PENULIS Tere Liye memutuskan tidak menerbitkan lagi novel-novelnya di Gramedia dan Republika. Padahal, karya-karyanya laris manis sehingga royaltinya pun besar, tentu pajaknya juga tinggi. Keputusan itu diambilnya sebagai bentuk protes terhadap kebijakan pajak royalti penulis yang menurutnya tidak adil.
Menanggapi hal itu, Direktur Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo, mengatakan bahwa “pangkal masalahnya saya kira ada pada PPh Pasal 23 tentang royalti penulis buku yang dipotong 15% atas jumlah bruto. Saya setuju kalau hal ini memang kejam karena umumnya jatah royalti penulis itu 10% dari penjualan, cukup kecil.”
Prastowo sepakat bahwa pajak royalti untuk penulis sebaiknya diturunkan agar lebih adil dan membantu pendapatan penulis. Menurutnya pemberlakuan pajak royalti sudah dikenakan sejak 1984 melalui UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. “Saya belum mencatat di masa sebelumnya, tapi setidaknya sejak 1 Januari 1984 royalti menjadi objek pajak,” kata Prastowo.
Baca juga: Misteri Tiga Orang Kiri
Protes pajak penulis bukan terjadi kali ini saja. Pada 1950-an, Njoto, tokoh Partai Komunis Indonesia (PKI) menyinggung tentang pajak penulis dan seniman di hadapan mahasiswa Fakultas Teknik di Bandung.
Dalam ceramahnya berjudul “Utamakan Sektor Ekonomi Negara untuk Meringankan Pajak Rakyat” dimuat dalam Harian Rakjat, 27 Septemper 1956, Njoto menyebut beberapa nama penulis seperti Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani dan kawan-kawan berkali-kali mengeluh tentang pajak yang dikenakan. Mereka mengeluh tidak bisa dan tidak mungkin untuk membayar besaran pajak yang dibebankan. Njoto mencontohkan pemain film Sukarno M. Noer yang ditagih pajak Rp48.000.
“Bukankah semua ini membunuh daya cipta, membunuh kehidupan kesenian, membunuh kebudayaan? Semua ini adalah akibat dari keadaan bahwa pendapatan negara sebagian terbesar digantungkan dari pajak,” kata Njoto.
Baca juga: Ketika Sartre Mengirim Mesin Tik untuk Pram
Keluhan penulis dan seniman sejak tahun 1956 tampaknya belum direspons positif oleh pemerintah. Pramoedya Ananta Toer pun kemudian menulis protesnya terkait pajak dan sistem honorarium penulis.
“Setelah M. Yamin menjadi PPK (Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan) Kabinet Ali Sostroamidjojo I, honorarium Balai Pustaka menjadi semakin kecil sedangkan pajak yang dikenakan bisa mengakibatkan bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram dalam “Keadaan Sosial Para Pengarang Indonesia,” Star Weekly No. 576, 12 Januari 1957.
Besaran pajak yang dikenakan pada penulis apabila tidak bisa membuktikan penghasilannya dalam satu tahun dan bila honorarium yang dia terima tidak melampaui batas minimum adalah 15% atas honor yang diterima. Bila honorarium lebih dari batas minimum, maka besaran pajak yang dikenakan jauh lebih besar.
Baca juga: Pram Minta Karyanya Dikembalikan
“Pajak ini dikenakan sebagai pajak peralihan dalam setahun. Tidak peduli naskah ditulis selama dua atau lima tahun. Tidak mengherankan bila nafsu menulis roman yang tebal-tebal hanya berakibat bangkrutnya si pengarang,” tulis Pram.
Protes Pram masih berlanjut hingga 1960. Melalui akun media sosialnya, Dodit Sulaksono, pedagang buku, membagikan artikel tentang petisi para pengarang dan seniman. Dari cuplikan artikel di majalah Zaman Baru No. 5 tahun 1960 itu tertulis bahwa para pengarang dan seniman mengajukan petisi karena keberatan atas kenaikan pajak yang dibebankan pada mereka.
Para pengarang dan seniman terkemuka yang menandatangani petisi itu adalah Pramoedya Ananta Toer, Utuy Tatang Sontani, Boejoeng Saleh, Gayus Siagian, Sitor Situmorang, dan kawan-kawannya yang jumlahnya mencapai 48 orang.*