Di balik minimnya peran militer Belanda dalam Perang Dunia II di front Pasifik, ada peran orang-orang Indonesia yang berdinas dalam militer Belanda. Terutama di daerah Indonesia Timur. Beberapa misi penyusupan digalang oleh Netherlands East Indies Forces Intelligence Service (NEFIS) di sekitar Papua.
Misi di daerah Papua yang diduduki Jepang sangat berat. Penyusup yang tertangkap bisa dihukum mati Jepang. Salah satunya misi Langs sekitar Agustus 1944.
“Misi ini dipimpin oleh Komandan Letnan Laut Kelas Tiga Mohammed Abdul Razak, dengan seorang kopral Eropa, dua operator radio Eropa, dan enam tentara orang Indonesia,” tulis Louis de Jong dalam Het Koninkrijk der Nederlanden in de Tweede Wereldoorlog Deel IIC Nederlandsch Indie III.
Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Mereka diterjunkan dengan parasut ke sekitar Kepala Burung. Razak, disebut koran Nieuwe courant, 1 November 1947, memimpin tujuh orang Indonesia sebagai anak buahnya dalam upaya mengumpulkan data intelijen terkait posisi tentara Jepang di sana.
Salah seorang di antara anggota misi itu yang berdarah Indonesia mengalami patah kaki pada awal operasi. Tim yang dipimpin Razak, menurut J.J. Nortier dalam Acties in de Archipelde intelligence-operaties van NEFIS-III in de Pacific-oorlog, bergerak ke Inam di mana salah seorang yang terluka ditinggal di bivak mereka.
“Karena kekuatan misinya yang sangat lemah, dia tidak berpikir bahwa masuk lebih dalam ke hutan yang tidak ramah itu tidak disarankan,” tulis Nortier. Misi itu berhasil menjalin kontak dengan orang-orang asli Papua.
Misi itu jelas sulit bagi Razak. Usianya belum genap 23 tahun ketika memimpin misi itu. Pria kelahiran 20 November 1921 itu jelas tampak seperti anak kemarin sore dalam misi sulit di zaman Jepang itu. Misi mereka berakhir pada akhir 1944 dan kembali ke tempat aman lagi.
Baca juga: NEFIS Belanda Mengawasi Indonesia dari Australia
Mohammed Abdul Razak baru empat tahun bergabung sebagai militer. Sebagai orang Indonesia, Razak tentu lebih paham dan cukup aman jika ditugaskan ke wilayah Hindia Belanda. NEFIS kemudian menempatkannya di sekitar Papua setelah Jepang makin lemah dan NICA berdiri di Australia.
Razak seperti kebanyakan anggota militer, yang ketika Indonesia merdeka berada di luar negeri atau jauh dari Pulau Jawa, tak tahu kabar Proklamasi kemerdekaan. Selain Razak, Letnan Laut Kelas Tiga Subijakto juga terlambat datang.
Kerajaan Belanda menghargai misi rahasia Razak di Papua pada zaman pendudukan Jepang. Dia dianugerahi bintang Bronzen Leeuw (Singa Perunggu) oleh Kerajaan Belanda pada 1947. Ketika itu pangkatnya Letnan Laut Kelas Dua bagian mesin di Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Baca juga: Serdadu KNIL Jawa di Kalimantan Utara
Ketika berdinas di Ambon pada 1940-an, Razak adalah perwira intelijen. Buku Mengenal Laksda Jos Sudarso, 24 Nopember 1925–15 Januari 1962, menyebut Razak melakukan screening terhadap awak-awak kapal RI yang menyusup ke daerah Indonesia timur dan tertangkap di Ambon. Salah satu dari mereka adalah Yos Sudarso.
Rupanya, Razak yang pada 1947 berusia 26 tahun memilih meninggalkan kehidupan mapan sebagai perwira Angkatan Laut Belanda. Ketika itu sedang terjadi perang antara Indonesia dan Belanda. Koran Nederlandsche Staatscourant, 8 September 1948, menyebut bahwa Koninklijk Besluit No. 47 tanggal 30 Juni 1948 menyatakan Letnan Laut Kelas Dua bagian mesin M. Razak telah diberhentikan dengan hormat atas permintaannya sendiri dari Angkatan Laut Kerajaan Belanda.
Razak menyusul Subijakto yang sejak awal tahun 1947 sudah bukan anggota Angkatan Laut Belanda. Razak bergabung dalam Koninklijk Marine atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda sejak pertengahan 1940. Koran Bataviaasch Nieuwsblad, 27 Juli 1940, menyebut dia dilantik menjadi adelborst (taruna Angkatan Laut) di Surabaya. Dia adalah taruna bagian stoomvaart (mesin kapal) di Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM). Soerabaijasch Handelsblad, 3 November 1941, menyebut pada 1941 Razak sudah menjadi kopral taruna.
Baca juga: Kisah Taruna Indonesia dalam Angkatan Laut Belanda
Selain Razak, orang Indonesia di angkatannya adalah Nacis Djajadiningrat, Sidik Moeljono, dan Hadjiwibowo. Ketiganya bagian administrasi. Kecuali Nacis, kedua kawannya itu jadi tawanan perang di Makassar dan Jakarta pada masa pendudukan Jepang. Taruna yang tidak tertawan biasanya terus bertugas hingga setelah Jepang kalah. Mereka punya adik kelas orang Indonesia pada 1941, seperti Washington Siahaan, Maurit Nelwan, dan Carl Tauran.
Setelah 1950-an, Razak bekerja di pelayaran sipil. H.R. Soenar Soerapoetra dalam otobiografinya, Profil Seorang Bahariwan, menyebut Razak sempat menjadi Kepala Bidang Lalu Lintas Muatan di Yayasan Penguasaan Pusat Kapal-Kapal (Pepuska). Maurit Nelwan menjadi Kepala Bidang Perbekalan di sana. Belakangan, Pepuska berkembang menjadi PT Pelayaran Nasional Indonesia (Pelni).
Banyak bekas taruna Angkatan Laut Belanda menjadi orang penting. Nacis Djajadiningrat pernah menjadi asisten Subijakto ketika menjadi Kepala Staf Angkatan Laut dan berpangkat terakhir Laksamana TNI. Hadjiwibowo menjadi bos PT Unilever Indonesia. Sidik Moeljono yang ahli pangan pernah menjadi orang penting di Bulog. Washington Siahaan, adik kelasnya, pernah menjadi pembantu Kepala Staf Angkatan Darat Abdul Haris Nasution dan ketika meninggal pada 1960-an mencapai pangkat Brigadir Jenderal Angkatan Darat.*