Pemerintah Republik Indonesia mengecam keras tindakan kekerasan yang diambil aparat keamanan Israel terhadap warga Palestina di Kompleks Masjid Al-Aqsa pada 15 April 2022 lalu. Melalui akun Twitter-nya, Kemenlu mendesak dihentikannya tindak kekerasan terhadap warga yang menimbulkan korban lebih dari 150 orang luka-luka itu.
“Tindakan kekerasan terhadap warga sipil tersebut tidak dapat dibenarkan dan harus segera dihentikan, apalagi dilakukan di tempat ibadah Masjid Al-Aqsa di bulan suci Ramadan,” demikian bunyi pernyataan Kemlu RI dalam cuitannya di @Kemlu_RI, sebagaimana diberitakan detik.com, 17 April 2022.
Kekerasan terhadap warga sipil Palestina oleh aparat Israel telah mewarnai sejarah Israel bahkan sejak negeri itu belum berdiri. Penduduk desa Beir Yassin mengalaminya lebih dari 70 tahun silam.
**
Pada 10 April 1948, Hind Al Husseini, koordinator Arab Women’s Union, keluar dari apartemennya di Suq al-Haman, Yerusalem Timur begitu keadaan dianggapnya aman. Dia ingin mengetahui keadaan lantaran pada 9 April mengurung diri seharian di apartemennya sambil diliputi kebingungan akibat pemberitaan radio Arab yang didengarnya terus memberitakan pembantaian di sebuah desa berpenduduk Arab di pinggiran Yerusalem oleh Zionis (Yahudi pendatang dari Eropa tengah dan timur).
Namun, belum jauh kakinya melangkah, di sebuah pojok dekat apartemennya dia dikagetkan oleh pemandangan mengerikan. Beberapa bocah berlumuran darah sedang meringkuk kedinginan di dinding bangunan-bangunan. Penasaran, Hind langsung mendekati bocah-bocah itu dan bertanya apa yang terjadi pada mereka. Tiada jawaban, Hind hanya mendapat pemandangan bocah-bocah dengan mata terbelalak ketakutan dan penuh kecurigaan. Hind lalu mendekati dua bocah termuda yang amat ingin ditolongnya. Ke telinga dua bocah itu dia membisikkan agar mengikutinya ke apartemen. Upayanya berhasil.
Dua bocah lusuh yang kedinginan itu pun mengikuti Hind –yang juga berbicara dengan bahasa Arab– berjalan ke apartemennya. Sambutan hangat mereka terima dari Hind di apartemen. Mereka digendong dan ditidurkan di ranjang, diselimuti, kemudian dimandikan dengan air hangat.
Perlakuan hangat Hind membuat rasa takut kedua bocah perlahan hilang berganti perasaan nyaman. Suasana hati itu membuat Mohammed, bocah yang lebih tua di antara kedua bocah, berani buka mulut. Mohammed menerangkan bahwa dirinya dan bocah satunya –juga bocah-bocah lain yang ditemukan Hind di jalan dekat apartemen– merupakan penyintas dari pembantaian yang dilakukan milisi-milisi Zionis kepada penduduk desanya, Deir Yassin.
“Apa yang terjadi di Deir Yassin, bukanlah pertempuran; itu benar-benar pembantaian,” tulis Daniel McGowan, profesor emeritus di Hobart and William Smith Colleges cum direktur eksekutif organisasi Deir Yassin Remembered, dalam “Deir Yassin Remembered”, dimuat di dalam buku yang diedit McGowan dan March H. Ellis, Remembering Deir Yassin: The Future of Israel and Palestine.
Sejak awal 1920-an, bentrokan kerap terjadi antara penduduk Arab melawan penduduk Zionis di Palestina yang masih wilayah mandatori Inggris. Perebutan tanah menjadi pangkal permasalahannya.
Zionis merupakan orang Yahudi yang menganut Zionisme, gerakan kebangkitan nasional Yahudi yang muncul pada akhir 1880-an di Eropa tengah dan timur. Zionisme muncul didorong oleh meningkatnya tekanan pada orang-orang Yahudi di kedua wilayah tersebut. Pada awal abad ke-20, mayoritas pemimpin gerakan Zionis mengaitkan kebangkitan nasonal ini dengan penjajahan Palestina.
Baca juga: Theodor Herzl, Orang di Balik Negeri Zionis
“Eretz Israel, nama Palestina dalam agama Yahudi, telah dihormati selama berabad-abad oleh generasi-bergenerasi Yahudi sebagai tempat ziarah suci, tidak pernah sebagai negara sekuler masa depan. Tradisi dan agama Yahudi dengan jelas menginstruksikan orang Yahudi untuk menunggu kedatangan Mesias yang dijanjikan pada ‘akhir zaman’ sebelum mereka dapat kembali ke Eretz Israel sebagai bangsa yang berdaulat dalam teokrasi Yahudi, yaitu sebagai hamba-hamba Tuhan yang taat (ini mengapa saat ini beberapa aliran Yahudi Ultra-Ortodoks adalah non atau anti-Zionis). Dengan kata lain, Zionisme mensekularisasikan dan menasionalisasikan Yudaisme. Untuk mewujudkan proyek mereka, para pemikir Zionis mengklaim wilayah alkitabiah dan menciptakannya kembali, bahkan menemukannya kembali, sebagai tempat lahir gerakan nasionalis baru mereka. Seperti yang mereka lihat, Palestina diduduki oleh ‘orang asing’ dan harus diambil alih. ‘Orang asing’ di sini berarti semua orang non-Yahudi yang telah tinggal di Palestina sejak zaman Romawi. Faktanya, bagi banyak Zionis, Palestina bahkan bukan tanah yang ‘diduduki’ ketika mereka pertama kali tiba di sana tahun 1882, melainkan tanah yang ‘kosong’. Tidak ada, baik karang maupun orang Palestina, yang menghalangi ‘penebusan’ nasional tanah yang didambakan gerakan Zionis,” ujar sejarawan Israel Ilan Pappe dalam The Ethnic Cleansing of Palestine.
Kondisi Palestina makin "panas" setelah Inggris mendukung Zionisme yang secara resmi dikeluarkan lewat Deklarasi Balfour yang –dikeluarkan Menlu Inggris Arthur Balfour pada 2 November 1917– gamblang mendukung upaya pendirian “rumah nasional” bagi orang-orang Yahudi di Palestina yang kala itu merupakan bagian dari Turki Usmani. Ketika Inggris berkuasa atas Palestina, dukungan itu diwujudkan dalam bentuk kebijakan pintu terbuka, yang memungkinkan masuknya imigran Yahudi dari manapun, dan izin pembelian tanah untuk “rumah nasional” Yahudi. Alhasil Yahudi imigran yang ekspansif terus bertumbuh dan perlahan menggerus tanah-tanah penduduk Arab.
“Saat Menteri Luar Negeri Inggris Lord Balfour pada tahun 1917 memberi gerakan Zionis janji untuk mendirikan rumah nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina, dia membuka pintu bagi konflik tak berujung yang akan segera melanda negara dan rakyatnya. Hingga pendudukan Palestina oleh Inggris pada 1918, Zionisme merupakan perpaduan antara ideologi nasionalis dan praktik kolonialis. Bukti sejarah menunjukkan bahwa pada suatu waktu antara tahun 1905 dan 1910, beberapa pemimpin Palestina membahas Zionisme sebagai gerakan politik yang bertujuan untuk membeli tanah, aset dan kekuasaan di Palestina, meskipun potensi destruktif tidak sepenuhnya dipahami pada periode itu,” sambung Pappe.
Begitu Zionis membesar di Palestina-Inggris, orang-orang Arab sebagai mayoritas mulai terancam. Konflik pun mengikuti. Keadaan makin parah karena Inggris tidak memenuhi janjinya untuk menerapkan kesetaraan –yang diterima komunitas Arab sebagai ganti kerelaannya meninggalkan demokrasi mayoritas– pada warga Arab dan Zionis. Akibatnya, pada 1929 warga Arab melancarkan pemberontakan. Kendati pemberontakan lebih besar pecah tujuh tahun kemudian (Revolusi Arab 1936), otoritas Inggris tetap dengan kecenderungannya mendukung Zionis.
Baca juga: Israel Akui Kedaulatan Indonesia
Pecahnya Perang Dunia II menjadi masa “damai” Arab dan Zionis di Palestina lantaran masing-masing masuk ke dalam dinas militer Inggris melawan negara-negara Axis. Sementara Arab-Palestina sudah kehilangan milisi yang dibubarkan dan pimpinan yang diasingkan usai Revolusi 1936, Zionis memanfaatkan masa “damai” untuk mempersiapkan diri. Pada 1942, lebih dari 500 delegasi Yahudi dari berbagai penjuru dunia duduk bareng di Biltmore Hotel, New York, menghadiri Konferensi Zionisme.
“Konferensi tersebut mengadopsi delapan resolusi kunci yang kemudian diratifikasi oleh Dewan Umum Zionis di Palestina. Ini termasuk seruan untuk segera menerapkan 'tujuan awal' Deklarasi Balfour, penolakan penuh terhadap Buku Putih Inggris tahun 1939, dan meningkatkan imigrasi tidak terbatas Yahudi ke Palestina. Terlepas dari beberapa perbedaan pendapat internal, sering kali didasarkan pada dukungan untuk resolusi dua negara dengan orang-orang Arab Palestina, Program Biltmore dengan cepat diterima sebagai platform gerakan Zionis,” tulis Kylie Baxter dan Shahram Akbarzadeh dalam US Foreign Policy in the Middle East: The Roots of Anti-Americanism.
Usai perang, hubungan Arab dan Zionis di Palestina kembali memanas. Zionis kian semangat mewujudkan ambisinya setelah Inggris melepaskan Mandatory Palestina dan menyerahkannya kepada PBB pada Februari 1947. Akibat perbedaan penerimaan terhadap keputusan PBB yang menerapkan pembagian Palestina, Arab dan Zionis kembali perang pada November 1947. Kemenangan pada pertempuran Januari 1948 mendorong Zionis mengubah taktik menjadi semakin agresif. Hasilnya, Plan Dalet (Plan D) yang dibuat Haganah –milisi utama Zionis yang kemudian dinasionalisasi menjadi Angkatan Bersenjata Israel– diadopsi pada Maret 1948.
“Plan Dalet, juga dikenal sebagai Rencana D, adalah operasi militer Zionis yang sangat diperebutkan pada periode pra-negara. Bagi Zionis, Rencana D adalah tindakan pertahanan agresif yang bertujuan untuk mengamankan wilayah yang dialokasikan untuk orang-orang Yahudi di bawah Resolusi 181. Orang-orang Arab mengidentifikasi Rencana D sebagai upaya Zionis untuk mengambil alih tanah mereka. Tujuan dari Rencana D termasuk penaklukan desa-desa Arab, sebuah taktik yang sebelumnya tidak pernah dicoba oleh Haganah. Akar krisis pengungsi Palestina dapat ditelusuri kembali ke periode ini, sebelum perang Mei 1948,” sambung Kylie & Shahram.
Berbekal Plan D, Zionis bertindak agresif mewujudkan pendirian “Rumah nasional Yahudi”-nya.
“Secara militer dan politik, Zionis jauh lebih siap daripada orang Arab. Para pejuang Yahudi melebihi jumlah milisi Arab. Mereka telah dilatih Inggris, dan banyak yang memiliki pengalaman militer melawan Nazi. Orang-orang Yahudi dipersenjatai dengan lebih baik, disiplin, bermotivasi tinggi, dan berjuang untuk negara yang hampir siap untuk dilahirkan. Haganah memiliki sekitar 35.000 anggota, termasuk lebih dari 3.000 tentara dalam pasukan penyerang elitnya, Palmach; Irgun sekitar 3.000, dan Lehi beberapa ratus. Perpecahan antara kebijakan penahanan Haganah, dan penggunaan serangan pendahuluan oleh Irgun dan Lehi telah berakhir. Serangan sekarang menjadi bentuk pertahanan terbaik. Auschwitz telah dibebaskan tiga tahun sebelumnya; Orang Yahudi tidak akan pernah lagi mengikuti perintah untuk berjalan menuju kematian mereka,” tulis jurnalis asal Inggris Adam LeBor dalam City of Oranges: Arabs and Jews in Jaffa.
Baca juga: Sikap KAA pada Konflik Israel-Palestina
Pada dini hari Jumat, 9 April 1948, sebanyak 130 personel komando Irgun –sempalan dari Haganah– dan Lehi –yang dikenal sebagai Gang Stern, milisi yang menolak bertugas di Batalyon Yahudi Inggris semasa Perang Dunia II melawan Axis– menyerang Desa Deir Yassin. Kendati desa tersebut memiliki reputasi damai dengan desa-desa tetangganya yang berpenduduk Yahudi dan terletak di luar batas wilayah yang ditetapkan PBB untuk negara Yahudi kelak, letak strategis desa itu antara Tel Aviv dan Yerusalem membuat Zionis menargetkannya untuk direbut.
Kendati menang jumlah dan persenjataan serta organisasi rapi, pasukan Zionis mendapat perlawanan gigih dari para penjaga desa Arab yang hanya bersenjatakan senapan tua. Bahkan, pasukan Zionis yang kebingungan sampai menghentikan serangan sesaat ketika pagi. Mereka baru bisa merebut Deir Yassin pada tengah hari setelah meminta bantuan Palmach –pasukan elit Haganah– yang kemudian menghujani desa dengan mortir.
Berbeda dari para personel Palmach yang langsung pergi usai merebut Deir Yassin, para personel Irgun dan Lehi langsung memasuki desa dan memberondong serta melempar granat untuk membalaskan dendam empat rekan mereka yang tewas dan 36 luka-luka dalam kontak senjata sebelumnya. Dari rumah-rumah penduduk mereka menggelandang keluar orang-orang di dalamnya tak peduli lelaki, perempuan, ataupun anak-anak, dan membariskan mereka ke sebuah dinding; beberapa yang lain dinaikkan ke truk-truk yang telah disiapkan.
Ibu-ibu yang terbangun langsung mengenakan pakaian seadanya dan langsung mengajak anak-anak atau orang tua mereka untuk mengungsi. Yang tidak, terpaksa tinggal di rumah menghadapi kemungkinan terburuk yang akan tiba.
Mohammed, bocah yang diadopsi Hind Husseini, bersembunyi ke kolong dipan orangtuanya ketika para teroris memasuki rumahnya. Dari kolong dipan itulah dia melihat saudara dan saudari kandungnya terjatuh tak bernyawa dibunuh para agresor. Muhammed yang beruntung tidak diketahui keberadaannya oleh para penyerang terus bersembunyi di kolong dipan.
“Sepanjang sisa hari dan malam, anak laki-laki kecil itu telah mendengar erangan dan tangisan, tembakan senjata, derit ban, dan teriakan serak aneh dari para penyusup. Saat fajar, mayat-mayat yang tergeletak di rumahnya ditarik keluar. Ketika dia melihat tubuh ibunya yang tak bernyawa diseret tumitnya seperti sekarung gandum, isak tangis keluar dari tenggorokannya. Seorang teroris menuju bawah tempat tidur, menyentuhnya, menariknya dari tempat persembunyiannya, dan dengan kasar mengantarnya ke sebuah truk di mana beberapa anak lain saling berpegangan,” tulis Pat McDonnell Twair dalam “The Surviving Children of Deir Yassin” yang dimuat di buku Remembering Deir Yassin: The Future of Israel and Palestine.
Di truk yang membawanya menuju kota, Mohammed bertemu dengan Thoraya, gadis delapan tahun yang berdarah. Thoraya bisa selamat dari pembantaian di rumahnya lantaran tubuhnya selalu terlindungi tubuh bibi-bibinya yang berupaya keras menyembunyikannya. Thoraya melihat tak lama setelah bibi-bibinya roboh tak bernyawa di tangan para Zionis, gelang dan anting-anting mereka langsung dilucuti oleh para agresor.
Pasukan Zionis tidak hanya membunuh, tapi juga menjarah isi rumah. Bukan hanya Thoraya yang mengalaminya, Mohammed pun sama. Para Zionis yang masuk ke rumah Mohammed menguras isi rumah, bahkan mengambil pakaian dan sepatu dari kolong dipan tempatnya bersembunyi. Penjarahan merupakan pemandangan umum dalam penyerangan ke Deir Yassin.
“Para perempuan juga mengalami gelang mereka lepas dari lengan dan cincin dari jari-jari mereka dan bagian dari telinga beberapa perempuan dipotong untuk melepaskan anting-antingnya,” kata Richard Catling, wakil ketua Criminal Investigation Department (CID), dalam testimoninya usai menginterogasi para penyintas, dimuat www.deiryassin.org.
Thoraya pun sebelum diangkut truk tempatnya berkenalan dengan Mohammed, ditemukan oleh salah seorang teroris yang kembali ke rumahnya untuk memastikan semua perhiasan telah diambil.
Mohammed Jaber, bocah lain di desa itu, juga mengalami kengerian serupa. Dari kolong tempat tidur tempatnya bersembunyi dia menyaksikan keberingasan pasukan Irgun-Lehi.
“Orang-orang Yahudi mendobrak masuk, mengusir semua orang keluar, menempelkan mereka ke dinding dan menembak mereka. Salah seorang perempuan itu menggendong bayi berusia tiga bulan,” ujarnya, dikutip Sheila Cassidy dalam artikelnya buku yang sama, “Assault dan Massacre”.
Pemberondongan itu juga disaksikan pemuda desa bernama Jamil Ahmed lantaran lokasinya dekat rumahnya. Jamil yang ikut angkat senjata mempertahankan desa melihat dua saudara dan beberapa temannya tewas mengenaskan dalam pemberondongan itu.
“Mereka (para Zionis, red.) membawa mereka sebagai tawanan, mengangkat tangan, dan membawa mereka ke tepi desa dekat rumah saya dan menyemprot mereka dengan tembakan. Seorang pria tunanetra juga ditembak seperti itu. Seorang anak, tujuh tahun, juga dibunuh dengan cara itu. Lainnya perempuan ditawan dan dimasukkan ke dalam truk. Saya berada di rumah, mengambil senjata, mempertahankan desa. Itu adalah senapan tua dari Perang Dunia I, Inggris,” ujarnya.
Kengerian yang dialami penduduk desa belum berakhir. Sahliya, perempuan yang sedang hamil tua, menjadi salah satu korbannya.
“Haleem Eid melihat saudarinya Sahliya tertembak di leher. Sahliya sedang hamil sembilan bulan. Pembunuhnya memotong perut perempuan mati itu dengan pisau daging. Perempuan lain, Aiecha Radwas, ditembak saat dia mencoba menyelamatkan bayinya.”
Baca juga: Ketika Sekolah Dasar di Mesir Hancur oleh Bombardir AU Israel
Perempuan merupakan pihak paling banyak dirugikan. Selain diincar perhiasannya, tubuh perempuan juga dijadikan sasaran tersendiri para agresor.
“Tidak dapat dipungkiri bahwa banyak kekejaman seksual dilakukan orang-orang Yahudi penyerang. Banyak gadis usia sekolah diperkosa lalu disembelih. Perempuan tua juga dianiaya. Banyak bayi juga dibantai dan dibunuh. Saya juga melihat seorang perempuan tua...yang telah disiksa dengan kejam, dipukuli kepalanya dengan popor senapan,” ujar Richard Catling dari CID yang ikut mengonterogasi dan merekam pernyataan para penyintas.
Pembantaian Deir Yassin membuat komunitas Arab meminta perwakilan Palang Merah Internasional Jecques de Reynier agar mengamati langsung keadaan Deir Yassin. Saat Jacques tiba, operasi pembersihan masih dilakukan para personel Irgun. Setelah keluar-masuk beberapa rumah, Jacques menemukan satu-satunya penduduk yang tersisa, yakni seorang gadis enam tahun dan seorang nenek serta seorang pria sekarat. Jacques segera mengatur kedatangan ambulan dan beberapa saat kemudian berhasil membawa mereka ke rumah sakit.
Kebiadaban itu disiarkan radio Arab selama beberapa waktu, yang justru menakutkan penduduk sehingga memicu eksodus 700 ribu Arab-Palestina. Kendati siaran itu juga memicu kritikan dan kutukan terhadap para pemimpin Zionis, proyek “Rumah nasional” Yahudi tetap berjalan di Palestina. Pada September tahun itu juga Deir Yassin telah menjadi rumah bagi imigran Yahudi asal Polandia, Rumania, dan Slowakia.
“Dan peristiwa tunggal ini (Pembantaian Deir Yassin, red.) adalah salah satu yang paling penting dalam sejarah Palestina dan Israel abad kedua puluh, bukan karena ukuran atau kebrutalannya, tetapi karena itu menandai dimulainya depopulasi lebih dari 400 desa dan kota Arab dan pengusiran lebih dari 700.000 penduduk Palestina guna memberi ruang bagi para korban Holocaust dan orang-orang Yahudi lain dari seluruh dunia. Kisah Deir Yassin adalah kisah perjuangan dua bangsa untuk tanah yang sama. Meskipun mayoritas sarjana tidak lagi percaya Israel adalah ‘tanah tanpa orang untuk orang tanpa tanah’, banyak orang mempercayai mitos itu hingga kini. Menghidupkan kembali ingatan Deir Yassin berfungsi untuk menghilangkan propaganda ini. Orang-orang Palestina dirampas pada 1948 dan terus dirampas sampai hari ini atas nama pembangunan negara Yahudi yang terus berkembang. Jika hak Yahudi atas properti yang disita selama Holocaust di Eropa adalah sah, mengapa klaim restitusi properti Palestina di Deir Yassin dan semua kota dan desa lain tidak sah?” tulis Daniel McGowan.