Umpatan Serdadu Belanda di Danau Toba
Usai menaklukan negeri-negeri sekitar Toba, para serdadu Belanda sempat menyebut orang-orang Batak sebagai orang-orang kafir yang memiliki keindahan alam tiada tara.
Sebagai upaya menyatukan seluruh Nusantara di bawah cengkeramannya, pemerintah kolonial Belanda bergerak menuju ke Tanah Batak. Pax Nederlandica demikian sebutan untuk misi penyatuan wilayah jajahan itu. Ekspedisi militer tersebut juga bertujuan untuk melindungi para zendeling, misionaris yang menyebarkan agama Kristen. Perlawanan datang dari Raja Batak Sisingamangaraja XII.
Sejak Desember 1877, muncul desas-desus, “Si Singamangaraja akan datang dengan pasukan Acehnya untuk membunuh orang Eropa dan orang Kristen di kalangan penduduk,” tulis Walter Boar Sidjabat dalam Ahu Si Singamangaraja. Berita itu menggemparkan pemerintah kolonial dan juga penginjil Batakmission.
Pada 1 Maret 1878, Residen Boyle mengirimkan sebanyak 250 tentara dari Sibolga ke Danau Toba. Pada 20 Maret 1878, tentara Belanda memasuki Lembah Silindung dan membakar beberapa kampung. Pangaloan, Sigompulon, dan Silindung dinyatakan menjadi wilayah taklukan Belanda. Tidak cukup dengan menguasai perkampungan padat penduduk, pasukan Belanda berniat menaklukkan seluruh negeri Batak di sepanjang kawasan Danau Toba.
Baca juga:
Dalam ekspedisi tersebut, turut serta seorang misionaris bernama Ludwig Inger Nommensen. Dia utusan Seminari Rheinische Missionsgesellschaft (RMG) di Wupertal-Barmen, Jerman. Selama perang berlangsung, Nommensen yang bertugas sebagai penerjemah dan perantara mencatat dengan seksama apa yang terjadi.
“Di mana-mana terlihat kampung yang hangus dan berasap. Penghuninya bersembunyi di jurang-jurang pegunungan dan langsung melarikan diri apabila ada yang mendekat, " kata Nommensen tersua dalam majalah mingguan RMG Berichte der Rheinischen Missionsgesellchaft (BRMG) tahun 1878 dalam Utusan Damai di Kemelut Perang: Peran Zending dalam Perang Toba karya Uli Kozok.
Pada 30 April 1878, ekspedisi militer ke huta Bakara untuk menumpas pasukan Sisingamangaraja dimulai. Nommensen mencatat, ketika pasukan mendekati tebing terlihat Lembah Bakara yang indah. Pemandangan yang menakjubkan! Jalannya menurun tajam ke lembah yang terletak 550–600 meter di bawah. Namun setiba di Bakara, pertempuran sengit berlangsung.
Nommensen mencatat dalam laporannya, penduduk kampung-kampung melawan dengan gigihnya. Serdadu yang berusaha memanjat tembok dilempari dengan batu sehingga jatuh berguling. Jerit-tangis laki-laki, perempuan, anak-anak, kakek-kakek dan nenek-nenek bergema di seluruh lembah.
Baca juga:
Raja-raja kecil yang tidak dapat mempertahankan kampungnya menyerah kalah. Di Huta Ginjang, Meat, dan Tangga Batu, para rajanya dikenakan denda dan wajib sumpah setia pada Belanda. Namun di Gurgur, serdadu Belanda dibikin kerepotan oleh pasukan Batak. Jalan menuju Gurgur terjal, sekira 550-600 meter lebih tinggi. Orang Batak sudah berkumpul di atas dan menggulingkan batu ke arah barisan serdadu Belanda. Di sinilah pasukan Belanda mengalami kerugian besar. Sebanyak 2 orang meninggal sedangkan 12 lainnya cedera.
Di perjalanan menuju Balige, terlihat pemandangan yang miris. Alam Danau Toba yang permai bersanding dengan nuansa kejamnya perang. Di mana-mana terlihat kampung yang hangus masih berasap. Penghuninya bersembunyi di jurang-jurang pegunungan dan langsung lari apabila ada yang mendekati persembunyiannya.
“Itulah saat yang paling menyedihkan bagi kami yang datang sebagai utusan damai dan sekarang kami harus melihat bagaimana penduduk diusir dari rumahnya,” kenang Nommensen dalam laporannya.
Baca juga:
Setelah Balige dimasuki serdadu Belanda, Raja Balige pun menyatakan tunduk. Panas terik melanda ketika Residen Boyle mengadakan inspeksi meninjau daerah Balige, Serdadu yang datang setengah jam kemudian langsung menceburkan diri ke pinggir danau. Untuk kali pertama mereka langsung merasakan kenyaman Danau Toba. Banyak diantara mereka yang memandang hamparan Danau Toba dengan penuh kekaguman. Namun, ada juga yang mengungkapkan perasaan jengkelnya.
“Bahwa bangsa kafir yang jorok itu memiliki bagian dunia yang begitu indah,” demikian umpatan para serdadu pongah itu sebagaimana dikutip Nommensen.
Penaklukkan terus berlangsung hingga Mei 1878 yang dikenal sebagai Perang Toba I (Batak Oorlog). Menurut filolog Uli Kozok, penaklukan ini punya arti penting dan strategis bagi pemerintah Belanda. Tanah Batak dengan kawasan Danau Toba sebagai jantungnya terletak di antara Aceh dan Minangkabau. Dengan demikian, Tanah Batak diharapkan sebagai wilayah penyangga untuk membendung pengaruh Islam. Sementara kawasan ekonomi di Deli yang sedang berkembang dapat terus berjalan dengan aman.
Baca juga:
Lebih dari seabad berselang, tepatnya pada 10 Maret 1996, Pangeran Belanda Bernhard of Lippe-Biesterfeld berkunjung ke Sumatra Utara. Tentu saja Bernhard tidak melewatkan kesempatan menyambangi Danau Toba. Usia sang pangeran kala itu 85 tahun.
Media massa memberitakan aktivitas Pangeran Bernhard yang tidak dapat menyembunyikan kekagumannya saat mengunjungi Danau Toba. Karena itu, dia ingin lagi datang untuk menikmati keindahan danau Toba. Bernhard mengakui Toba seperti kampung halamannya sendiri.
Harian Kompas, 12 Maret 1996 mewartakan, “Pangeran Bernhard ingin namanya diabadikan di Toba.” Tawaran itu datang sendiri dari Bernhard langsung. Pangeran negeri oranye ini mungkin alpa sejarah, bahwa para serdadunya pernah mengumpat di sana usai melakukan penghancuran dan perusakan.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar