Sepanjang masa kepresidenannya, Sukarno telah melakukan kunjungan kenegaraan ke berbagai belahan dunia. Tapi, ada dua negara Eropa yang belum disambanginya: Belanda dan Inggris. Keengganan Sukarno ke Belanda jelas perkara prinsip dan harga diri. Ia tak sudi menginjakkan kaki ke negeri penjajah tersebut. Sementara Inggris, belum kesampaian saja.
“Aku sudah ke mana-mana kecuali ke London, sekalipun Ratu Inggris sudah dua kali mengundangku untuk berkunjung,” kata Sukarno dalam otobiografinya yang disusun Cindy Adams, Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.
Ada kisah di balik undangan Kerajaan Inggris terhadap Bung Karno. Bermula ketika Sukarno berpidato di Sidang Majelis Umum PBB ke-15 pada 30 September 1960. Dalam pidatonya berjudul To Build The World Anew (Membangun Dunia Kembali), Bung Karno mempromosikan Pancasila untuk dianut dalam piagam PBB. Ia juga menyentil PBB yang lebih condong terhadap kepentingan adikuasa daripada negara-negara dunia ketiga. Tak luput pula kecaman dilayangkannya terhadap kuasa penjajahan Belanda di Irian Barat (kini Papua).
Baca juga: Sukarno dan Gebrakan 30 September
Pidato itu diakui sebagai salah satu pidato terbaik sekaligus paling kontroversial dalam Sidang Majelis Umum PBB. Menurut Juru Bicara Departemen Luar Negeri Ganis Harsono, ada dua tokoh negara yang terkesan menyaksikan penampilan Sukarno, yakni Perdana Menteri Inggris Harold Macmillan dan Pangeran Norodom Sihanouk dari Kamboja.
“Perdana Menteri Harold Macmillan dari Kerajaan Inggris, yang dua hari setelah Bung Karno menyampaikan pidatonya sengaja datang ke puncak Hotel Waldorf Astoria, tempat menginap Bung Karno,” tutur Ganis dalam memoarnya Cakrawala Politik Era Sukarno.
Tak sampai setahun kemudian, tepatnya 28 Agustus 1961, Ratu Elizabeth II atas saran Macmillan mengundang Sukarno mengadakan kunjungan kenegaraan ke London. Sukarno melalui Departemen Luar Negeri menyatakan bersedia menerima undangan sang ratu. Kunjungan kenegaraan ke Inggris diagendakan pada Mei 1962. Pengumuman resmi pun disiarkan.
Baca juga: Misi Parman Melobi London
Berita rencana kunjungan Sukarno ke Inggris sampai ke negeri Belanda. Ratu Juliana tak senang mendengarnya. Apalagi Ratu Elizabeth II masih terbilang keponakan Juliana. Waktu itu hubungan diplomatik Indonesia dengan Belanda sudah putus akibat sengketa Irian Barat.
Pada 19 September 1961, Ratu Juliana menyatakan perudingan dengan Indonesia mengenai Irian Barat tak akan dilakukan. Ia bahkan membuka pintu bagi rakyat Irian Barat untuk menentukan masa depannya sendiri. Kebijakan dekolonisasi Belanda ini semakin memperburuk hubungan Belanda dengan Indonesia. Begitupun dengan Ratu Elizabeth II.
“Pernyataan Ratu Juliana kemudian berakibat kurang baik dan tidak membenarkan kemenakan jauhnya, Ratu Elizabeth, menjamu Presiden Sukarno di Istana Buckingham,” imbuh Ganis.
Baca juga: Menlu Belanda Sponsori Papua Merdeka, Sukarno: Dia Bajingan!
Tapi, Kerajaan Inggris bersikukuh mengundang Sukarno. Sempat terjadi perbedaan persepsi protokoler. Bung Karno seperti disebut Jenderal Abdul Haris Nasution dalam memoarnya, Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 5: Kenangan Masa Orde Lama, menghendaki penyambutan penuh kebesaran bagi seorang kepala negara. Namun, penyambutan seperti itu dibatasi oleh peraturan kerajaan, demikian disampaikan Wakil Perdana Menteri Edward Heath kepada Nasution ketika berkunjung ke Inggris pertengahan 1961.
“Ia sarankan agar datang saja sebagai kepala pemerintah. Itu lebih baik, karena dapat dilakukan pembicaraan secara bisnis, to talk business. Adapun dalam acara kebesaran kerajaan tidak akan dapat diadakan pembicaraan-pembicaraan, karena serba protokoler,” kata Nasution yang saat itu menjabat Kepala Staf Angkatan Darat.
Di London, baik pemerintah maupun staf Kedutaaan Besar Indonesia sibuk mempersiapkan penyambutan. Terlebih lagi sebulan menjelang kunjungan. Duta Besar Indonesia B.M. Diah mengatakan brosur tentang Indonesia dan riwayat hidup Sukarno dicetak untuk disebarkan. Persiapan protokoler untuk menyambut kedatangan Bung Karno sudah rapi. Bendera Merah Putih dipesan untuk menghiasi jalan utama yang akan dilewati Sukarno-Ratu Elizabeth II. Istana Buckingham bahkan sudah menyusun menu sarapan, makan siang, dan makan malam yang dibuat khusus untuk Bung Karno.
Baca juga: Klepon, Makanan Istana
Namun, pada 21 April 1962, Sukarno melayangkan surat permintaan maaf kepada Ratu Elizabeth II. Karena situasi di dalam negeri, ia mengatakan tak bisa meninggalkan Indonesia. Situasi memang lagi genting menyusul serangan Belanda terhadap armada Angkatan Laut Indonesia di Laut Arafuru pada awal tahun. Pada Maret 1962, perundingan yang dimediasi Amerika Serikat macet sehingga Indonesia dan Belanda terancam perang.
Kunjungan resmi Sukarno ke London batal. Surat kabar Inggris, seperti ditulis Toeti Kakiailatu dalam biografi B.M. Diah: Wartawan Serba Bisa, memberitakan hal pembatalan ini di halaman satu: “SUKARNO SNUBS THE QUEEN!” (Sukarno Melecehkan Ratu).
Meski agak menyesalkan, Ratu Elizabeth II memakluminya. Itu dinyatakan dalam suratnya bertanggal 8 Mei 1962.
“Menteri-menteri saya dan saya sendiri telah siap sedia menyambut kedatangan Yang Mulia, dan untuk memperlihatkan kepada Yang Mulia perihal negara kami, akan tetapi saya percaya bahwa kita akan mempunyai kesempatan untuk ini pada waktu yang lain,” kata Ratu Elizabeth II dalam suratnya, dikutip Ganis Harsono.
Baca juga: Kampanye Gagal Sukarno di Forum Internasional
Setelah sengketa Irian Barat berakhir, semestinya kunjungan itu direalisasi. Tapi, Sukarno memasuki babak konflik baru dengan Negara Federasi Malaysia. Ia menolak gagasan pembentukan Negara Malaysia dan menyerukan “Ganyang Malaysia”. Sementara negara itu merupakan eks koloni Inggris yang masuk dalam persemakmuran. Akibatnya, Angkatan Perang Indonesia berhadapan dengan tentara Inggris di perbatasan Kalimantan.
Perang dengan Inggris memang dapat terhindarkan. Tapi, kampanye Sukarno mengganyang Malaysia berujung gagal total. Sejak itu, politik dalam negeri maupun perekonomian tak kunjung membaik sampai menyebabkan Sukarno lengser. Hingga wafatnya, kunjungan Bung Karno ke Inggris urung terjadi.
Malah Ratu Elizabeth II yang berkesempatan datang ke Indonesia setelah rezim berganti. Pada Maret 1974, sang ratu berlayar ke Bali menumpangi kapal pesiar kerajaan, Royal Yacht Britannia. Selain Bali, Elizabeth II menyambangi Jakarta dan Yogyakarta. Bagi Elizabeth II, Indonesia punya tempat khusus di hatinya.
Baca juga: Kunjungan Ratu Elizabeth II ke Indonesia