SAYA lupa kapan tepatnya sejarawan Asvi Warman Adam menelpon saya pada 2012 yang lampau. Dia mengabarkan kepada saya bahwa kami berdua diminta untuk bertemu Maulwi Saelan di sekolah Syifa Budi, Kemang, sekolah yang dikelolanya sejak dibebaskan dari penjara rezim Soeharto.
Pada hari pertemuan itu, Pak Maulwi berbatik dengan berkopiah menyambut kami dengan senyum ramah. Dalam pertemuan itu dia menawarkan kami untuk menulis biografinya. Sejarawan Asvi Warman Adam mengusulkan agar ada empat tema buku mengenai Maulwi Saelan: sebagai penjaga kemerdekaan, penjaga gawang, penjaga presiden dan penjaga pendidikan.
Penjaga kemerdekaan karena Maulwi sejak remaja telah terlibat aktif dalam perjuangan revolusi kemerdekaan, mulai di Sulawesi Selatan sampai di Jawa Timur, medan gerilyanya. Dia sempat diburu pasukan Westerling, diisukan telah terbunuh oleh pasukan Westerling untuk menjatuhkan mental perjuangan gerilyawan republiken di Sulawesi Selatan. Kemudian menggabungkan dirinya dengan Kahar Muzakar yang kala itu memimpin laskar asal Sulawesi di Jawa.
Penjaga gawang diusulkan mengingat peran dan jasanya terhadap sepakbola Indonesia. Maulwi adalah kapten sekaligus kiper tim nasional Indonesia. Sejak belia Maulwi sudah gemar bermain bola dan memulai debutnya sebagai pemain profesional sejak bergabung dengan klub Indonesia Muda yang berlaga mewakili Jakarta dalam PON pertama, September 1948. Sejak saat itu kariernya di sepakbola melesat sampai dipercaya menjadi kapten Timnas Indonesia yang berhasil menahan imbang Uni Soviet 0-0 dalam laga Olimpiade, Sydney, 1956.
Pada 1962, setelah beberapa upaya pembunuhan Presiden Sukarno terjadi, pemerintah mendirikan pasukan pengawal presiden. Sukarno memberi nama Tjakrabirawa. Maulwi ditugaskan bergabung dengan kesatuan pengawal presiden yang terdiri atas empat batalyon, masing-masing dari Angkatan Darat, Laut, Udara dan Kepolisian. Maulwi yang berasal dari Corps Polisi Militer dipercaya sebagai wakil komandan berpangkat kolonel, orang kedua setelah Brigjen Sabur. Oleh karena itu buku ketiga diusulkan mengenai pejaga presiden.
Sekeluarnya dari penjara, Maulwi Saelan, yang diangkat sebagai anak oleh Buya Hamka, diminta membantu di sekolah Al Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta. Buya Hamka kemudian memintanya membuat tambahan kelas baru dari sekolah Al Azhar yang kian lama kian kebanjiran murid. Maulwi membuka ruang kelas di rumahnya di bilangan Kemang. Dari sebuah ruang kelas, berkembang menjadi sekolah yang kini bernama Syifa Budi. Di sekolah inilah Maulwi Saelan mengembangkan pemikiran Hamka dalam bidang pendidikan.
Maulwi Saelan setuju. Kami mulai menulis. Saya meminta dua kawan lain untuk membantu, Hendri Isnaeni dan MF Mukthi. Keduanya redaktur di Majalah Historia. Di tengah proses penulisan ternyata berkembang gagasan untuk menyatukan tema penjaga kemerdekaan dengan penjaga presiden dalam satu buku. Pak Maulwi setuju. Buku tersebut diterbitkan oleh Penerbit Buku Kompas pada 2014 yang lalu dan kini sudah dicetak ulang sebanyak tiga kali. Dua tema lainnya masih dikerjakan dan belum rampung dikerjakan.
Minggu lalu ketika Pak Maulwi dirawat di Rumah Sakit Pondok Indah, saya menyampaikan maaf karena penulisan naskah buku kedua tak selancar buku pertama. Dalam keadaan sakit, Pak Maulwi masih bisa menjawab, “Ya..ya.. iya” dan tertawa kecil. Dalam keadaan sakit ingatannya masih kuat dan mampu mengenali tamu yang menjenguknya.
Saya kembali teringat masa-masa awal penulisan buku, ketika kami sering mewawancarainya. Sikapnya yang hangat jauh dari gambaran pasukan Tjakrabirawa sebagaimana yang digambarkan sebagai serdadu bengis penculik dan pembunuh jenderal Angkatan Darat sebagaimana tersua dalam film Pengchianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C Noer.
Dalam banyak pertemuan dia selalu memutar ulang kisah-kisah yang dialaminya, terutama saat masih jadi pengawal presiden. Ada banyak cerita kocak selama berpengalaman mengawal Presiden Sukarno. Suatu hari, Bung Karno memanggilnya ke Istana. Mereka terlibat diskusi dan berujung pada sebuah perdebatan. Maulwi bertahan pada pendapatnya, Bung Karno pun demikian. Menurut Maulwi Bung Karno tampak emosi ketika itu sampai mukanya merah padam dan mendadak masuk ke dalam istana meninggalkan Maulwi di beranda belakang.
“Waduh mati saya, saya pasti dipecat ini,” kata Maulwi. Tak lama kemudian Bung Karno memanggil Maulwi masuk ke dalam dan tanpa diduga Bung Karno meminta maaf atas kekeliruannya. “Maulwi, je heb gelijk,” kata Bung Karno, “Maulwi, kamu benar.”
Pengalaman unik lainnya adalah ketika mengawal Bung Karno ke Italia. Presiden Sukarno terkenal sebagai orang yang spontanitasnya tinggi. Para pengawalnya tentu mahfum itu. Ketika iring-iringan mobil presiden memasuki kota Roma, mendadak presiden memerintahkan seluruh rombongan belok masuk restoran. Dengan sigap Maulwi memerintahkan anak buahnya mengikuti perintah Presiden Sukarno. Ketika ditanya kenapa? “Presiden ingin makan es krim dulu,” kata Maulwi terpingkal mengenang kejadian itu.
Tak lama setelah Sukarno dikudeta dari posisinya sebagai presiden, Maulwi dipanggil ke Corps Polisi Militer, kesatuan dari mana dia berasal, dibebastugaskan dari Tjakrabirawa. Tak lama kemudian dipanggil Kopkamtib dan tak pernah diizinkan untuk pulang.
“Ya begitu saja, saya dipanggil, lantas nggak dikasih pulang sampai lima tahun lebih,” katanya.
Maulwi ditahan di Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, Jakarta Pusat selama 4 tahun 8 bulan. Kemudian ditahan di Rumah Tahanan Nirbaya, Jakarta Timur selama setahun. Untuk membuat Maulwi tertekan, Kopkamtib sengaja Maulwi menempatkan Maulwi di sel isolasi.
“Kalau hujan kehujanan, kalau panas kepanasan. Selama seminggu saya dibuat menderita. Kelaparan dan kehausan. Untung ada penjaga bekas anak buah yang berbaik hati memberikan saya pisang goreng,” kenang Maulwi.
Setelah lima tahun lebih dipenjara, Maulwi dipanggil ke kantor petugas militer. Dinyatakan bebas. “Ya sudah begitu saja. Ditahan dan dilepas seenaknya. Saya, Mursid (Mayjen. Mursid, mantan Dubes RI untuk Filipina –Red) dan beberapa kawan pengawal Bung Karno lainnya juga dibebaskan. Diantar pakai mobil pick up,” ujar mantan kapten Timnas Indonesia tahun 1950-an itu.
Kendati diperlakukan tak adil oleh rezim Soeharto dan tak pernah diberitahu apa alasan penangkapan dan pemenjaraannya selama lima tahun tanpa pengadilan, Maulwi tetap tak menaruh dendam. “Tidak...tidak ada dendam,” katanya. Dia hanya menyesalkan tindakan di luar hukum yang dilakukan oleh pemerintahan Soeharto kepada seluruh loyalis Presiden Sukarno.
Maulwi Saelan meninggal dalam usia 90 tahun, ketika proses pengungkapan genosida politik oleh rezim Soeharto masih terus diupayakan. Selamat jalan, Pak Maulwi... selamat jalan revolusioner sejati...