Bangsawan Jawa Memilih KNIL
Sebagai perwira KNIL, dia ditawan Jepang. Anak bangsawan Jawa ini sempat mendukung TNI. Belakangan kembali ke KNIL.
Pada masa pendudukan Jepang, para tentara KNIL (Koninklijk Nederlandsch Indische Leger) ditahan. Kendati jadi tawanan perang, mereka masih disuruh melakukan apel (upacara) tiap hari. Para perwira yang ditawan bahkan masih harus memimpin prajurit bawahannya untuk apel. Setidaknya itu dilakukan hingga tahun 1945. Masa penawanan membuat disiplin para prajurit menjadi longgar.
Poerbo Soemitro, seorang tawanan bekas letnan satu KNIL dan masih keturunan bangsawan Jawa, ditugaskan memimpin apel pada suatu pagi. Keributan kecil terjadi karena seorang sersan KNIL datang terlambat sambil berceloteh tak jelas.
“Lewerissa, hou he smoel (Lewerissa, tutup mulutmu),” kata Poerbo Soemitro yang kesal kepada serdadu yang terlambat itu.
Lewerissa membalas, “Hou je eigen smoel, Luit. (Tutup mulutmu sendiri, Let).” Setelah adu mulut antara letnan priayi Jawa dengan sersan Ambon itu, apel dilanjutkan. Begitulah yang dikisahkan Hadjiwibowo dalam Anak Orang Belajar Hidup: Dinamika Hidup 1942–1970.
Baca juga: Pesan dari Kamp Interniran
Menurut kartu tawanan perang yang tersimpan di Arsip Nasional Belanda, Poerbo Soemitro ditangkap Jepang di Maros, Sulawesi Selatan, sekitar 25 Maret 1942. Dia berasal dari Yogyakarta dan anak dari Poerbo Adi Koesoemo.
Benjamin Bouman dalam Van Driekleur tot Rood-Wit: De Indonesische officieren uit het KNIL 1900–1950 menyebut dia adalah cucu dari Sri Paku Alam V dan masih terhitung keponakan Paku Alam VIII. Keluarga Paku Alam adalah penguasa Kadipaten Pakualaman Yogyakarta.
Poerbo Soemitro yang lahir pada 3 Agustus 1915 itu lulus dari akademi militer Koninklijk Militaire Academie (KMA) Breda, Belanda. Menurut koran Algemeen Handelsblad, 29 Juli 1939, dia dilantik menjadi letnan kelas dua infanteri KNIL pada 1939 bersama Raden Soejarso Soerjosoerarso. Tahun sebelumnya, sebut koran De Standard, 4 Juli 1938, Raden Hidajat Martaatmadja lulus dari akademi itu.
Sebelum ditawan, menurut Bouman, mulanya Poerbo Soemitro ditempatkan di Batalion Infanteri ke-2 di Jawa tapi hanya sebentar. Kemudian antara Juni 1940 hingga Juni 1941, dia ditempatkan pada Batalion Infanteri ke-7 di Tarakan. Setelahnya, dia ditempatkan di Sulawesi. Pada Oktober 1941, dia naik pangkat menjadi letnan kelas satu. Ketika ditawan, dia sudah punya istri.
Setelah perang selesai dan Indonesia merdeka, Poerbo Soemitro pulang ke Yogyakarta dan menjadi sekretaris Paku Alam. Ketika Didi Kartasasmita, mantan perwira KNIL asal Jawa Barat, berkeliling Jawa membawa maklumat untuk meminta dukungan dari mantan perwira KNIL, dia singgah di Yogyakarta dan menemui Poerbo Soemitro.
“Poerbo Soemitro menyetujui isi maklumat. Dia menandatanganinya,” kata Didi Kartasasmita dalam otobiografinya, Pengabdian bagi Kemerdekaan.
Namun, belakangan Poerbo Soemitro tidak bergabung dengan TNI dan malah kembali ke KNIL. Rupanya ada peristiwa yang tidak menyenangkan baginya. Sebagai mantan perwira KNIL, dia ditangkap dan ditahan pihak Indonesia.
“Memang Poerbodipoero (alias Poerbo Soemitro) ditangkap pada akhir 1945 dan dipenjara selama lima bulan di beberapa penjara, setelah itu dia dijadikan tahanan rumah. Pada akhirnya dia dipercaya menjadi Mayor ALRI, agar tidak ditangkap lagi,” catat Bouman.
Poerbo Soemitro kemudian ditemukan militer Belanda pada April 1949 setelah Agresi Militer II. Dia dan keluarganya diterbangkan ke Bandung. Pada Desember 1949, dia diaktifkan kembali di KNIL.
Setelah KNIL bubar, Poerbo Soemitro menjadi perwira KL (Koninklijk Landmacht atau Angkatan Darat Kerajaan Belanda). Dia pernah menjadi komandan kompi pertama KL di Paramaribo, Suriname. Terakhir di militer Belanda dia mencapai pangkat kolonel.*
Tambahkan komentar
Belum ada komentar