang farmasi. Sebelum meninggal pada 1 November yang lalu, Eddie masih sempat menggagas penerbitan tiga jilid buku tebal berjudul Tionghoa dalam Keindonesiaan: Peran dan Kontribusi bagi Pembangunan Bangsa (2016). Dalam keadaan sakitnya, Eddie masih menyempatkan diri mengikuti berbagai kegiatan yang senapas dengan cita-citanya: mewujudkan masyarakat Indonesia yang multikultural, setara dan berkeadilan. Selamat jalan Pak Eddie...