TIGA orang suku Tobelo Dalam atau Togutil yang keluar dari hutan tempat mereka hidup untuk menyambangi sebuah pertambangan di Kaorehe, Pulau Halmahera, menjadi berita yang viral. Mereka, yang juga disebut dengan O’Hongana Manyawa (orang yang mendiami hutan), berpakaian sangat sederhana layaknya tribal dari masa lalu. Hidup Ketiganya tampak terganggu dengan banyaknya pembukaan hutan.
“Sebagian orang mungkin beranggapan ini kejadian biasa, bahkan jadi tontonan menarik. Namun bagi saya, ada sesuatu yang tidak benar di sini. Ya, mereka kehilangan habitat penting itu yang sekian tahun lamanya menopang hidup mereka, habitat yang mereka pertahankan sebagai rumah dan karena itu, habitat tersebut berkontribusi terhadap kelangsungan hidup manusia dan ekosistem lainnya,” ujar Munadi Kilkoda, aktivis masyarakat adat di Maluku Utara, dikutip news.detik.com, 27 Mei 2024.
Baca juga: Saat Bajak Laut Prancis Menguasai Padang
Suku Tobelo adalah penghuni sisi utara Pulau Halmahera, Maluku Utara. Sisi utara Halmahera berseberangan dan dekat dengan Pulau Morotai. Di antara orang Morotai sendiri ada yang merasa bahwa mereka adalah keturunan Tobelo.
Tidak tepat bila menyebut suku Tobelo sebagai suku terasing. Sebab, seperti beberapa suku lain yang hidup terkait dengan laut di Nusantara, ada masa ketika orang Tobelo dikenal sebagai bajak laut. Sekitar abad ke-19, seperti disebut Olaf Schumann dalam Menghadapi Tantangan, Memperjuangkan Kerukunan, orang Tobelo adalah bajak laut yang dikenal sampai ke Pulau Jawa.
Sewaktu Pangeran –kemudian Sultan– Nuku Muhammad Amiruddin (1834-1805) melawan maskapai dagang Belanda Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) dan Kaicil Gay Jira, sultan Tidore yang bersekutu dan diangkat Belanda, hingga menang, dia menggunakan bantuan orang-orang laut di Indonesia Timur. Terutama pelaut Papua.
“Tetapi, di samping itu, pelaut Halmahera juga ikut berperan –suku bangsa Tobelo, Galela, Weda, Maba dan Patani disebut sebagai unsur penting dalam kekuatan laut Nuku,” tulis Adrian Bernard Lapian dalam Orang Laut Bajak Laut Raja Laut: Sejarah Kawasan Laut Sulawesi Abad XIX.
Baca juga: Hikayat Sidi Mara, Bajak Laut Pantai Barat Sumatra
Setelah Nuku meninggal, orang Tobelo tetap banyak yang hidup di laut. Namun, pada akhir abad ke-18 orang Tobelo sudah dianggap sebagai bajak laut. Reputasi itu meningkat pada awal abad ke-19.
Pada 1850, daerah operasi mereka sudah sampai Jawa. Dengan membawa armada 15 perahu besar, pada Oktober 1850 mereka memasuki Pulau Bawean di utara Jawa Timur saat mayoritas penduduk pria pulau itu sedang berlayar. Mereka menangkapi penduduk pulau itu untuk kemudian dijual sebagai budak. Ulah mereka sampai membuat pemerintah kolonial berusaha melacak para bajak laut Tobelo namun tak menemukannya.
Kerajaan-kerajaan yang berada di sekitar Halmahera pun khawatir dengan kiprah bajak laut dari Tobelo itu. Keresahan orang-orang di sekitar Halmahera itu dibicarakan sultan (raja Islam) dari kerajaan-kerajaan itu kepada pemerintah Hindia Belanda. Sebuah langkah unik kemudian diambil di Halmahera Utara.
“Zending (misi) Protestas baru mulai masuk ke Halmahera Utara (Galela) sekitar tahun 1866 atas permintaan Sultan Ternate pada pemerintah kolonial Belanda dengan tujuan menentramkan orang Tobelo yang waktu itu ditakuti sampai ke Jawa sebagai bajak laut,” catat Olaf Schumann.
Baca juga: Cheng Ho dan Bajak Laut Buronan di Palembang
Langkah tersebut cukup efektif. Banyak orang Tobelo kemudian menganut agama Kristen.
Meski abad ke-18 sudah ada dari orang Tobelo yang menjadi bajak laut, dunia maritim belum lama digeluti mereka. Pada abad ke-17, orang Tobelo bukanlah orang laut sama sekali. Laut dianggap bukan tempat asal mereka, mereka adalah orang daratan di Pulau Halmahera. Melaut pada abad ke-18 itu adalah hal baru bagi mereka.
“Sumber dari abad XVII mengatakan bahwa pada 1662 orang Tobelo masih berdiam jauh dari pantai. Hal ini disebabkan karena mereka sering diserang oleh bajak laut. Jadi, pada waktu itu mereka belum merupakan suku bangsa yang melaut dan tentu saja belum tahu membajak di laut,” tulis Lapian.*