Kisah Taruna Sim, Nas, dan Alex
Pengalaman tiga pemuda pribumi yang mencoba peruntungan di Akademi Militer Belanda di Bandung. Kelak, mereka menjadi petinggi dalam militer Indonesia. �
Negeri Belanda luluh lantak ketika Jerman mendudukinya pada 1940. Begitulah Angkatan Perang Kerajaan Belanda hancur lebur tanpa perlawanan dalam Perang Dunia II. Imbasnya sampai ke wilayah jajahan, Hindia Belanda. Pemerintah kolonial kekurangan opsir untuk menata pasukan tentara kerajaan Hindia Belanda (KNIL). Demi memenuhi kebutuhan itu, pemerintah kolonial membuka Akademi Militer Belanda (KMA) di Bandung. Baik orang-orang Belanda maupun pribumi diterima masuk KMA untuk mengenyam pendidikan perwira.
Bermodal ijazah AMS (setara SMA), pemuda Tahi Bonar Simatupang mendaftar ke KMA. Keputusan Simatupang mengikuti seleksi KMA sebenarnya perjudian besar. Dia nekat mengubur cita-citanya melanjutkan studi ke sekolah tinggi kedokteran. Lagipula, postur tubuhnya yang kecil agak kurang cocok menjadi tentara. Di benak Simatupang kala itu hanya ingin membuktikan ketidakbenaran sebuah mitos. Ada anggapan umum saat itu bahwa kaum pribumi seperti dirinya tidak layak menjadi tentara.
“Untuk menjadi penerbang konon matanya kurang tajam, kakinya terlalu pendek, dan reaksinya terlalu lamban,” kata Simatupang dalam Membuktikan Ketidakbenaran Suatu Mitos. Banyak kawan-kawannya yang tercengang waktu mendengar Simatupang berangkat ke Bandung.
Taruna Mahkota Perak
Dari sekira 200-an peserta KMA, hanya belasan orang pribumi yang menjadi angkatan pertama KMA Bandung. Mereka adalah: Abdul Haris Nasution, Alexander Evert Kawilarang, Aminin, Rachmat Kertakusuma, Mantiri, Tahi Bonar Simatupang, Askari, dan Samsudarso. Selain mereka, ada dua peranakan Tionghoa: Lim King Ien dan Lim Kay Hoen. Mereka terlebih dahulu diseleksi wajib militer dalam Korps Pendidikan Perwira Cadangan (CORO) sebelum mengikuti kelas perwira.
Abdul Haris Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda, mengenang masa milisi sebagai tamtama merupakan latihan mental yang berat. “Ucapan-ucapan kotor dari bintara-bintara Belanda adalah didengar sehari-hari. Kata-kata umpatan ‘GVD’ (Godverdome: Tuhan mengutukmu) adalah biasa,” tutur Nasution.
Baca juga: Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba
Meski bergaul secara intensif, hubungan antara prajurit Belanda totok dan pribumi tidak begitu akrab secara pribadi. Hidup dalam tangsi kompeni menjadi sesuatu yang ganjil. Menurut Simatupang, terdapat garis yang tidak kelihatan tetapi terasa di antara bangsa penguasa dan bangsa terjajah. Alex Kawilarang menjadi pengecualian dalam hal ini. “Kawilarang,” lanjut Simatupang, “oleh karena bapaknya seorang perwira KNIL, cukup dekat dengan rekan-rekan Belanda itu.”
Di tengah dominasi prajurit Belanda, putra-putra Hindia itu tidak ciut unjuk diri. “Saya masih ingat bahwa Simatupang mencalonkan diri sebagai ketua senat, hanya sekedar menunjukkan adanya calon Indonesia,” kenang Nasution.
Setelah sembilan bulan pendidikan ditempah di CORO, 150 peserta lulus menjadi taruna KMA. Mereka dipromosikan ke berbagai bidang militer. Nasution, Kawilarang, Aminin, Kartakusuma, Mantiri, Lim King Ien, dan Lim Kay Hoen menjadi taruna infantri; Askari ditempatkan di taruna artileri (persenjataan berat). Simatupang menjadi taruna zeni (persenjataan dan perlengkapan), Samsudarso di bagian administrasi.
Baca juga: T.B. Simatupang, Jenderal Jenius yang Religius
Secara akademis, Simatupang paling menonjol. Simatupang lulus dengan predikat taruna mahkota. Pada seragam militernya tersemat tanda mahkota (krown) perak karena punya nilai tinggi untuk mata pelajaran eksakta. Sementara itu, mahkota emas hanya tersemat bagi taruna kebangsaan Belanda.
“Seandainya Simatupang orang Belanda, dia pasti akan mendapat mahkota emas,” ungkap Alex Kawilarang kepada Ramadhan KH dalam AE Kawilarang: Untuk Sang Merah Putih.
Si Ahli Segala Senjata
Ketika kelulusan, Alex Kawilarang malah harus mendapat studi wajib –sama dengan remedial di masa sekarang. Alex diharuskan belajar lebih giat karena nilainya pada pelajaran non-militer kurang. Untuk memenuhi tuntutan nilai, Alex mengenang dirinya “disekap” di kamar untuk belajar.
“Saya lebih menyukai olahraga dan pesta-pesta. Sedangkan teman-teman nampak sekali amat serius. Saya main-main saja,” katanya.
Baca juga: Alex Kawilarang Anak Mami
Tapi, pada mata pelajaran yang disukai, Alex Kawilarang meraih nilai tinggi. Minatnya memang hanya ditujukan pada teknik khas kemiliteran seperti pendidikan infantri, serangan- pertahanan, dan taktik pertempuran. Maka nilainya pada pelajaran menembak, latihan longmars, halang rintang, dan anggar bagus.
Simatupang mengakui dirinya termasuk taruna yang mencapai prestasi tinggi di bidang teori sedangkan Alex jago dalam praktik. “Alex Kawilarang, yang tidak mempunyai minat pada teori, selalu mencapai prestasi yang tinggi dalam praktik, seperti menambak, main anggar, berenang, naik kuda, dan seterusnya,” ungkap Sim. Di antara para calon taruna KMA, hanya Kawilarang yang lulus dengan tanda istimewa, predikat meester in all wapens yang berarti ahli segala senjata.
Lulus dari pendidikan taruna memang memberikan kenaikan pangkat, namun perlakuan diskriminatif kian terasa. Dalam penempatan dinas, itu terlihat dari Kompi I terdiri dari orang Belanda, Kompi II orang Menado, dan Kompi III orang Jawa.
Siapa yang Langgeng?
Alex Kawilarang ditempatkan di Magelang. Ketika rekan sebangsanya hanya bisa jadi komandan regu, Alex telah menjadi komandan peleton. Nasution bersama Kartakusuma ditempatkan dalam Batalion X, Kompi Jawa di bilangan Senen, Batavia. Sementara itu, Simatupang tergabung dalam markas Resimen I di Tangerang.
Baca juga: Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh
Namun, mereka tidak lama menjadi tentara KNIL. Pada 8 Maret 1942, Belanda menyerah kepada Jepang. Sekolah perwira KMA Bandung pun turut bubar ketika Jepang datang. Dalam buku hariannya, kekalahan Belanda yang memalukan itu dicatat Simatupang dengan kalimat satire, “Heden overleed bloedeloos en eerloos het Nederlandsch Indisch Leger. (“Hari ini Tentara Hindia Belanda meninggal dunia tanpa mencucurkan darah dan tanpa membela kehormatannya).”
Beberapa perwira pribumi jebolan KMA itu kelak menjadi perwira penting yang mewarnai sejarah militer Indonesia. Simatupang dikenal sebagai perwira pemikir. Di masa revolusi kemerdekaan, dia adalah tangan kanan Panglima Besar Jenderal Sudirman.
Sementara, Alex Kawilarang adalah panglima yang teruji di lapangan. Di Sumatra Utara, Alex membentuk Kipasko, cikal-bakal pasukan komando Indonesia. Dia kemudian menorahkan reputasi gemilang setelah memimpin penumpasan pemberontakan Andi Azis dan Republik Maluku Selatan. Nasution menjadi panglima Divisi Siliwangi kemudian Kepala Staf Angkatan Darat.
Baca juga: Ketika Jenderal Nasution Marah
Dari ketiganya, hanya Nasution yang punya karier panjang dalam ketentaraan. Simatupang memilih pensiun dini karena tidak sejalan dengan Presiden Sukarno. Begitu pula Kawilarang. Karier militernya habis setelah terlibat dalam pemberontakan Permesta. Kolonel adalah pangkat terakhirnya. Sedangkan Nasution, setelah mengalami jatuh-bangun intrik politik berhasil mencapai jenderal. Nasution bahkan tercatat sebagai salah satu jenderal besar Indonesia –pangkat tertinggi yang dapat dicapai perwira TNI Angkatan Darat– bersama Soedirman dan Soeharto.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar