Ketika Hantu Kolera Mengamuk di Tanah Batak
Pada awal kemunculannya disebut-sebut sebagai penyakit kutukan. Memaksa para penyerang dari Padri hengkang hingga membuka celah masuknya pengaruh Kristen.
Ada satu masa penyakit misterius melanda Tanah Batak. Ratusan ribu nyawa melayang karena penyakit ini mewabah begitu cepat dan ganas. Orang-orang Batak menyebut penyakit ini dengan nama Begu Attuk.
Mengapa disebut Begu Attuk? Secara harfiah, Begu artinya hantu sedangkan Attuk berarti memukul. Maka jika diterjemahkan Begu Attuk sama dengan hantu yang terus-menerus memukul. Gejalanya adalah muntah-muntah dan buang air besar yang hebat. Mereka yang mengalami penyakit ini mengalami derita kesakitan seperti dipukul pada bagian perut.
Dalam Masyarakat dan Hukum Adat Batak, J.C. Vergouwen, ahli hukum adat kebangsaan Belanda yang pernah betugas di Tapanuli pada 1927-1930, menyebut bahwa Begu Attuk adalah sebutan orang Batak untuk penyakit kolera. Setiap tahun menjelang musim kering, tetua adat yang disebut datu kerap kali memimpin upacara kurban penolak bala akibat wabah Begu Attuk. Namun sejak kapan penyakit ini menjadi momok yang menakutkan bagi orang-orang Batak?
Baca juga: Kala Kolera Menyerang Batavia
Sisa Invasi Kaum Padri
Wabah kolera yang melanda negeri Batak buntut dari penaklukan kaum Padri Minangkabau. Pada 1818, kaum Padri yang dipimpin Tuanku Lelo menyerang ke Tapanuli yang salah satu misinya adalah melakukan islamisasi. Dalam berbagai pertempuran, pasukan Padri jauh lebih unggul karena telah menggunakan pasukan berkuda yang dapat bergerak cepat. Penyerbuan itu menyebabkan sebanyak 200.000 orang Batak tewas.
Betapa banyak jenazah dan bangkai manusia yang dibuang pasukan Padri ke Sungai Batangtoru. Padahal Sungai Batangtoru merupakan induk dari beberapa anak sungai dan menjadi sumber air bagi penduduk di Pahae dan Silindung. Akibatnya, sungai tersebut menjadi penyebar penyakit.
Menurut Mangaraja Onggang Parlindungan Siregar, balatentara Padri mengurung kampung-kampung yang terkena penyakit menular itu. Dari 800.000 penduduk Tanah Batak meliputi Pahae, Silindung, Humbang, dan Toba tersisa hanya 200.000. Pahae menjadi daerah yang populasinya berkurang paling banyak, yakni 90 persen.
Baca juga: Asal-Usul Marga Sinaga
“Sesudah tentara Padri 25% membunuh penduduk asli Tanah Batak, menyusul pula kolera dan pes yang meminta korban 50% (dari penduduk Tanah Batak yang tersisa). Tinggal hanya 25 %,” tulis Parlindungan dalam Tuanku Rao.
Penyebaran wabah kolera ternyata jauh lebih berbahaya daripada serangan pasukan Padri. Bukan hanya menulari orang Batak, penyakit Begu Attuk ini ikut pun menyasar balatentara Padri. Makin lama penularannya kian menggerogoti. Pasukan Padri tidak mampu bertahan lebih lama lagi menghadapi serangan wabah yang mengancam mereka. Satu-satunya jalan menghindari diri dari epidemi yang terus merajalela itu adalah dengan mengundurkan diri. Penyakit tersebut bahkan membuat laju tentara Padri menguasai Tanah Batak bagian utara terhenti. Pada 1820, mereka mundur kembali ke Minangkabau.
“Ternyata dalam waktu hanya sekitar tiga tahun, pasukan Padri memang terpaksa hengkang dari Tanah Batak Utara, terutama sebagai akibat serbuan kejam ‘jenderal alam’, yakni wabah menular yang oleh orang Batak hanya disebut sebagai begu attuk,” tulis Pirmian Tua Dalan Sihombing dalam Pendeta Mangaradja Hezekiel Manullang, Gelar Tuan Manullang.
Membuka Celah Kristenisasi
Penyakit kolera terus bercokol sejak pembumihangusan tentara Padri atas Tanah Batak. Banyaknya mayat-mayat yang bergelimpangan tidak sempat dikuburkan dan dibuang begitu saja ke sungai. Selain Sungai Batangtoru, Sungai Sigeaon dan Sungai Situmandi di dekat Taruntung jadi ikut tercemar. Petaka ini menyebabkan berkembangnya penyakit di seluruh Tanah Batak. Para datu pun kelabakan mencari cara menyembuhkan penyakit ini.
“Akibat perjuangan yang sengit ini tidak ada kesempatan mengubur mayat dan dibiarkan saja busuk sendiri. Akibat dari mayat ini timbullah penyakit kolera dimana-mana,”tulis T.E. Tarigan dalam Struktur dan Organisasi Masyarakat Toba.
Situasi yang terjadi di Tanah Batak menarik perhatian Sir Thomas Stamford Raffles. Gubernur Jenderal Inggris di Asia. Pada 1823, Raffles mengadakan rapat terbatas. Dalam rapat itu dilakukan pemetaan kawasan. Aceh dan Minangkabau adalah kawasan beragama Islam sedangkan Tanah Batak-Tapanuli menjadi kawasan beragama Kristen.
Baca juga: Mengarahkan Raffles ke Tanah Harapan
Raffles begitu semangat mendorong misi penginjilan ke kalangan orang Batak. Menurutnya Tapanuli khususnya bagian utara harus secepatnya di-Kristen-kan. Apalagi wilayah tersebut sudah ditinggalkan pasukan Padri.
“Beberapa sumber menyatakan bahwa Raffles mencoba memisahkan orang Aceh Islam yang kuat di sebelah utara Tanah Batak dari orang Minangkabau Islam yang kuat di sebelah selatan,” tulis Paul B. Pedersen dalam Darah Batak dan Jiwa Protestan: Perkembangan Gereja-Gereja Batak di Sumatra Utara.
Seruan Raffles itu disambut dengan pengiriman tiga misionaris dari Baptist Mission Society of England. Mereka berangkat dari Calcutta, India menuju Tapanuli. Salah satunya ialah seorang pendeta bernama Nathaniel Ward.
Baca juga: Kado Natal 1000 Gulden
Nathaniel Ward ahli dalam bidang kesehatan. Dia ditunjuk untuk menyelidiki wabah kolera yang berjangkit di Silindung dan Toba. Penyakit inilah yang menggagalkan pengislaman Tanah Batak. Turut bersama Ward, dua orang pendeta lainnya. Richard Burton seorang linguis dan etnolog yang bertugas menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Batak. Satu lagi adalah Pendeta Evans, seorang guru yang akan mendirikan sekolah-sekolah Kristen di Tapanuli. Dengan demikian, sejak para misionaris itu bergerak dimulailah siar Kristen di Tanah Batak.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar