TAK semua pihak senang dengan kebijakan Indonesia menenggelamkan kapal nelayan asing di wilayah perairan Indonesia. Harian Bangkok Post, 5 Januari 2015, menyebut penenggelaman kapal sebagai “tindakan agresif yang merusak, tidak disukai, tidak diplomatis, dan tidak bersahabat terhadap negara-negara tetangga ASEAN.” Mengenai kerugian tahunan Indonesia akibat pencurian ikan, Bangkok Post menilai itu kesalahan Indonesia sendiri sebab tidak mampu menjaga aset lautnya.
Menilik catatan sejarah, Indonesia memiliki pengalaman panjang terkait perlindungan hak atas laut beserta asetnya. Tapi selalu minim upaya penegakan hukumnya.
Laut Tanpa Tuan
Laut Nusantara telah lama ramai oleh kapal-kapal asing. Ini terkait kemunculan jaringan perdagangan Nusantara-Tiongkok sejak abad ke-4. Jaringan perdagangan itu meluas memasuki abad ke-15. Nusantara mulai terhubung dengan Eropa. Kapal-kapal Eropa pun hilir-mudik di laut Nusantara. Mereka bebas mengarungi laut untuk mengangkut rempah. Tak perlu berizin pada kerajaan atau kesultanan lokal.
Baca juga:
‘Superfood’ dari Laut
Petik Laut Pancer Kian Moncer
“…Para penguasa lokal di Nusantara telah menerapkan kebijakan laut bebas (free ocean policy) yang dalam istilah Barat disebut sebagai mare liberum,” tulis Singgih Tri Sulistiyono dalam “Konsep Batas Wilayah Negara di Nusantara: Kajian Historis”, makalah tak terbit. Amanna Gappa, kumpulan hukum laut dari daerah Sulawesi pada abad ke-17, bahkan tak memuat secara tegas klaim atas kepemilikan laut.
Gagasan laut bebas membantu perdagangan orang-orang Eropa di Nusantara. Mereka bisa berlayar ke berbagai wilayah dengan kapal-kapal besar dan bersenjata. “VOC (Kongsi Dagang Hindia Timur) kemudian merebut pelabuhan-pelabuhan penting. Lalu menguasai jalur perdagangan rempah di Nusantara pada abad ke-17 melalui kekuatan bersenjata,” kata Mona Lohanda, sejarawan dari Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI).
Berhasil menguasai jalur perdagangan, VOC mengubah gagasannya tentang laut. Laut jadi lebih tertutup (mare clausum). Tak sebebas sebelumnya. VOC melarang kapal pengangkut rempah sejumlah kesultanan di Maluku mengarungi laut. “Saat itu larangan berlayar bukan untuk menjaga kekayaan laut, melainkan menjaga harga rempah. VOC belum berpikir mengeksplorasi dan mengeksploitasi kekayaan laut Nusantara. Fokus mereka perdagangan,” tutur Mona.
Baca juga:
Pertempuran Laut Jawa
Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
VOC berupaya menerapkan hukum laut secara tegas. Mereka menempatkan kapal-kapal bersenjata di perairan Maluku. Kalau kapal pengangkut rempah mencoba menyusup, VOC tak segan menyita muatannya dan menenggelamkan kapalnya. “Kebijakan ini kita kenal dengan nama pelayaran Hongi Tochten,” lanjut Mona. Dengan sistem penegakan hukum laut seperti itu, VOC mampu mendominasi dunia maritim Nusantara selama hampir dua abad.
Memasuki abad ke-19, Hindia Timur berada di bawah kuasa pemerintah kolonial Belanda. Serupa VOC, pemerintah kolonial melanjutkan pembatasan pelayaran kapal-kapal. Aturan ini tak berlaku di wilayah Bali.
Kedaulatan Atas Laut
Kerajaan-kerajaan di Bali mempunyai hukum kedaulatan laut sendiri, Tawan Karang. “Apabila terjadi perahu karam atau terdampar di pantai, orang dan barang-barang beserta perahunya menjadi milik kerajaan yang memiliki pantai tersebut,” tulis AA Bagus Wirawan dalam Sri Koemala dan Praktek Adat Tawan Karang di Kerajaan Badung 1904-1906.
Menurut Komang Ayu Suwindiatrini dalam “Kebijakan Politik Tawan Karang Pada Masa Kerajaan Bali Kuno dan Kolonial Belanda”, termuat di Jurnal Humanis Volume XXIV No 1 Oktober 2014, Tawan Karang muncul dari pandangan orang Bali tentang laut. “Raja-raja Bali mempercayai bahwa Tawan Karang adalah karunia Dewa Baruna yang diberikan melalui lautan.” Dari segi politik, hukum ini berfungsi sebagai perlindungan terhadap kerajaan dari serangan asing melalui laut.
Baca juga:
Hantu Laut Bertemu Hantu Laut
Dari Pengelana Melayu hingga Bajak Laut Asing
Israel Nyaris Tenggelamkan Kapal Angkatan Laut AS
Pemerintah kolonial enggan menerima konsepsi Tawan Karang. Sebab Tawan Karang mengurangi kedaulatan mereka di laut. Mereka pun melancarkan serangan ke sejumlah Kerajaan di Bali untuk menghapus hukum tersebut. Beberapa kerajaan di Bali takluk. Hukum Tawan Karang berangsur terhapus.
Pemerintah kolonial lalu menyiapkan hukum baru mengenai laut. Bukan cuma mengatur soal pelabuhan pantai dan internasional, izin perkapalan, pelayaran kapal, bea cukai, dan perikanan, melainkan juga batas-batas dan kekayaan laut di dalamnya. Hukum ini terbit pada 1939 dan bernama Territoriale Zee en Maritieme Kringen Ordonantie (Ordonansi Laut Teritorial dan Lingkungan Maritim).
Beberapa pasal ordonansi ini menjelaskan laut milik pemerintah kolonial. “Laut teritorial Belanda adalah tiga mil laut dari garis air surut pulau-pulau atau bagian-bagian pulau yang termasuk wilayah Hindia Belanda,” tulis Singgih.
Laut di luar jarak tiga mil menjadi kepunyaan masyarakat internasional. Kapal-kapal asing berhak dan bebas berlayar di perairan bagian dalam Hindia Belanda. Misalnya di perairan antara Pulau Jawa dan Kalimantan. Singgih menyebut hukum ini berlandaskan konsep ‘pulau demi pulau’. Laut menjadi pemisah. Bertentangan dengan tradisi maritim masyarakat lokal bahwa laut menjadi pemersatu wilayah.
Memperoleh kemerdekaan pada 1945, Pemerintah Indonesia berupaya meninggalkan hukum laut buatan Belanda. Upaya ini mewujud dalam Deklarasi Djuanda 13 Desember 1957. Laut Indonesia meluas hingga 12 mil dari titik-titik terluar pulau-pulau Indonesia. Sehingga konsep ini melindungi perairan Indonesia bagian dalam dari ekplorasi dan eksploitasi kapal-kapal internasional tanpa izin. Kerugian membayangi mereka.
Negara-negara lain karuan memprotes gagasan kedaulatan laut Indonesia. “Di antara negara-negara yang menyatakan tidak setuju antara lain terdapat Amerika Serikat, Australia, Inggris, Nederland, dan New Zealand, sedangkan yang menyatakan menyokong hanya USSR dan Republik Rakyat Cina,” tulis Mochtar Kusumaatmadja dalam Bunga Rampai Hukum Laut.
Indonesia mengabaikan semua keberatan negara lain. Mereka malah resmi menetapkan Deklarasi Djuanda sebagai Undang-Undang tentang perairan Indonesia pada 1960.
Baca juga:
Peran Pelaut Jerman dalam Angkatan Laut Republik Indonesia
Pelaut yang Menaklukkan Hollywood
Petualangan Pelaut Prancis di Nusantara
Terhadap kemungkinan pelanggaran oleh kapal-kapal asing, Indonesia mengeluarkan Peraturan Pemerintah No 8 Tahun 1962 tentang lalu lintas damai kendaraan asing dalam perairan Indonesia. Di dalamnya termaktub cara menegakkan hukum laut Indonesia. Antara lain dengan menangkap awak kapal-kapal nelayan asing dan menyita kapalnya.
Penangkapan dan penyitaan kerap menimbulkan sengketa antara Indonesia dengan negara asal si nelayan. “Namun tindakan demikian perlu diteruskan karena merupakan pelaksanaan dari kedaulatan kita atas perairan Nusantara,” tulis Mochtar.
Indonesia kembali memperkuat kedaulatannya atas laut pada 12 Maret 1980. Indonesia menghitung batas laut terluarnya menjadi 200 mil dari garis dasar. Laut Indonesia meluas. Usaha menjaganya pun jadi bertambah berat. Dan inilah kelemahan Indonesia.
Indonesia telah berhasil mengupayakan hak atas laut, tapi kerap kecolongan dalam menjaga dan menegakkan kedaulatan lautnya. Maka sekarang orang berharap kebijakan galak semacam penenggelaman kapal bisa menutup celah kosong itu.