Meski terlambat, Kerajaan Belanda akhirnya membangun akademi Angkatan Laut bernama Koninklijk Instituut voor de Marine (KIM) di Surabaya. Setelah pecah Perang Dunia II, pada 1940 lembaga ini menerima pemuda Indonesia sebagai Adelborst (taruna Angkatan Laut) untuk dilatih menjadi perwira Koninklijk Marine (KM) atau Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Syaratnya mereka harus lulus SMA, baik AMS maupun HBS lima tahun.
“Di angkatan saya hanya ada empat orang Indonesia, termasuk saya sendiri,” kata Raden Mas Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup Pendewasaan 1924–1942.
Tak satu pun di antara taruna Indonesia itu yang ditempatkan di korps pelaut (perwira dek). Koran Soerabaijasch Handelsblad, 6 Agustus 1940, dan Bataviaasch Nieuwsblad, 27 Juli 1940, menyebut taruna Indonesia di bagian mesin adalah Mohamad Razak. Sementara taruna bagian administrasi adalah Raden Mas Hadjiwibowo, Raden Mohammad Sidik Moeljono, dan Raden Djajadiningrat. Nama terakhir adalah putra Pangeran Aria Ahmad Djajadiningrat yang pernah menjabat bupati Batavia.
Baca juga: Kisah Taruna Sim, Nas, dan Alex
Hadjiwibowo mendaftar diam-diam karena tak semua orangtua paham arti sekolah militer KIM. Setelah tahu anaknya mendaftar ke Angkatan Laut, orangtuanya hanya berkomentar “oh anakku menjadi kelasi”. Sebab, di masa itu, kelasi (pangkat terendah Angkatan Laut) banyak diisi orang-orang Indonesia. Jika lancar dan kondisi normal, dalam tiga tahun, Hadjiwibowo akan menjadi perwira setara letnan kelas tiga. Tapi perang membuatnya dipindahkan ke Australia.
Pada Maret 1942, Hadjiwibowo naik kapal motor Tjisaroea menuju Australia. Kapal milik maskapai Java China Japan Line itu dikawal kapal perang Houston dan Exeter. Namun, dalam perjalanan kedua kapal pengawal itu hilang. Di sekitar perairan Bali, kapal motor Tjisaroea bertemu kapal perang Jepang. Tjisaroea yang terancam ditorpedo digiring sampai ke Makassar.
Baca juga: Tan Malaka dan Angkatan Laut di Surabaya
Setelah 4 Maret 1942, Hadjiwibowo jadi tawanan perang Jepang. Di kapal Tjisaroea terdapat kelasi kapal selam bernama Sanjoto. Bunga Rampai Perjuangan dan Pengorbanan IV menyebut setelah ditawan selama enam bulan, Sanjoto dan 15 kawannya dibebaskan lalu pulang ke Jawa.
Semasa di Makassar, Hadjiwibowo bertemu Mohamad Sidik Moeljono, kawan lama di sekolah dan semasa jadi taruna di Surabaya. Sidik ditangkap ketika menumpang kapal Duymar van Twist.
Menurut kartu tawanan perang, Raden Mohammad Sidik Moeljono berasal dari Rembang. Dia anak Raden Maskoen Djojomisastro dan Raden Ajoe Aminah. Ketika ditangkap Jepang, jabatan Sidik sebagai juru bayar di Marine Vliegkamp Morokrembangan.
Selama menjadi tawanan di Makassar, Hadjiwibowo dan Sidik kekurangan makan. Mereka kemudian dibawa dan ditawan di Jakarta, letaknya sekitar tempat yang kini menjadi kawasan Hotel Borobudur.
Setelah bebas pada 1945, Hadjiwibowo dan Sidik dibawa Belanda untuk menyelesaikan pendidikannya. Nederlandsche Staatscourant, 14 Agustus 1946, mengabarkan bahwa berdasar Koninklijk Besluit (Surat Keputusan Kerajaan) tanggal 22 Juni 1946 No. 27, terhitung mulai 1 Maret 1946, Hadjiwibowo, Baden, dan Sidik diangkat menjadi perwira administrasi kelas tiga Angkatan Laut Belanda.
Baca juga: Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Setelah keluar dari dinas militer Belanda, Hadjiwibowo dan Sidik tidak melanjutkan karier di Angkatan Laut. Keduanya sekolah lagi lalu bekerja di Indonesia. Setelah bekerja di Departemen Pertahanan sebagai pegawai sipil, Sidik menjadi pakar pangan di Badan Urusan Logistik (Bulog) sejak 1968. Dia menuangkan gagasannya mengenai pangan dalam buku dan jurnal.
“Pak Sidik Moeljono merupakan sosok yang berjasa luar biasa kepada Bulog,” tulis Sapuan Gafar dalam 5 Pendekar Bulog. Sementara Hadjiwibowo, setelah sekolah ekonomi di Belanda, bekerja di Unilever Indonesia.