top of page

Sejarah Indonesia

Kehidupan Di Tangsi Knil Yang Kumuh

Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh

Sisi kelam kehidupan sosial dalam barak militer KNIL. Mulai dari diskriminasi terhadap tentara pribumi hingga fenomena “anak kolong”.

16 April 2020

Dengarkan artikel

bg-gray.jpg
bg-gray.jpg
camera overlay
camera_edited_30.png

Batalyon Infanteri V (KNIL) yang dokenal dengan sebutan Andjing NICA. (Arsip Nasional Belanda)

Setelah lulus sekolah pendidikan perwira cadangan, resmilah Abdul Haris Nasution menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). Nasution tergolong perwira rendahan. Pangkatnya masih pembantu letnan satu. Bersama Kartakusumah, rekannya sesama bumiputra, Nasution ditempatkan dalam Batalion X, Kompi Jawa di bilangan Senen, Batavia.


“Kehidupan dalam tangsi ‘kompeni’ adalah merupakan pengalaman baru, terutama di mana terasa diskriminasi antara suku, Kompi I adalah Belanda, Manado, dan Kompi III adalah Jawa. Skala gaji dan menu makanan juga tidaklah sama,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda.   


Nasution menuturkan kegiatan sehari-hari para serdadu adalah baris-berbaris di Lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Ada kalanya latihan luar lapangan atau latihan menembak di Sunter. Sesekali Nasution ikut komandan kompi meninjau persiapan perbentengan di Cilincing.


Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke tangsi, Nas mengalami kehidupan sosial yang sangat berbeda. Menjaga ketertiban bukan perkara gampang. Pada siang hari, kamar-kamar mesti dikosongkan dan diinspeksi oleh petugas piket.  


“Di Batalion X inilah saya mengalami kehidupan ‘kompeni’, yang melahirkan sebutan ‘anak kolong’,” ujar Nasution. “Kiranya sulit memelihara privasi dalam asrama demikian. Dan anak-anak pun sudah banyak yang tahu.”


Nasution tidak mengungkapkan secara gamblang seperti apa anak kolong yang dimaksud. Namun menurut Misbach Yusa Biran, seniman yang sering nongkrong di kawasan Senen, anak dari serdadu berpangkat prajurit disebut sebagai “anak kolong”. Istilah ini muncul karena tentara berpangkat prajurit diharuskan tinggal dalam tangsi. Mereka hanya diberi satu kamar sempit untuk satu keluarga sehingga anak-anak terpaksa tidur di kolong ranjang.


Misbach juga menyebut, kawasan sekitar Batalion X tempat Nasution bernanung ini menjadi wilayah yang sangat “angker”. Pribumi yang lewat dekat sana sering dicap pro-Indonesia dan akan disiksa, termasuk oleh anak kolong. Maka tidak heran kalau kelompok anak kolong dikenal karena kenakalannya.  


“Mereka sering berkelahi dengan anak kampung, orang kelas bawah. Anak serdadu menghina anak kampung dan sebaliknya mereka dikatai sebagai anak kolong,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel.


Menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, dalam lingkungan tentara kolonial, pergundikan dan pelacuran merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Serdadu pribumi dan Eropa hidup bersama dalam tangsi-tangsi prajurit. Para istri dan anak-anak prajurit pribumi mempunyai tempat tersendiri dalam tangsi. Sementara itu, serdadu-serdadu Eropa hidup bersama nyai (gundik) mereka.


Sepertinya kenyataan miris itulah yang disebut Nasution dengan “sulitnya memelihara privasi.” Menurut Nasution, pagi hari menjadi waktu yang paling merepotkan dalam kehidupan tangsi. Keluarga serdadu (anak dan istri) harus lekas membersihkan tempat dan pergi. Suara menangis anak-anak selalu ramai. Bocah-bocah ini pun kadang tidak sempat buang hajat ke kakus. Kartakusumah sewaktu bertugas jadi komandan piket pernah diuji kesabarannya karena menyakiskan seorang anak yang berak sembarangan di pekarangan.


“Namun demikian kehadiran keluarga-keluarga ini ada pula segi enaknya. Kami selalu dapat memesan nasi pecel dari dapur bersama,” ujar Nasution berkelakar. Demikianlah pengalaman Nasution di tangsi Belanda dalam masa awal bertugas sebagai tentara jauh sebelum menjadi jenderal dalam ketentaraan Republik Indonesia. 

Komentar

Dinilai 0 dari 5 bintang.
Belum ada penilaian

Tambahkan penilaian
Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Hind Rajab dan Keheningan yang Memekakkan Telinga

Film “The Voice of Hind Rajab” jadi antidot amnesia kisah bocah Gaza yang dibantai Israel dengan 335 peluru. PBB menyertakan tragedinya sebagai bagian dari genosida.
Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Orde Baru “Memfitnah” Orang Dayak

Dulu, orang Dayak dituduh pembakar hutan yang lebih berbahaya dari industri. Padahal, tidak banyak lahan hutan alam Kalimantan yang mereka gunduli.
Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Arsip Korupsi Sejak Zaman Kompeni

Korupsi sejak masa VOC hingga kolonial Belanda terekam dalam arsip. Korupsi akan terus ada karena berkaitan dengan kekuasaan, kewenangan, dan keserakahan manusia.
Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Ziarah Sejarah ke Petamburan (1)

Dari pelatih sepakbola Timnas Indonesia Toni Pogacnik hingga pembalap Hengky Iriawan. Sejumlah pahlawan olahraga yang mewarnai sejarah Indonesia dimakamkan di TPU Petamburan.
Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Foto "Gadis Napalm" yang Kontroversial

Cerita di balik potret bocah-bocah yang menangis histeris saat terjadi serangan napalm di Perang Vietnam. Kini atribusi fotonya jadi polemik.
bottom of page