Kehidupan di Tangsi KNIL yang Kumuh
Sisi kelam kehidupan sosial dalam barak militer KNIL. Mulai dari diskriminasi terhadap tentara pribumi hingga fenomena “anak kolong”.
Setelah lulus sekolah pendidikan perwira cadangan, resmilah Abdul Haris Nasution menjadi tentara Hindia Belanda (KNIL). Nasution tergolong perwira rendahan. Pangkatnya masih pembantu letnan satu. Bersama Kartakusumah, rekannya sesama bumiputra, Nasution ditempatkan dalam Batalion X, Kompi Jawa di bilangan Senen, Batavia.
“Kehidupan dalam tangsi ‘kompeni’ adalah merupakan pengalaman baru, terutama di mana terasa diskriminasi antara suku, Kompi I adalah Belanda, Manado, dan Kompi III adalah Jawa. Skala gaji dan menu makanan juga tidaklah sama,” kenang Nasution dalam memoarnya Memenuhi Panggilan Tugas Jilid 1: Kenangan Masa Muda.
Nasution menuturkan kegiatan sehari-hari para serdadu adalah baris-berbaris di Lapangan Banteng, di depan kediaman Panglima Divisi I KNIL. Ada kalanya latihan luar lapangan atau latihan menembak di Sunter. Sesekali Nasution ikut komandan kompi meninjau persiapan perbentengan di Cilincing.
Baca juga: Yani yang Flamboyan, Nasution yang Puritan
Dalam tugas lapangan, disiplin dijunjung tinggi sebagaimana lumrahnya dunia militer yang keras. Namun ketika kembali ke tangsi, Nas mengalami kehidupan sosial yang sangat berbeda. Menjaga ketertiban bukan perkara gampang. Pada siang hari, kamar-kamar mesti dikosongkan dan diinspeksi oleh petugas piket.
“Di Batalion X inilah saya mengalami kehidupan ‘kompeni’, yang melahirkan sebutan ‘anak kolong’,” ujar Nasution. “Kiranya sulit memelihara privasi dalam asrama demikian. Dan anak-anak pun sudah banyak yang tahu.”
Nasution tidak mengungkapkan secara gamblang seperti apa anak kolong yang dimaksud. Namun menurut Misbach Yusa Biran, seniman yang sering nongkrong di kawasan Senen, anak dari serdadu berpangkat prajurit disebut sebagai “anak kolong”. Istilah ini muncul karena tentara berpangkat prajurit diharuskan tinggal dalam tangsi. Mereka hanya diberi satu kamar sempit untuk satu keluarga sehingga anak-anak terpaksa tidur di kolong ranjang.
Baca juga: Aksi Beken Jagoan Senen
Misbach juga menyebut, kawasan sekitar Batalion X tempat Nasution bernanung ini menjadi wilayah yang sangat “angker”. Pribumi yang lewat dekat sana sering dicap pro-Indonesia dan akan disiksa, termasuk oleh anak kolong. Maka tidak heran kalau kelompok anak kolong dikenal karena kenakalannya.
“Mereka sering berkelahi dengan anak kampung, orang kelas bawah. Anak serdadu menghina anak kampung dan sebaliknya mereka dikatai sebagai anak kolong,” tulis Misbach Yusa Biran dalam Kenang-kenangan Orang Bandel.
Menurut Tineke Hellwig dalam Citra Kaum Perempuan di Hindia Belanda, dalam lingkungan tentara kolonial, pergundikan dan pelacuran merupakan bagian dari realitas sehari-hari. Serdadu pribumi dan Eropa hidup bersama dalam tangsi-tangsi prajurit. Para istri dan anak-anak prajurit pribumi mempunyai tempat tersendiri dalam tangsi. Sementara itu, serdadu-serdadu Eropa hidup bersama nyai (gundik) mereka.
Sepertinya kenyataan miris itulah yang disebut Nasution dengan “sulitnya memelihara privasi.” Menurut Nasution, pagi hari menjadi waktu yang paling merepotkan dalam kehidupan tangsi. Keluarga serdadu (anak dan istri) harus lekas membersihkan tempat dan pergi. Suara menangis anak-anak selalu ramai. Bocah-bocah ini pun kadang tidak sempat buang hajat ke kakus. Kartakusumah sewaktu bertugas jadi komandan piket pernah diuji kesabarannya karena menyakiskan seorang anak yang berak sembarangan di pekarangan.
“Namun demikian kehadiran keluarga-keluarga ini ada pula segi enaknya. Kami selalu dapat memesan nasi pecel dari dapur bersama,” ujar Nasution berkelakar. Demikianlah pengalaman Nasution di tangsi Belanda dalam masa awal bertugas sebagai tentara jauh sebelum menjadi jenderal dalam ketentaraan Republik Indonesia.
Tambahkan komentar
Belum ada komentar