Desember 1949. Menteri Luar Negeri Republik Indonesia Mohammad Hatta menerima telegram dari Menteri Luar Negeri Uni Soviet Andrei Vyshinsky. Bunyinya: “Atas nama pemerintah Uni Soviet, saya dengan hormat menginformasikan kepada Anda, sejak pengakuan kedaulatan Republik Indonesia pada 27 Desember 1949 di Den Haag, Belanda, pemerintah Uni Soviet memutuskan mengakui kedaulatan dan kemerdekaan Republik Indonesia dan akan membangun hubungan diplomatik dengan Indonesia.”
Pada 3 Februari 1950, Hatta memberi balasan kepada pemerintah Uni Soviet. Ia mengatakan bahwa pemerintah Indonesia telah menerima keputusan pengakuan dari Uni Soviet dan merencanakan hubungan diplomatik dengan negara yang wilayah mencakup Asia dan Eropa tersebut. Saling berbalas telegram itu merupakan bukti hubungan diplomatik kedua negara secara resmi.
Baca juga: Perjanjian Diplomatik yang Dilupakan
Namun jika dilihat ke belakang, hubungan Indonesia dengan Uni Soviet sebenarnya telah dirintis sejak 1947. Melalui seorang tokoh muda komunis bernama Suripno, Indonesia telah lama mengincar pengakuan politik negara adidaya ini. Meski hubungan yang dijalin saat itu tidak mendapat pengakuan resmi pemerintah, bahkan terkesan ditutupi dari pemberitaan di dalam negeri.
Diplomasi Rahasia
Pertengahan 1947, Suripno meninggalkan Indonesia untuk menghadiri kegiatan kongres pemuda sedunia, World Federation of Democratic Youth (WFDY). Slamet Muljana dalam Kesadaran Nasional: Dari Kolonialisme sampai Kemerdekaan, menyebut jika Suripno mulai menetap di Praha begitu kongres selesai. Ia ditunjuk oleh Menteri Luar Negeri Agus Salim sebagai wakil Indonesia di Eropa Timur. Ia diberi wewenang menjalin hubungan dengan pemerintah Uni Soviet.
Sementara menurut berita Pelita Rakjat, 3 Juni 1948, mandat yang dibawa Suripno di Uni Soviet datang dari Sukarno. Presiden menunjuknya sebagai wakil resmi Indonesia. NJF Zandstra, direktur surat kabar De Vrij Pers di Surabaya, pernah menemukan sepucuk surat bukti mandat untuk membuka hubungan diplomatik dengan Uni Soviet di kediaman Suripno di Yogyakarta.
“Ditemukan surat jalan, lengkap dengan stempelnya buat perjalanan Suripno dan sepucuk surat yang ditandatangani oleh Presiden Sukarno, di mana diberikan kewajiban kepada Suripno untuk mengadakan hubungan persahabatan dengan negara Eropa Timur dan Uni Soviet. Ditemukan juga sepucuk surat balasan dari Rusia yang ditulis dalam bahasa Roes,” tulis Pelita Rakjat, 30 Desember 1948.
Rupanya di dalam negeri, hubungan dengan Uni Sovet itu harus dirahasiakan oleh Perdana Menteri Amir Sjarifuddin. Hal itu dilakukan agar hubungan Indonesia dengan Amerika Serikat (AS) tetap terjaga baik. Mengingat pada 1947-1948, sedang berlangsung perundingan antara Indonesia dan Belanda yang ditengahi oleh pihak AS.
Baca juga: Bantuan Alutsista dari Uni Soviet
“Selaku ketua delegasi, Amir Sjarifuddin segan melukai pihak Amerika, yang memimpin perundingan. Lagi pula, delegasi Republik Indonesia mengharapkan bantuan pihak Amerika dalam menghadapi delegasi Belanda. Oleh karena itu, hubungan Uni Soviet-Indonesia tersebut tidak diumumkan,” tulis Muljana.
Tidak hanya masa Amir Sjarifuddin, pada periode Kabinet Hatta pun hubungan Uni Soviet-Indonesia tetap dirahasiakan. Hatta pun segan dengan Amerika. Ia tidak ingin keputusan mengumumkan secara terang-terangan hubungan mereka dengan Soviet malah menjadi bumerang bagi usaha di dalam negeri. Apalagi hubungan dengan Soviet masih belum tentu arahnya.
Namun melalui Suripno, kata Muljana, usaha diplomatik dengan Uni Soviet akhirnya menjadi jelas, Pemerintah Indonesia sepakat membuka hubungan konsuler pada awal tahun 1948. Diberitakan harian Pelita Rakjat, 28 Mei 1948, kesepakatan kedua negara baru benar terjadi pada 19 Mei 1948. Siaran resmi stasiun radio Moskow menyebut jika penandatanganan perjanjian hubungan diplomatik antara Indonesia dan Uni Soviet telah selesai.
Pemberitahuan itu mengejutkan Kabinet Hatta. Suripno akhirnya dipanggil pulang dari Praha untuk memberikan keterangan terkait kesepakatan tersebut. Suripno tiba di Yogyakarta pada 11 Agustus 1948. Setelah memberikan keterangan kepada menteri luar negeri, Suripno didampingi sekertarinya Suparto menghadap Sukarno. Rupanya si sekertaris adalah Muso, salah satu tokoh PKI, yang mengasingkan diri ke Moskow pada 1926. Ia menggunakan nama Suparto demi memelihara keamanannya selama di Indonesia.
Rahasia Bocor
Setelah pertemuan dengan Sukarno, Suripno dan Muso memberikan ceramah di Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia. Keduanya menceritakan perjalanan hidupnya di Eropa. Tidak lupa mereka memuji-muji Uni Soviet, yang dirasa memfasilitasi keduanya dengan baik. Dalam kesempatan tersebut, Muso mengakui dirinya berandil besar dalam melancarkan proses pengakuan Uni Soviet kepada Indonesia.
“Pengakuan itu sangat penting karena Uni Soviet adalah satu-satunya negara yang ditakuti Amerika Serikat,” ucap Muso.
Demikianlah, hubungan Uni Soviet-Indonesia yang sekuat tenaga dirahasiakan Kabinet Amir Syarifuddin dan Kabinet Hatta, begitu saja dibocorkan Suripno dan Muso. Dalam waktu singkat, rahasia itu menjadi konsumsi publik. Pihak oposisi, yang banyak beraliran kiri, tidak membiarkan begitu saja kesempatan tersebut, Melalui pers mereka, berbagai tuduhan terhadap pemerintah dilayangkan. Hatta dianggap antek AS. Ia juga dituduh tidak konsisten memberantas imperialisme. Pers Belanda tidak ketinggalan menyebut Indonesia telah terpengaruh komunisme.
Baca juga: Peristiwa Madiun untuk Mewujudkan Republik Soviet di Indonesia
Pada 22 Agustus 1948, Muso berbicara di alun-alun Yogyakarta. Kegiatan itu dihadiri oleh ribuan masyarakat dan beberapa mahasiswa Uni Soviet. Muso kembali menyebut Uni Soviet sebagai pihak yang berjasa. Ia menyudutkan pemerintahan Hatta dengan menyebut pilihannya dalam menjalankan perundingan Renville adalah kesalahan.
“Intinya, Muso membakar hati rakyat dan mengobarkan antipati terhadap Kabinet Hatta,” tulis Muljana.
Akibat bocornya informasi terkait hubungan Uni Soviet-Indonesia dari mulut Suripno dan Muso, tuntutan pelaksanaan persetujuan keduanya semakin gencar di masyarakat. Banyak yang menganjurkan, terutama dari golongan kiri, agar Indonesia memihak blok Uni Soviet dalam menghadapi Belanda.
Menanggapi hal tersebut, Menlu Agus Salim dalam sidang KNIP menegaskan jika pemerintah tidak menutup pengakuan dari pihak manapun. Pemerintah juga tidak berencana membatalkan persetujuan yang telah disepakati. Mereka hanya perlu menimbang pilihan terbaik demi kepentingan kedaulatan Republik Indonesia.