SETELAH sempat dihentikan penayangannya semenjak September 1998, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo memerintahkan agar film Pengkhianatan G30S/PKI besutan sutradara Arifin C. Noer kembali diputar di berbagai tangsi militer dan sekolah-sekolah di Indonesia. Gagasan tersebut memicu kontroversi, bukan hanya karena persoalan akurasi sejarahnya, melainkan pula karena komentar eksentrik panglima atas pro-kontra pemutaran film itu: “Emang gue pikirin?!”
Baca juga: Kekecewaan Arifin C. Noer, sutradara film Pengkhianatan G30S/PKI
Melalui telegram nomor ST/1192/2017, panglima menyebutkan dasar pemutaran film itu merupakan bentuk “kewaspadaan terhadap bakal maraknya pemutaran film The Look of Silence, diskusi tragedi 1965 dan kegiatan propaganda pemutarbalikan sejarah.” Telegram yang sama juga menyebutkan bahwa pemutaran film tersebut untuk “mengingatkan kembali peristiwa pemberontakan G30S/PKI tahun 1965, khususnya bagi generasi muda yang tidak mengerti tentang PKI dan bahaya latennya.”
Pertanyaannya, seberapa efektifkah film tersebut menggalang solidaritas anti-komunis di kalangan generasi muda zaman milenial ini? Mampukah film tersebut meraih sukses untuk merawat trauma massa atas komunisme dan melanggengkan hegemoni ingatan penguasa atas warganya sebagaimana yang pernah terjadi di masa pemerintahan Soeharto?
Tidak sebagaimana umumnya produksi film lainnya, film dokudrama Pengkhianatan G30S/PKI ini dibuat bukan untuk hiburan. Itu bisa dilihat dari rangkaian kisah pembuatannya. Naskah skenario ditulis berdasarkan buku Tragedi Nasional Percobaan Kup G 30 S/PKI di Indonesia karya sejarawan Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh. Nugroho Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (1983-1985) yang identik dengan desain penulisan sejarah Orde Baru yang menempatkan Soeharto sebagai tokoh sentralnya, sedangkan Ismail Saleh kala itu menjabat sebagai Jaksa Agung (1981-1984).
Baca juga: Orang-orang di balik penghentian penayangan film Pengkhianatan G30S/PKI
Produksi film berbiaya Rp. 800 juta itu dilakukan oleh Pusat Produksi Film Negara (PPFN) yang dipimpin Brigjen. G. Dwipayana sekaligus staff kepresidenan Soeharto. Sulit untuk tidak mengatakan film tersebut sebagai propaganda politik pemerintah Soeharto, karena pemutaran serentak di berbagai bioskop diiringi kewajiban menonton bagi semua murid sekolah di tengah jam pelajaran.
Film berdurasi selama 271 menit (3,5 jam) itu mengisahkan latar belakang krisis ekonomi masa Sukarno dan konflik ideologis di tingkat akar rumput. Dilanjut oleh situasi politik nasional yang diwarnai isu sakitnya Presiden Sukarno dan gerakan PKI mempersiapkan kudeta dengan menggunakan sekelompok tentara yang berpikiran maju untuk menjalankan aksinya. Puncak ketegangan terjadi pada adegan penculikan dan penyiksaan para jenderal di Lubang Buaya disertai tarian “Harum Bunga” anggota Gerwani dan Pemuda Rakyat. Film berakhir pada situasi iring-iringan pemakamanan para jenderal yang disertai pidato Jenderal AH. Nasution.
Konteks Kemunculan Film
Era 1980-an adalah masa puncak kekuasaan Soeharto. “Dalam banyak hal,” demikian sejarawan MC. Ricklefs dalam Sejarah Modern Indonesia, “Soeharto dan struktur pemerintannya tampak tak tertandingi.” Duapuluh tahun pertama sejak Soeharto berhasil menggantikan Sukarno, kekuasaannya berhasil melakukan konsolidasi di berbagai bidang sehingga mengukuhkan posisi kunci sebagai pusat dari segala macam pengambilan keputusan di republik ini.
Kepemimpinan militer dan birokrasi ditempati oleh orang-orang setianya. Para pengikut lama yang dinilai tak setia satu per satu digeser keluar dari lingkaran inti kekuasan. Ali Moertopo, satu dari sekian jenderal terdekat Soeharto dicampakkan begitu saja setelah bergelagat menentangnya. Kepala daerah di berbagai provinsi dan kabupaten harus mendapat restu dari presiden sebelum dilantik berkuasa di daerahnya masing-masing.
Di bidang politik, konsolidasi kekuasaan Soeharto telah rampung setelah proyek fusi partai sukses dilakukan pada 1973. Semenjak itu hanya ada tiga peserta Pemilu yang terdiri dari dua partai politik (PDI dan PPP) serta satu Golongan Karya sebagai mesin politik penguasa. Perolehan suara Golkar hampir selalu di atas 60 persen dengan hasil akhir memilih Soeharto sebagai presiden.
Baca juga: Mengapa anak Pahlawan Revolusi kecewa dengan film Pengkhianatan G30S/PKI?
Namun demikian, di era puncak itu pula cahaya kekuasaan Orde Baru justru memulai masa redupnya. Sebagai figur penguasa yang memulai masa kekuasaannya dari krisis politik 1965, Soeharto mendapat mandat kekuasaan dari citra yang dibangun sebagai penyelamat bangsa dan negara dari ancaman komunisme. Pemilihan umum diselenggarakan sebagai hajat rutin lima tahunan dengan hasil yang selalu bisa ditebak, ketimbang pesta demokrasi yang memberikan peluang sirkulasi kekuasaan baru.
Pada era yang sama pemerintahan Soeharto mengundang banyak kritik bahkan perlawanan dari kelompok oposisi. Kendati selalu berakhir dengan kemenangan Soeharto, protes makin marak seiring represifnya rezim terhadap kritik oposisi. Beberapa kelompok penentang muncul ke permukaan, antara lain Petisi 50 yang terdiri dari gabungan pensiunan jenderal dan aktivis penentang Soeharto.
Kelompok Islam politik pun menunjukkan taringnya menentang pemerintahan Soeharto yang dipersepsikan anti-Islam. Citra itu muncul setelah pemerintah menindak keras sejumlah demonstran dalam insiden Tanjung Priok 1984. Ratusan orang terluka dan puluhan lainnya tewas, termasuk Amir Biki pemimpin demonstran.
Sementara itu situasi dunia pada era 1980 pun dipengaruhi Perang Dingin antara Amerika Serikat (blok barat) dengan Uni Soviet (blok timur). Dampak perang tanding kapitalisme dengan komunisme masih menjadi ancaman kawasan sebagaimana doktrin Truman yang dirumuskan sejak era awal Perang Dingin 1947.
Baca juga: Tujuh pemeran film Pengkhianatan G30S/PKI
Di dalam negeri, isu komunisme selalu jadi menu utama kewaspadaan rezim Soeharto sebagai penguasa yang mencitrakan diri sebagai musuh terbesar kaum kiri itu. Dan kekhawatiran itu kian memuncak ketika pada 1979 seluruh tahanan politik Pulau Buru dibebaskan atas desakan internasional.
Kekuasaan yang kuat secara politik karena dukungan mesin birokrasi dan militer ternyata ringkih secara historis. Ia muncul bukan dari mandat konstituen hasil proses demokrasi yang terbuka dan jujur. Sehingga merawat ingatan atas asal-usul kemunculan kuasa Soeharto melalui pabrikasi kisah sejarah menjadi sangat penting. Orde Baru butuh musuh bersama dan yang paling bebuyutan adalah PKI.
Maka film Pengkhianatan G30S/PKI dibuat dalam rangka itu. Pertama, ia berfungsi sebagai medium untuk merawat trauma massa atas kekejian PKI sebagaimana telah disiarkan selama bertahun-tahun melalui media cetak yang berafiliasi kepada Angkatan Darat segera setelah mayat para jenderal ditemukan di Lubang Buaya, 3 Oktober 1965. Kedua, bagian dari hegemoni penguasa atas ingatan kolektif. Ketiga, bertujuan melegitimasi kekuasaan Soeharto sebagai penyelamat bangsa dari kebangkrutan nasional akibat sepak terjang gerakan komunis.
Baca juga: Sejak awal berkuasa, militer memahami kekuatan film sebagai alat propaganda
Pada masanya, propaganda tersebut berhasil menyeragamkan ingatan massa atas sejarah tafsiran penguasa. Itu dimungkinkan karena pemerintah membatasi kebebasan berpendapat. Arus informasi pun datang melalui media massa yang masih terbatas dan sepenuhnya di bawah kontrol kekuasaan. Generasi muda masa itu tak punya pilihan lain kecuali menonton dan menyimpan ingatan adegan demi adegannya sebagai dendam serta trauma.
Hasilnya adalah dukungan terhadap pemerintah Soeharto sebagai penguasa yang sah, menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, membebaskan negeri dari ancaman komunisme yang biadab dan keji. Dalam soal ini, film Pengkhianatan G30S/PKI telah memenuhi fungsinya sebagai film propaganda.
Tapi kini mungkin lain lagi ceritanya. Tak seperti generasi pendahulu yang pasrah menerima satu versi sejarah, generasi terkini punya akses internet yang bisa menyediakan berbagai informasi yang mereka inginkan. Sekarang abad 21, bukan abad 20, saat di mana film Pengkhianatan G30S/PKI hanya diputar di bioskop lantas setahun sekali di TV tanpa pernah terdengar kritik terbuka atas film tersebut. Film yang sama kini bisa diakses melalui Youtube dan artikel ulasan kritis mengenainya bisa didapat melalui google.
Baca juga: Film Pengkhianatan G30S/PKI dan fakta sejarah
Itikad propaganda masa Orde Baru tentu tak bisa diberlakukan di era sekarang. Meniru hal yang sama dengan Orde Baru melalui pemutaran film Pengkhianatan G30S/PKI belum tentu sepenuhnya mendapatkan hasil yang sama. Alih-alih memetik pelajaran sejarah, film tersebut berpotensi mewariskan dendam serta stigmatisasi berkepanjangan terhadap terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota, simpatisan, bahkan keluarga PKI.
Rangkaian panjang huru-hara politik peralihan Sukarno ke Soeharto tak cukup terwakili oleh film yang hanya mengisahkan pembunuhan enam perwira tinggi dan satu perwira pertama Angkatan Darat itu. Padahal peristiwa pembunuhan jenderal juga diikuti tindakan persekusi massal dan genosida politik 1965-1966 terhadap ribuan anggota dan simpatisan PKI di berbagai daerah.
Kedua episode berdarah dalam sejarah itu seyogianya diketahui generasi muda milenial sehingga mereka tak mewarisi beban ingatan yang sarat trauma dan dendam dari generasi sebelumnya. Film-film dokumenter seperti Jagal, Senyap dan Shadow Play mestinya tidak dituduh sebagai upaya pemutarbalikan sejarah tapi justru ikhtiar melengkapi narasi sejarah yang selama ini terpenggal dan tersembunyi.
Baca juga: Ariel Heryanto membahas film The Act of Killing atau Jagal