Pungutan liar atau pungli menjadi sorotan publik setelah tim gabungan Mabes Polri dan Polda Metro Jaya, yang dipimpin Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian, melakukan operasi tangkap tangan di kantor Kementerian Perhubungan (Kemenhub), 11 Oktober 2016. Beberapa pegawai yang kedapatan melakukan pungli untuk pengurusan buku pelaut dan surat kapal ditangkap.
Menariknya, beberapa jam sebelumnya, Presiden Joko Widodo menggelar rapat terbatas yang antara lain membahas pemberantasan pungli. Usai rapat presiden mendapat laporan dari kapolri tentang operasi tangkap tangan tersebut. Presiden segera menuju kantor Kemenhub. Dalam konferensi pers, presiden menyatakan tak ada toleransi bagi pelaku pungli yang tertangkap.
Tak lama, pada 20 Oktober, presiden menandatangani Peraturan Presiden No. 87/2016 tentang Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar yang kemudian disebut Satgas Saber Pungli. Satgas ini menjalankan fungsi intelijen, pencegahan, penindakan, dan yustisi. Pengendali dan penanggungjawab Satgas adalah Menko Polhukam Wiranto. Sementara ketua pelaksanannya Inspektur Pengawasan Umum Polri Komisaris Jenderal Dwi Priyatno.
“Pungli adalah fenomena birokrasi mutakhir yang sebenarnya jejaknya sudah berlangsung sejak zaman dulu, sisa-sisa budaya patrimonial masa lalu,” ujar Adrianus Eliasta Meliala, anggota Ombudsman Republik Indonesia yang juga mengajar di Departemen Kriminologi Universitas Indonesia, kepada Historia.
Keberadaan Satgas Saber Pungli mengingatkan kita pada Operasi Tertib (Opstib) pada 1970-an.
Dari Pak Sidik hingga Operasi Tertib
Senin pagi, 15 Juli 1974. Ahmad Sidik, pegawai administrasi Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM), kena omel atasannya karena datang terlambat. M. Harta, sang atasan, mesti berangkat pagi-pagi untuk mengurus pencairan gaji karyawan RSCM di Kantor Bendahara Negara (KBN). Buru-buru mereka berangkat ke Kantor KBN di Jalan Ir. H. Djuanda.
Dalam perjalanan, Harta gelisah memikirkan cara berkelit dari permintaan kekurangan uang pelicin sebesar Rp 6.000 untuk oknum-oknum KBN. Sidik mencoba menenangkan atasannya dengan menunjukkan uangnya Rp 3.500 yang bisa dijadikan jaminan.
Benar saja, setiba di KBN, beberapa oknum langsung menagih uang pelicin kepada Harta dan Sidik. Tapi Sidik berusaha mengulur waktu. Tanpa dinyana, tiba-tiba datanglah rombongan Menteri Keuangan Ali Wardhana. Bersamaan dengan itu, Sidik membuka kopiahnya. Harta dan orang-orang di ruangan kaget begitu menyadari Sidik adalah Menteri Penertiban Aparatur Negara J.B. Sumarlin.
Cerita unik itu dicatat Bondan Winarno dalam buku J.B. Sumarlin: Cabe Rawit yang Lahir di Sawah. Tak hanya itu, Bondan Winarno juga mencatat beberapa aksi Sumarlin membongkar praktik pungli di beberapa instansi seperti Kantor Pajak Jakarta dan Kantor Imigrasi.
Baca juga: Penyamaran dan Integritas J.B. Sumarlin
Saat itu pungli menjadi penyakit yang lekat dengan birokrasi. Usaha memberangusnya bukan tak ada, tapi selalu menemui jalan buntu. Tim Walisongo salah satunya. Untuk pemberantasan korupsi, pemerintah pernah membentuk sebuah tim yang dikenal sebagai Komisi Empat pada 31 Januari 1970. Salah satu temuan menghebohkan adalah kasus Presiden Direktur Pertamina Ibnu Sutowo yang dicurigai memanfaatkan sebagian pendapatan perusahaan untuk tujuan politik. Ironisnya, tanpa alasan yang jelas, Komisi Empat dibubarkan pada Juni 1970. Publik kembali kecewa. Selain Komisi Empat, pemerintah juga membentuk Komisi Anti Korupsi (KAK). Namun, dua bulan setelah terbentuk, KAK dibubarkan.
Langkah yang “angin-anginan” itu membuat masyarakat gerah. Banyak kalangan, terutama mahasiswa, tak surut memprotes.
Guna memberangus pungli yang terlanjur menjamur dalam birokrasi, Presiden Soeharto mencanangkan satu progam yang dikenal sebagai Operasi Tertib (Opstib). Pada Juni 1977 Soeharto menunjuk Sumarlin sebagai koordinator Opstib. Opstib kemudian diperkuat dengan keluarnya Instruksi Presiden No. 9/1977 tertanggal 15 September 1977.
Secara kelembagaan, Opstib dibentuk di tingkat pusat dan daerah. Sumarlin ditunjuk untuk mengkoordinasi pelaksanaannya. Guna memperlancar, Kepala Staf Komando Operasi Keamanan dan Ketertiban (Kopkamtib) Laksamana TNI Sudomo membantu departemen atau lembaga untuk mengadakan penertiban secara operasional.
Sudomo langsung melakukan gebrakan. Pada Oktober 1977, dia bak seorang pahlawan ketika melakukan operasi kejutan di kantor Imigrasi, stasiun penimbangan truk, dan pasar-pasar untuk membongkar praktik pungli. Untuk menerima pengaduan dari masyarakat, Opstib membuka Kotak Pos 999. Sudomo mengatakan, dia telah menerima 1.763 surat untuk Opstib yang masuk melalui Kotak Pos 999.
“Sudomo menciptakan sebuah akronim baru pungli untuk pungutan liar dan secara khusus menargetkan Pelabuhan Tanjung Priok di Jakarta di mana sejumlah pejabat ditangkap dan beberapa dari mereka bahkan dipenjara,” tulis Bibhu Prasad Routray dalam “Articulations of Dissent in An Authoritarian Regime: A Case Study of Indonesia under The New Order, 1074-1985”, disertasi di Jawaharlal Nehru University tahun 2000.
Baca juga: Pemberantasan Korupsi Setengah Hati Rezim Orde Baru
Gebrakan awal Opstib sempat menimbulkan berbalas celetukan. Mulanya Ali Sadikin nyeletuk agar Opstib dimulai dari atas. Sehari kemudian Sudomo menjawab, “Dari bawah, sebab pungli (pungutan liar) di bawah banyak dirasakan oleh masyarakat luas.”
Lalu, sekitar dua bulan kemudian, Jenderal (purnawirawan) A.H. Nasution menyebut Opstib tanpa sistem dan konsepsi. Sudomo menanggapinya dengan keras tapi kemudian dia bertamu ke rumah Nasution di Jalan Teuku Umar, Jakarta. Di situ akhirnya Nasution memahami tekad Sudomo. “Keberanian dan tekad-bulat lebih penting dari segala macam konsepsi,” kata Nasution, dikutip Tempo, 1 Oktober 1977. “Karena itu saya berikan dukungan moril kepadanya.”
Opstib menargetkan operasinya dalam lingkup departemen, lembaga pemerintah nondepartemen, lembaga tinggi negara, Badan Usaha Milik Negara/Daerah, dan pemerintah daerah. Dalam Sidang Kabinet Paripurna tanggal 29 Desember 1977, Presiden Soeharto memberikan “petunjuk” tentang langkah penertiban aparatur. Dia menekankan Opstib harus dilanjutkan dan ditingkatkan.
“Dalam rangka Operasi Tertib agar menteri-menteri dan para pejabat yang berwenang tidak ragu-ragu mengambil tindakan tegas dan cepat apabila terjadi penyelewengan atau apabila melihat gejala penyelewengan di dalam lingkungannya,” ujarnya.
Pendadakan Dulu Koreksi Kemudian
Dalam uraian pada Raker Kepala Daerah Seluruh Indonesia pada 7 Februari 1978, yang diterbitkan dengan judul Pokok-pokok Operasi Tertib Aparatur Pemerintah di Tingkat Pusat dan Aparatur Pemerintah di Tingkat Daerah, Sumarlin menjelaskan bahwa staf Opstib secara aktif mengumpulkan data dan informasi atas kasus-kasus tertentu.
Sumarlin juga menjelaskan tahap-tahap Opstib. Tahap pertama fokus pada operasi kejutan. Tahap kedua memberikan kesempatan kepada inspektur jenderal di tingkat pusat dan daerah guna meningkatkan kemampuan pengawasan dan penertiban sistem organisasi, personalia, dan tatalaksana. Tahap ketiga, mengkoordinasikan hasil-hasil Opstib tahap pertama dan kedua guna memantapkan Opstib lebih lanjut.
“Bila Opstib menemukan penyimpangan tugas dan bukti-bukti pelanggaran hukum pidana, maka laporannya diserahkan ke Kepolisian atau Kejaksaan,” tulis Rizki Febari penelitian yang kemudian diterbitkan menjadi buku Politik Pemberantasan Korupsi: Strategi ICAC Hong Kong dan KPK Indonesia.
Salah satu institusi yang pertama disasar Opstib adalah pengadilan. Bondan Winarno mencatat, “dalam waktu relatif singkat, 15 hakim dari tingkat pengadilan negeri hingga pengadilan tinggi dari beberapa provinsi telah dijaring untuk diinterogasi oleh Opstib.”
Baca juga: Empat Kasus Korupsi Besar pada Awal Orde Baru
Dimulai dari pengadilan, lingkup kerja Opstib secara bertahap meluas ke institusi-institusi pemerintahan lain. Delapan bulan berjalan, Juni 1977 hingga Januari 1978, tercatat 927 penyimpangan di sejumlah departemen dalam bentuk kebocoran atau pemborosan keuangan negara, kompromi pajak dan bea cukai, komisi, suap atau pemerasan, imbalan jasa, pungli, dan lain-lain. Yang terbanyak terjadi di Departemen Dalam Negeri dengan 457 kasus penyimpangan.
Tindakan represif yang diambil berupa administratif hingga pidana. Selain itu, Sumarlin menyebut langkah-langkah lainnya. Misalnya, langkah penertiban atau penyempurnaan di bidang kelembagaan seperti reorganisasi Badan Koordinasi Penanaman Modal.
Dalam catatan Bondan Winarno, untuk periode yang sama, tercatat 2.116 pejabat dari seluruh provinsi dinyatakan terlibat dalam 1.290 kasus. “Dari jumlah itu, 1.755 orang dikenai sanksi administratif, 263 dikenai tindakan hukum, sisanya adalah orang-orang di luar departemen yang dikenai sanksi lain,” tulis Bondan. Selain itu Bondan mencatat lima bupati, tiga wali kota, satu sekretaris daerah, 34 camat, 24 jaksa, dan 19 kepala cabang bank plat merah “ditertibkan”.
Opstib berhenti beroperasi pada 1983. Menjelang akhir operasi Sumarlin mengungkapkan, selama periode 1977 hingga Oktober 1982, Opstib mengungkap 7.181 kasus yang melibatkan 10.485 oknum aparatur negara termasuk pegawai di perusahaan plat merah.
Kendati terlihat masif, tapi jika dibandingkan dengan jumlah aparatur negara secara keseluruhan capaian itu belum seberapa. “Jumlah itu meliputi 0,3 persen dari seluruh pegawai negeri/aparatur negara. Dari jumlah itu 9.285 dikenai tindakan administratif dari yang paling ringan berupa teguran lisan atau tertulis sampai paling berat berupa pemecatan,” tulis Soedjono Dirdjosisworo dalam Pungli: Analisa Hukum & Kriminologi.
Tak Efektif
Secara prinsip, tugas Satgas Saber Pungli tak berbeda jauh dari Opstib. Karenanya, Satgas semestinya berkaca pada Opstib. Tak terkecuali soal kelemahannya, terutama sifat operasinya yang sementara.
“Di era Soeharto ada beberapa upaya memberantas pungli, tapi ternyata tidak hilang-hilang juga. Karena upaya itu hanya sekali dan kemudian hilang sehingga efek yang diharapkan tidak terjadi. Seharusnya upaya seperti itu berkelanjutan,” ujar Adrianus Eliasta Meliala.
Hal senada disorot Rizki Febari. Menurutnya, lembaga ad hoc seperti Opstib lemah dalam aspek kontinuitasnya. Hal ini terjadi karena Opstib cenderung bekerja secara terpisah dari lembaga penegak hukum lain, yaitu kepolisian dan kejaksaan. Opstib juga tak memiliki intensi pada pembenahan secara sistemik.
“Opstib kurang memberi perhatian kepada upaya penertiban di bidang sistem organisasi dan administrasi yang dilakukan secara menyeluruh dan terus-menerus. Pelaksanaan Opstib juga belum terintegrasi dengan sistem lainnya,” tulis Rizki Febari.
Baca juga: Gerakan Melawan Korupsi dari Bandung dan Yogyakarta
Di mata masyarakat saat itu Opstib lebih dilihat sebagai “pemadam kebakaran” yang hanya menangani kasus-kasus besar dan menarik. Karenanya, upaya pemberantasan pungli hari ini tak cukup hanya bergantung pada pendekatan ad hoc semacam itu. Perlu ada pendekatan lain yang sifatnya berkelanjutan.
Hal itu juga menjadi sorotan Adrianus Eliasta Meliala. Menurutnya, ada dua pendekatan lagi yang mesti dilakukan untuk mendukung lembaga ad hoc semacam Satgas Saber Pungli. “Penegakan aturan sedang berlangsung, selanjutnya adalah mengupayakan penguatan integritas aparat. Inilah yang berat, karena secara statistik aparat berintegritas adalah minorotas,” ujarnya.
Yang tak kalah penting, memaksimalkan proses personalisasi pelayanan dengan sistem online. Pungli pada dasarnya suatu bentuk “dagang pengaruh” oleh aparat. Ini terjadi karena adanya interaksi antara aparat yang mencoba menawarkan wewenangnya atas birokrasi dan klien yang menginginkan jalan pintas birokrasi.
“Keberadaan Satgas Saber Pungli saya kira baik. Tapi pendekatan seperti itu tidak bisa terus dibuat galak. Itu sebabnya tiga pendekatan ini mesti singkron. Integritas aparatur negara juga mesti dibangun dan diperkuat. Ini memang bukan kerja instan, bisa multigenerasi,” ujar Meliala.