Di salah satu sudut Museum TNI Yogyakarta terpajang sebuah pemancar radio model lama. Ukurannya hampir sebesar pintu. Bernomor inventaris 60.607.318. Tertera: “Pemancar hasil selundupan dari Malaya digunakan oleh pemerintah RI di Sumatera-Aceh 1948.” Cuma sepintas lalu, tak ada cerita lebih lanjut.
“Dari corongnya-lah dunia internasional mengetahui serangan umum 1 Maret 1949 di Yogyakarta,” ujar Muhammad TWH (Tuk Wan Haria), mantan wartawan senior kota Medan berusia 84 tahun, kepada Historia.
Pada masanya, pemancar radio itu dikenal sebagai Radio Rimba Raya. Nama “Rimba Raya” diadaptasi dari tempat ia mengudara: hutan belantara di pegunungan Aceh Tengah.
Dari Barang Selundupan
Radio Rimba Raya sebenarnya telah dipersiapkan jauh hari, bahkan sebelum Belanda melancarkan agresi militer I. Pada 2 Juli 1947, Komandan TRI Divisi X Kolonel Husein Yusuf mengeluarkan Keputusan No.0083/CD yang menetapkan Komandan Batalyon B TRI Mayor Nip Xarim sebagai penanggungjawab untuk menyempurnakan peralatan perang Divisi X.
“Untuk itu, Kepala Administrasi dan Penyantun Divisi X, Mayor Usman Adamy, diperintahkan menyediakan bahan-bahan hasil bumi yang akan ditukar dengan peralatan dari luar negeri tersebut,” tulis Pramoedya Ananta Toer, Koesalah Soebagyo Toer, dan Ediati Kamil dalam Kronik Revolusi Indonesia, Jilid III (1947).
Setelah hasil bumi tersedia, mulailah Nip Karim bergerak. Muhammad TWH mengisahkan operasi tersebut berdasarkan cerita yang didapatnya langsung dari Nip Xarim.
Nip Xarim membawa 25 ton getah karet ke Singapura (saat itu masih Malaya). Melalui seorang perempuan penghibur bernama Nancy Ho, yang ditemuinya di klub malam, Nip Xarim diperkenalkan dengan seorang perwira Angkatan Laut Inggris. Perkenalan itu berlanjut menjadi transaksi atas sebuah pemancar radio milik kapal Angkatan Laut Inggris berkekuatan 350 watt. Timbang-terima dilakukan di laut bebas. Dengan menembus blokade laut Belanda di Selat Malaka, Nip Xarim membawa pulang pemancar radio itu ke Aceh.
Di Aceh, pemancar radio itu menjadi milik Penerangan Divisi X yang bermarkas di kota Bireun lalu dipindahkan ke Kutaraja. Pemasangan radio dilakukan W. Schultz, seorang peranakan Indo-Jerman. Schultz merupakan Kepala Stasiun Pos Telegram dan Telepon (PTT) Kutaraja yang telah vakum ketika Indonesia merdeka. Dia kemudian jadi kolega Kolonel Husein Yusuf.
Pemancar radio dipindahkan lagi ke Bireun ketika aktivitas pesawat tempur Belanda meningkat di Aceh Utara, termasuk Kutaraja. Sehari setelah Belanda melancarkan agresi militer II, Daud Beureuh memerintahkan untuk mengamankan radio Divisi X ke dataran tinggi pegunungan Gayo, Aceh Tengah. Kolonel Husein Yusuf mengerahkan pasukan untuk memindahkan seluruh perangkat radio ke Burni Bius, Takengon, 260 km dari Bireun.
Di tengah perjalanan, pesawat Mustang Belanda mengejar iringan truk pengangkut pemancar radio. Rombongan pembawa radio kerap kalang-kabut menghindari tembakan dari udara. Mereka berkali-kali masuk hutan, berpencar dan bersembunyi. Demi keamanan pemancar dan keselamatan kru radio, tujuan ke Burni Bius dibatalkan. Diputuskan memasang pemancar radio di lahan hutan yang bernama Rimba Raya. Rimba Raya terletak di dekat desa Ronga-Ronga, Kecamatan Timang Gajah, 62 km dari Bireun. Kawasan Rimba Raya yang lebat oleh hutan tusam hampir tak tertembus matahari, bahkan di waktu siang.
Menurut Kolonel (Purn.) Syarifuddin –salah seorang penyiar Radio Rimba Raya- dalam Kompas, 23 November 1996, pemancar radio ditempatkan di dalam jurang. Antenanya dipasang di atas pohon. Kabel penghubung pemancar dengan antena ditanam dalam tanah supaya tak digerogoti binatang liar. Tiang antena tak terbuat dari besi melainkan kayu yang dirakit dengan sistem katrol. Ketika deru mesin Mustang Belanda terdengar, antena segera diturunkan, dinaikkan kembali saat keadaan aman.
Pada 30 Januari 1948, Radio Rimba Raya mulai beroperasi.