Didi Kartasasmita dan Pengkhianatan Seorang KNIL
Dia menghimpun eks anggota KNIL untuk berdiri di belakang Republik Indonesia. Mengalami kekecewaan sebelum revolusi selesai.
Anhar Gonggong berang. Dia tak pernah bisa menerima jika Sultan Hamid II ditabalkan sebagai Pahlawan Nasional. Menurut sejarawan terkemuka itu, Sultan Hamid II terlalu banyak memiliki “dosa” kepada Republik Indonesia (RI). Salah satunya adalah menjadi bagian dari Tentara Kerajaan Hindia Belanda (KNIL) di kala bangsa ini berhadapan dengan Belanda yang ingin kembali berkuasa.
“Dia bahkan mau menjadi ajudan khusus Ratu Belanda Wilhelmina pada 1946,” ujarnya.
Situasi sebaliknya justru terjadi pada R. Didi Kartsasmita, senior Sultan Hamid II di Akademi Militer Kerajaan Belanda (KMA) Breda. Ketika mengetahui RI sudah berdiri pada 17 Agustus 1945, Didi justru menghadap Menteri Penerangan sekaligus Menteri Pertahanan add interim Amir Sjarifuddin untuk menawarkan diri.
“Saya lulusan KMA Breda dan pernah menjadi letnan satu pada kesatuan KNIL. Saya merasa terpanggil untuk membantu perjuangan RI. Apa kiranya yang bisa saya kerjakan?” ujar Didi Kartasasmita seperti ternukil dalam otobiografinya Pengabdian bagi Kemerdekaan (disusun oleh Tatang Sumarsono).
Baca juga: Lima Fakta Tentang Sultan Hamid II
Amir sendiri menyambut baik tawaran Didi. Di tengah banyaknya para eks anggota KNIL yang bergabung dengan Pemerintah Sipil Hindia Belanda (NICA) pimpinan H.J. van Mook pasca menyerahnya Jepang kepada Sekutu, keinginan Didi untuk mengabdi kepada Republik merupakan suatu hal yang menggembirakan.
“Memang, saudara diharapkan dapat membantu kami. Tentu banyak yang saudara dapat kerjakan,” jawab Amir.
Dalam kesempatan itu, Amir juga bercerita bahwa pemerintah RI memang sudah merencanakan akan segera membentuk tentara. Untuk mengisinya, sudah ada kesedian dari beberapa mantan perwira Pembela Tanah Air (PETA), sebuah kesatuan yang dibentuk bala tentara Jepang untuk menghadapi Sekutu.
“Tapi alangkah baiknya jika para mantan opsir KNIL pun turut serta di dalamnya,” ujar Amir Sjarifuddin.
Sejarah mencatat, Didi kemudian berkeliling Jawa untuk menghimpun dukungan kepada RI dari eks opsir-opsir KNIL. Setelah ditandatangani 20 eks opsir KNIL (termasuk eks Mayor Oerip Soemohardjo) dan disetujui Presiden Sukarno, maklumat tersebut diumumkan ke khalayak lewat corong Radio Republik Indonesia (RRI) selama sepuluh hari berturut-turut sejak 11 Oktober 1945.
*
Berdasarkan keputusan rapat kabinet 15 Oktober 1945 yang dipimpin Wakil Presiden Mohammad Hatta, Didi diberi pangkat mayor jenderal. Dia kemudian ditugaskan untuk membentuk Tentara Keamanan Rakyat (TKR) di Jawa Barat. Otomatis tugas tersebut menjadikannya sebagai Panglima Komandemen Jawa Barat.
Di lain pihak, bergabungnya 20 eks perwira KNIL ke TKR membuat marah eks anggota-anggota KNIL yang lain. Mereka dicerca sebagai “pengkhianat” yang telah melanggar sumpah setia kepada Ratu Belanda. Bahkan begitu berangnya mereka, hingga Panglima KNIL Letnan Jenderal S.H. Spoor (eks instruktur Didi di KMA Breda) menyebut Didi sebagai “bajingan”. Demikian menurut J.A. de Moor dalam Jenderal Spoor, Kejayaan dan Tragedi Panglima Tentara Belanda Terakhir di Indonesia.
Namun Didi memiliki hujah sendiri terkait soal tersebut. Dia meyakini bahwa sejak Panglima KNIL Letnan Jenderal Hein ter Poorten menyatakan KNIL bubar pada 9 Maret 1942, secara otomatis kewajiban untuk “setia kepada Ratu Belanda” gugur. Dan ketika dihadapkan kepada dua pilihan: berada di pihak NICA yang ingin menjajah kembali Indonesia atau berada di pihak RI yang sudah menjadi negara merdeka, tentu saja sebagai orang Indonesia dirinya akan berdiri di belakang RI.
Didi membuktikan baktinya kepada RI saat TKR harus berhadapan dengan tentara Inggris. Kendati dia tidak pernah menyetujui perintah Jakarta supaya pasukannya di Bandung “mengalah” kepada Inggris, namun pada akhirnya dia tetap menarik mundur TKR ke luar Bandung pada Maret 1946.
Baca juga: Sebelum Bandung Jadi Lautan Api
Kepatuhan Didi kepada pemerintah RI ternyata tidak berbalas. Ketika Komandemen Jawa Barat dibubarkan, nama Didi justru tergeser oleh juniornya Kolonel A.H. Nasution yang kemudian menjadi panglima di Divisi I Siliwangi (nama pengganti Komandemen Jawa Barat). Padahal di Jawa Barat saat itu masih banyak senior-senior Nasution semasa di KNIL. Selain Didi pun, ada Kolonel Hidajat Martaatmadja, perwira Sunda yang juga alumni KMA Breda.
Didi menyebut Presiden Sukarno dan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin lebih munyukai para juniornya. Itu disebabkan para senior eks KNIL seperti dirinya dan Hidayat dianggap “kurang revolusioner”. Dia juga tak menafikan bahwa di antara eks KNIL sendiri terdapat friksi antara kelompok tua (sebagian besar alumni KMA Breda) dengan kelompok muda (lulusan KMA Bandung dan CORO, sekolah perwira cadangan KNIL).
“Situasi tersebut dimanfaatkan oleh pemerintah pusat,” ujar Didi.
Nyatanya karier Nasution sendiri semakin meroket. Ketika pemerintahan Amir Sjarifuddin jatuh dan digantikan oleh Mohammad Hatta, Nasution didapuk sebagai Kepala Staf TNI, menggantikan Suryadi Suryadarma.
Menurut Didi, langkah para tokoh sipil itu sudah sangat keterlaluan dan membuatnya kecewa. Terlebih saat Hatta mencopot Letnan Jenderal Oerip Soemohardjo dari jabatan Kepala Staf TNI dan digantikan justru oleh Nasution.
“Tindakan itu betul-betul melukai hati saya,” ungkapnya.
Didi bisa menerima jika pengganti Oerip adalah Suryadarma, teman seangkatannya di KNIL. Namun, jika pemerintah mengangkat Nasution sebagai Kepala Staf TNI, itu menyalahi prosedur ketentaraan. Kata Didi, seorang opsir yang “dilompati” juniornya otomatis dia harus mengundurkan diri, karena dianggap sebagai opsir yang tidak becus melaksanakan tugas.
“Itulah yang menyebabkan saya minta mundur dari TNI,” ujarnya.
Presiden Sukarno sendiri tak pernah mengizinkan Didi untuk keluar dari TNI. Usai melayangkan surat pengunduran dirinya yang kesekian kali, Sukarno pernah mengutus Kolonel T.B. Simatupang untuk mengurungkan niatnya dengan alasan dia akan dijadikan salah satu delegasi khusus ke Amerika Serikat. Alih-alih merasa tersanjung dengan ajakan itu, Didi malah sudah terlanjur mutung.
“Ketika dulu saya membentuk tentara, saya lakukan demi pengabdian. Karena itu kalau pun hari ini saya akan mundur, tak ada seorang pun yang bisa menghalangi saya,” jawabnya kepada Simatupang.
*
Usai mundur dari TNI, Didi ditangkap oleh tentara Belanda di wilayah sekitar Purwokerto. Setelah beberapa bulan ditahan, dia dilepaskan atas jaminan langsung dari Spoor. Menurut de Moor, Panglima KNIL itu sangat bergembira begitu tahu Didi telah keluar dari TNI.
“Dalam suratnya kepada Kepala Staf Umum Tentara Kerajaan Belanda Jenderal H.J. Kruls, Spoor memuji dirinya sendiri yang telah berhasil mengusir salah satu “bajingan” itu dari meja perundingan yaitu Mayor Jenderal Raden Didi Kartasasmita…”ungkap sejarawan militer Belanda tersebut.
Baca juga: Kisah Jenderal Soedirman dan "80 Perompak"
Usai dibebaskan, Didi pulang ke Bandung. Seterusnya dia hidup sebagai seorang sipil dan bekerja di lingkungan Kementerian Kesehatan Negara Pasundan.
“Itu saya lakukan untuk sekadar bertahan hidup,” ujar Didi.
TNI tentu saja berang dengan keputusan Didi. Secara terbuka, Nasution sendiri pernah menyebut Didi sebagai “tukang menyebrang” dan orang yang pro federalisme.
“Penyebrangan-penyebrangan terakhir seperti dilakukan Didi Kartasasmita cs. tidak mempunyai pengaruh yang berarti terhadap pemerintahan RI,” ungkap Nasution dalam Sekitar Perang Kemerdekaan Indonesia Jilid 9.
Baca juga: Sang Jenderal di Rapat Koboy
Untuk yang kedua kali, Didi menampik bahwa dia telah melakukan pengkhianatan terhadap RI. Jika mau, katanya, selepas dari tahanan Belanda dia bisa saja bergabung kembali dengan KNIL atau menerima tawaran menjadi Komandan Batalyon Pertahanan Negara Pasundan.
“Tapi itu tak pernah dilakukan karena saya masih mencintai Republik Indonesia,” ujarnya.
Sebagai catatan, usai menolak masuk kembali KNIL, Didi diberi surat pemecatan dari KNIL terhitung sejak 17 Agustus 1945. Namun, surat itu baru diberikan pada awal 1949. Bisa jadi jika Didi menerima tawaran tetap meneruskan karier di KNIL, surat pemecatan tak akan pernah sampai kepadanya.
Berbeda dengan Didi, Nasution sendiri tak termasuk dalam daftar anggota KNIL yang dipecat karena keberpihakannya kepada RI. Menurut Manai Sophian dalam Apa yang Masih Teringat, hanya Didi Kartasasmita, Oerip Soemohardjo, Suryadarma dan beberapa eks perwira tinggi Republik lainnya yang dinyatakan dikeluarkan secara tidak hormat dari KNIL.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar