Masuk Daftar
My Getplus

Ratu Elizabeth II yang Dihujat dan Dicinta

Sosok ratu yang tak luput dari puja-puji hingga caci-maki. Takhtanya bertahan dari era pasca perang hingga pasca pandemi Corona.

Oleh: Randy Wirayudha | 10 Sep 2022
Ratu Elizabeth II memerintah Kerajaan Inggris dan negara-negara persemakmurannya selama tujuh dekade. (rct.uk/wikipedia).

ERA Ratu Elizabeth II resmi berakhir. Setelah tujuh dekade dan melewati 15 masa pemerintahan perdana menteri (PM) Inggris, perempuan paling powerful yang pernah memimpin 33 negara (kini 15 negara) sekaligus itu menghembuskan nafas terakhirnya pada 8 September 2022 di usia 96 tahun. Takhtanya diteruskan putranya, Pangeran Charles, yang memilih nama Raja Charles III.

Ratu Elizabeth II wafat di Istana Balmoral di Aberdeenshire, Skotlandia sekira pukul 18.30 waktu setempat karena kondisi kesehatannya terus memburuk. Padahal, dua hari sebelumnya sang ratu masih muncul di depan publik dengan wajah berseri diiringi senyum kala bertemu PM Inggris yang baru, Liz Truss, di Istana Balmoral.

“Baru awal pekan ini ia masih menjalankan tugasnya saat ia menunjuk saya sebagai PM-nya yang ke-15. Hari ini jadi kehilangan besar buat kita tetapi Ratu Elizabeth II meninggalkan warisan yang besar…dan dengan berakhirnya era Elizabeth II, sekarang kita menyongsong era baru dalam sejarah luar biasa negara kita yang besar,” demikian potongan pidato PM Truss di laman resmi pemerintahan Inggris, Kamis (8/9/2022).

Advertising
Advertising

Baca juga: Darah Turki Perdana Menteri Inggris Boris Johnson

Upacara pemakaman sang ratu bakal dihelat sesuai prosedur “Operation London Bridge” dari Skotlandia. Bendera dinaikkan setengah tiang di Istana Buckingham, London, dan gedung-gedung pemerintahan. Para pemimpin pemerintahan negara-negara persemakmuran mendapat panggilan ke London.

Momen berkabung akan dilangsungkan selama 72 jam dengan penyemayaman jenazah di Katedral St. Giles di Edinburgh lalu pemindahan jenazah ke London untuk disemayamkan di Westminster Hall selama empat hari. Setelah itu baru dimakamkan.

Dari era Depresi Besar sampai masa pandemi Covid, Ratu Elizabeth II melewati pergantian-pergantian zaman dengan aneka isu hitam dan putih yang mengikutinya. Ia naik takhta pada 1952 menggantikan mendiang ayahnya, Raja George VI untuk kemudian menjadi ratu dengan masa terlama dalam sejarah monarki Inggris, terlepas ia juga jadi ratu yang pernah dihujat dan dicinta sekaligus.

Baca juga: Tiara Ratu Elizabeth Penolak Bala

Terakhir kali Ratu Elizabeth II muncul di publik saat menerima Perdana Menteri Mary Elizabeth "Liz" Truss (Twitter @RoyalFamily)

Calon Penerus Kerajaan

Elizabeth Alexandra Mary lahir sebagai putri sulung pasangan Pangeran Albert dan Putri Elizabeth pada 21 April 1926. Seiring ayahnya naik takhta menjadi Raja George VI, Elizabeth kecil dipersiapkan jadi suksesornya.

“George VI menetapkan Elizabeth dipersiapkan pada tugas-tugas kerajaan yang akan lebih baik darinya. Sang raja sering membawanya duduk bersamanya di ruang baca untuk mempelajari dokumen-dokumen negara. Juga memberikan kelas-kelas khusus tentang sejarah konstitusi, peran kerajaan, dan prosedur parlementer. Sementara pendidikan sang adik, Putri Margaret, tidak seketat dan seteratur itu,” tulis Susan Kennedy dkk. dalam Queen Elizabeth II and the Royal Family: A Glorious Illustrated History.

Pada masa Perang Dunia II, Elizabeth yang masih belia aktif menyokong perlawanan dengan ikut merajut bahan-bahan pakaian militer hingga berpantomim di atas panggung untuk penggalangan dana. Setahun bergulirnya perang, ia bersama Margaret rutin siaran di program “Children’s Hour” radio BBC saban pagi untuk menghibur anak-anak yang terdampak pemboman udara.

“Setidaknya jika takhta saya dijatuhkan, anak-anak sudah akan bisa cari nafkah sendiri,” kata Raja George VI setengah bercanda, dikutip Kennedy dkk.

Baca juga: Kisah Plakat Pelantikan Raja Inggris

Elizabeth merupakan anak yang paling sering diajak ayahnya dalam kunjungan kerja ke berbagai negara. Salah satunya, kunjungan ke Amerika Serikat pada musim gugur 1942 untuk bertemu Presiden Franklin D. Roosevelt dan Ibu Negara Eleanor Roosevelt.

“Dia (Elizabeth) menanyakan banyak hal tentang kehidupan di Amerika, termausk pergerakan-pergerakan pemuda di Amerika. Dan semua yang ia tanyakan adalah pertanyaan serius,” kenang Eleanor dikutip Matthew Dennison dalam The Queen: An Elegant New Biography of Her Majesty Elizabeth II.

Putri Elizabeth (kanan) & Putri Margaret bersiaran di BBC di masa perang (Queen Elizabeth II and the Royal Family: A Glorious Illustrated History)

Saat usianya genap 18 tahun pada 1944, Elizabeth ditunjuk ayahnya menjadi Counsellor of State atau semacan penasihat negara. Tentu setelah parlemen mengamandemen Regency Act tahun 1937, di mana keturunan raja bisa menjadi Counsellor of State dengan syarat berusia 21 tahun ke atas.

“Tumbuh dengan lingkungan yang penuh cinta dan kasih sayang, ia sempat terhenyak dengan banyak fakta di titik ini. Ketika raja sedang mengunjungi pasukan AD ke-8 di Italia, tugasnya sebagai Counsellor termasuk menandatangani penangguhan hukuman seorang pelaku pembunuhan. Ia heran: ‘apa yang membuat orang bisa melakukan hal seburuk ini? Pasti ada sesuatu untuk bisa membantunya. Saya masih harus belajar banyak tentang masyarakat!’” ungkap Sarah Bradford dalam Queen Elizabeth II: Her Life in Our Times.

Baca juga: Putra Mahkota yang Terbuang

Elizabeth makin aktif dalam membantu upaya perang. Pada Februari 1945, ia masuk Auxiliary Territorial Service (ATS), sebuah barisan sukarelawati di bawah AD Inggris. Mendapat pangkat kehormatan letnan dua, Elizabeth dilatih jadi sopir truk dan berbagai kendaraan militer lain, serta keahlian mekanik. Di akhir perang, Elizabeth yang mulai dijuluki “Princess of Mechanic” sudah menyandang pangkat kapten.

Dengan seragam yang sama pula ia ikut hanyut dalam perayaan VE Day (Victory Europe Day) di jalan-jalan kota London pada 8 Mei 1945. Dengan seragam ATS itu, Elizabeth bisa menyamarkan diri sebagai warga biasa tanpa harus dikenali sebagai anggota kerajaan.

“Saya dan Margaret sebelumnya minta izin pada orangtua untuk bisa keluar dan melihat sendiri (perayaan). Kami turun ke jalan-jalan, di mana banyak orang yang sebenarnya juga tak saling mengenal tetapi bisa saling bergandengan tangan dalam suasana bahagia. Rasanya itu salah satu malam paling mengesankan dalam hidup saya,” ujar Elizabeth dikutip Kennedy dkk.

Putri Elizabeth semasa aktif di barisan Auxiliary Territorial Service (nam.ac.uk/rct.uk)

Di Bawah Takhta Ratu

Usai perang, Elizabeth dipinang Pangeran Philip pada 20 November 1947. Philip yang sudah dikenal Elizabeth sejak 1934 itu sejatinya merupakan sepupu kedua dari garis keturunan Raja Denmark Christian IX, dan sepupu ketiga jika terhitung dari garis keturunan Ratu Victoria.

“Di 6 Februari 1952 setelah (raja) George VI wafat, Elizabeth resmi melanjutkan takhta (dinasti) Windsor. Ia mempertahankan nama ‘Elizabeth’ untuk kemudian disebut Ratu Elizabeth II, meski sebetulnya nama itu menyinggung banyak bangsawan Skotlandia, mengingat ia menjadi Elizabeth pertama yang memerintah di Skotlandia. Elizabeth dan Philip kemudian resmi pindah dari kediaman sebelumnya di Sagana Lodge, Kenya, ke Istana Buckingham,” sambung Bradford.

Tetapi tak mudah bagi sang ratu yang masih terbilang muda itu ketika terjun ke politik. Terlebih ketika ia mendapat banyak tekanan dari partai konservatif kala menentang keputusan PM Anthony Eden menginvasi Mesir saat pecahnya Krisis Suez pada November 1956. Namun terlepas dari itu, banyaknya kunjungannya ke sejumlah negeri bekas koloni membuat Inggris bisa masuk ke European Community (kini European Economic Community) pada 1973.

Baca juga: Konflik Keluarga Kerajaan dalam Perang Dunia

Putri Elizabeth di momen pernikahannya dengan Pangeran Philip (nationaalarchief.nl)

Dinamika politik yang penuh gejolak mulai menjadi bagian dari kehidupan sang ratu. Selain mulai menghadapi isu negara-negara persemakmuran yang ingin lepas dari kerajaan, seperti Kanada dan Australia, Ratu Elizabeth II juga menemui friksi di internal pemerintahan Inggris. Utamanya dengan PM Margaret Thatcher pada 1986.

“Yang Mulia Ratu khawatir dengan kebijakan-kebijakan ekonomi perdana menteri yang memperlebar jurang sosial dengan meningkatnya pengangguran, serangkaian kerusuhan, dan kekerasan dalam aksi pemogokan buruh tambang. Thatcher juga menolak menerapkan sanksi terhadap rezim apartheid di Afrika Selatan,” kata laporan surakatbar The Sunday Times, 20 Juli 1986.

Begitu memasuki dekade baru, Ratu Elizabeth diguncang banyak isu yang dikompori banyak media. Yang “terberat”, tahun 1992, di mana ia menyebutnya annus horribilis atau tahun mengerikan. Di tahun itu kelompok-kelompok pro-Republik di Inggris menyerang gaya hidup anggota kerajaan. Lalu, berita-berita kehidupan pribadi keluarga, seperti perceraian Pangeran Andrew dengan istrinya pada Maret dan perceraian Putri Anne pada bulan berikutnya, begitu marak.

“Di tahun itu juga Mauritius merdeka jadi negara republik dan Elizabeth tak lagi jadi kepala negaranya. Lalu pada Oktober saat kunjungannya ke Dresden, Jerman, ia dilempari telur oleh para pengunjuk rasa. Pada November, Istana Windsor mengalami kebakaran besar. Di tahun itu monarki Elizabeth II benar-benar dalam sorotan negatif publik,” ungkap Gyles Brandreth dalam Philip and Elizabeth: Portrait of a Marriage.

Baca juga: Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Indonesia

Ratu Elizabeth (bergaun kuning) di antara para pemimpin G77 tahun 1977 (NARA)

Keluarnya Putri Diana dari istana usai berpisah dari Pangeran Charles membuat reputasi Ratu Elizabeth II kian jeblok di mata publik. Film biopik The Queen (2006) cukup gamblang menggambarkan bagaimana publik di Inggris memendam kemarahan ketika Ratu Elizabeth sempat hanya berdiam diri di Istana Balmoral saat Putri Diana meninggal pasca-kecelakaan di Paris, Prancis pada 31 Agustus 1997.

PM Tony Blair sampai harus menasihatinya agar sang ratu tak tersinggung, supaya sang ratu mau keluar dari Balmoral ke Buckingham dan menyampaikan pernyataan pertamanya usai kematian Putri Diana. Nasihat itu berhasil, Ratu Elizabeth menyapa publik di depan gerbang istana hanya untuk melihat lautan bunga dengan pesan-pesan duka untuk Putri Diana bercampur kecaman yang memilukan hati untuk sang ratu.

“Mendapat banyak tekanan, ratu akhirnya berangkat ke London dan menyampaikan pidato duka lewat siaran televisi pada 5 September, sehari sebelum Putri Diana dimakamkan. Dalam pidatonya, ia mengungkapkan kekagumannya pada Diana dan perasaan kehilangan sebagai nenek dari dua pengeran. Hasilnya, kecaman publik berangsur-angsur menghilang,” tambah Brandreth.

Kiprah sang ratu terus bergulir seiring berjalannya waktu. Semasa pandemi Covid-19, Ratu Elizabeth masih aktif mengungkapkan imbauan serta keprihatinan kepada warganya yang terdampak via siaran televisi, agar tetap berada di rumah dan tak beraktivitas di luar jika tak dalam keadaan darurat. Itu ia contohkan, bahkan ketika berduka kala suaminya, Pangeran Philip, wafat pada 9 April 2021. Karena pembatasan sosial, Ratu Elizabeth hanya terduduk sendirian di samping peti mati suaminya tanpa didampingi banyak anggota keluarga saat upacara pemakaman. Kini, Ratu Elizabeth sudah “kembali bersatu” dengan Pangeran Philip di alam keabadian. Rest in peace, Ratu Elizabeth II.

Baca juga: Ratu Elizabeth II Mengundang Bung Karno Ke London

Ratu Elizabeth dan Pangeran Philip dalam kunjungannya ke Jerman pada Oktober 1992 (Bundesarchiv)

TAG

obituari inggris elizabeth ii

ARTIKEL TERKAIT

Perang Tiga Abad tanpa Pertumpahan Darah Ada Rolls-Royce di Medan Laga Rolls-Royce Punya Cerita Seputar Deklarasi Balfour Kanvas Kehidupan Fathi Ghaben Dua Kaki Andreas Brehme Pangeran William, Putri Diana, dan Palestina Pasukan Jepang Merebut Kuala Lumpur di Musim Durian Sisi Lain Der Kaiser Franz Beckenbauer Suami Istri Pejuang Kemanusiaan