Sebelum berangkat mengantarkan para prajurit ke Papua, Komodor Josaphat Soedarso (selanjutnya disebut Yos Sudarso) pamitan dengan keluarganya. Yos sempat meminta Riyono, anak sulungnya untuk mencium dirinya. Demikianlah Yos Sudarso meninggalkan rumah untuk kemudian menjalankan tugas negara sebagai deputi operasi Kepala Staf Angkatan Laut. Jabatan ini setara orang nomor dua di jajaran Angkatan Laut.
“Kenangan bagi Ibu Jos Soedarso yang terakhir hanya berupa pesan singkat, ‘Jaga baik-baik anak-anak’,” ungkap Moh Oemar dalam Laksda TNI-AL Anumerta Josaphat Soedarso.
Yos seyogianya tidak direncanakan ikut dalam operasi pendaratan ke Kaimana, Papua. Misinya saat itu hanya mempersiapkan pasukan pendarat berangkat dari Pangkalan Udara Leftuan, Kepulauan Kei. Namun, Yos memutuskan turut serta dalam operasi pendaratan itu ketika merencanakan teknis infiltrasi bersama Kolonel Moersjid, asisten operasi Angkatan Darat. Kedua perwira ini sepakat melenceng dari perintah operasi untuk menyusup bersama pasukan garis depan sekalgus wujud dukung moril.
Baca juga:
Jos Soedarso Sebelum Pertempuran di Laut Aru
Tiga kapal pendarat berjenis kapal motor torpedo dipersiapkan. Masing-masing komandannya ialah Mayor Laut Samuel Moeda (KRI Harimau), Kapten Laut Wiratno (KRI Matjan Tutul), dan Letnan Laut Sidhoparomo (KRI Matjan Kumbang). Selain mereka, Mayor Rudjito dari Angkatan Darat bertugas sebagai komandan operasi pendaratan.
Pukul 09.00 pagi, 15 Januari 1962, di atas kapal komando KRI Multatuli, berlangsunglah pengarahan menjelang keberangkatan. Pengarahan dipimpin oleh Kolonel Laut Soedomo yang bertugas sebagai perwira pelaksana operasi. Pada akhir pengarahan, Yos Soedarso memilih sendiri kapal yang akan ditumpanginya dengan melempar “undi”.
“Kapal mana yang komandannya termuda?” ujar Yos Soedarso.
“Kapten Wiratno, Komodor,” jawab Wiratno, komandan Matjan Tutul.
“Bapak ikut kapalmu, Kapten,” kata Yos Soedarso sambil memalingkan pandangannya kepada Wiratno.
Baca juga:
Infiltrasi Nekat ke Irian Barat
Padahal, Soedomo telah menawarkan agar Yos Sudarso menaiki KRI Harimau. Namun, Yos sudah kadung menetapkan pilihannya. Moersjid yang tadinya ditempatkan di KRI Matjan Tutul lantas mengajukan protes. Menurutnya kurang lazim menempatkan dua pimpinan angkatan selama operasi di wilayah perbatasan dalam satu kapal. Soedomo akhirnya memindahkan Moersjid ke KRI Harimau bersamanya.
Pada jam-jam terakhir sebelum iring-iringan kapal bertolak, Yos Sudarso menghampiri Mayor Samuel Moeda yang sudah dikenalnya akrab. Selain sebagai komandan KRI Harimau, Sam merupakan komandan paling senior dari ketiga kapal motor torpedo. Perwira ALRI dengan pangkat terakhir Laksamana (Purn.) ini mengenang gurauannya dengan Yos Sudarso.
“Sam, saya akan ke darat, kalau tidak kembali, Sam yang salah!,” kelakar Yos Sudarso.
“Bagaimana saya bisa jaga Bapak kalau di kapal lain,” balas Samuel Moeda seraya tertawa.
Baca juga:
Percakapan itu terjalin beberapa saat sebelum keduanya memasuki pesawat masing-masing untuk sampai ke pangkalan kapal. Sesampai di pangkalan, Yos memasuki KRI Matjan Tutul. Sementara itu, dalam perjalanan menuju KRI Harimau, topi Samuel Hoeda terjatuh sendiri tanpa ada angin.
“Kejadian itu membuat Mayor Samuel tidak tenang dan menafsirkan sebagai firasat, bahwa pada dirinya akan terjadinya sesuatu yang tidak baik,” tulis tim Pusat Sejarah ABRI yang mewawancarai Samuel Moeda pada 15 November 1990 dalam Trikomando Rakyat: Pembebasan Irian Barat.
Pukul 17.00, kapal-kapal motor torpedo mulai bertolak dari Pulau Ujir menuju Kaimana. Di tengah lautan Arafuru, iring-iringan kapal tersebut terpergok oleh pesawat Neptune Belanda yang kemudian menghadang iringan. Atas instruksi Yos Sudarso, KRI Matjan Tutul terus melaju dan memberikan perlawanan. Sementara dua kapal lainnya, punya kesempatan putar haluan untuk mundur.
Baca juga:
Posisi AURI dalam Insiden Laut Aru
Menjelang malam, KRI Matjan Tutul menghadapi gempuran dari dua pesawat Neptune dan dua kapal penghancur (destroyer) Belanda. KRI Matjan Tutul terkepung dalam pertempuran satu lawan empat itu. Sekira pukul 22.30, KRI Matjan Tutul mendapat tembakan berat dari sepasang destroyer Belanda, yakni Evertseen dan Kortenaer.
Dalam kondisi terdesak, Yos Sudarso segera meraih Radio Telefoni (RTF) dan meneriakan komando terakhir-nya: “Kobarkan semangat pertempuran! RI Matjan Tutul tenggelam dalam pertempuran di laut secara gentlemen and brave."
Sejarah mencatat, KRI Matjan Tutul akhirnya tenggelam bersama Yos Sudarso, Kapten Wiratno dan 22 prajurit lainnya yang terkubur di lautan lepas. Peristiwa itu hingga sekarang diperingati sebagai Hari Dharma Samudra pada setiap 15 Januari.