DIA lebih mirip seorang aktor: berpenampilan dendi, pandai bernyanyi, menari cha-cha dan lihai berakting. Dia selalu punya cara supaya bisa tetap menikmati sebuah pembunuhan: sambil mendengarkan musik, bernyanyi, berfantasi karena marijuana dan tentu menenggak minuman keras.
Malam-malam yang tak terbayangkan mengerikannya bagi sang korban adalah aksi teatrikal yang fantastis bagi dirinya. Anwar Congo, nama lelaki tua itu, seperti mendatangkan mimpi buruk dari masa lalu.
Tapi dalam film The Act of Killing besutan sutradara Joshua Oppenheimer, mimpi buruk itu dihadirkan sebagai tontonan yang penuh satire sekaligus menelanjangi kenyataan yang terjadi pada masa lalu bangsa ini. Sehingga perasaan yang menyeruak saat menonton semua “ketelanjangan” itu tak lain adalah rasa malu yang meluap-luap: di mana nalar dan nurani yang tak bekerja dikemas menjadi satu paket tontonan.
Congo mengklaim telah berhasil menemukan sebuah sistem pembasmian pengikut komunis yang lebih “efisien, manusiawi, kurang sadis dan juga tidak menggunakan kekerasan yang berlebihan.” Dia mengaku kerepotan dengan cara membunuh yang biasa: menyembelih korban menyebabkan terlalu banyak darah mengalir mengotori lantai. Pada seutas kawatlah dia menemukan cara yang “manusiawi” dan “efisien” itu. Korban dibelit lehernya, ditarik sekuat tenaga sampai tewas kehabisan nafas. Demikian cara “kurang sadis” itu dilakukan.
Baca juga: Menganyam Fakta dan Fiksi dalam The Act of Killing
Tentu ini bukan perkara hiburan belaka, seperti seperti layaknya film-film Hollywood atau Bollywood. Ini sebuah rekonstruksi peristiwa yang langsung diperankan oleh pelakunya dari tempat kejadian perkara. Mempertontonkan sisi keji dari seorang Congo tapi juga di bagian lain memperlihatkan bahwa dia seorang manusia yang bisa traumatik atas apa yang telah dilakukannya.
Oppenheimer berhasil mengayun-ayun perasaan penonton dalam melihat sosok Congo. Congo bisa hadir sebagai kakek yang bijak ketika dia menasehati cucunya untuk meminta maaf kepada seekor bebek yang telah dibuat pincang kakinya. Dan saat adzan berkumandang dia berseloroh, “ini bapaknya PKI yang adzan ini. Untung bapaknya gak dapat ke tangan awak dulu, kalau dapat, mati dia.”
Nasib orang komunis seperti ada di tangannya dan kekuasaan untuk membolak-balik nasib itu datang sejak pengujung Oktober 1965, setelah berita-berita di koran yang dikuasai tentara menyiarkan secara sepihak tentang peristiwa 1 Oktober di Lubang Buaya. Itulah saat kebenaran jadi milik yang menang dan mereka dapat membenarkan tindakan apapun terhadap yang kalah.
Baca juga: Enam Penghargaan Lagi untuk Jagal
Congo pun tak merasa bersalah mengemban misi pembunuhan itu. “Kalau mereka yang menang, kita yang dihabisi,” begitu permakluman yang selalu didengungkan oleh para pelaku, kendati faktanya tak demikian. Tapi lagi-lagi, yang menang “berhak” membuat pembenaran atas aksinya, seperti yang dikatakan Adi, kawan Congo, “Saya yang menang, saya mesti juga bikin definisi kejahatan perang,” katanya menjawab kemungkinan perkara itu dibawa ke mahkamah internasional.
Perdana Menteri Inggris Winston Churchil, dalam sebuah pidatonya di tengah gemuruh Perang Dunia Kedua, pernah pula berkata “sejarah ditulis oleh para pemenang.” Tapi sekarang, dengan cara seperti apa para pemenang meraih kemenangannya, merupakan kisah tersendiri dalam sejarah yang tetap harus ditulis. Ia bisa kisah tentang epik heroisme, namun tak mustahil ada jingoisme di dalamnya.
Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik 1965-1966
Aksi Congo sama sekali bukan tentang heroisme, seperti yang dirayakan para pemuda berjaket loreng oranye pada sebuah acara talkshow di TVRI Medan, sebagaimana yang ditunjukkan dalam film ini. Aksi Congo pada hari-hari di tahun 1965-1966 bermula dari ketidaktahuan yang berakhir sebagai sebuah tragedi: bagaimana bisa seseorang yang membunuh hanya karena asumsi: kalau tidak membunuh akan dibunuh.
Sesat pikir dalam memahami peristiwa G30S 1965 juga terlihat dari cara mewajarkan pembunuhan terhadap anggota dan simpatisan PKI. Mereka seakan menempatkan korban, yang komunis itu, pantas mati supaya kehidupan manusia yang lebih baik. Alasan Congo sederhana: karena kaum komunis membuat film Amerika tak lagi masuk bioskop. Bioskop sepi, Congo kurang rezeki. Absurd!
Baca juga: Penemuan 16 Titik Kuburan Massal di Purwodadi
Dari segala macam ketidakjelasan itu lantas muncul beberapa sosok tokoh publik, mulai dari pejabat kementerian sampai mantan wakil presiden. Semua menyatakan bahwa premanisme itu berguna dan baik adanya. Kemunculan tokoh-tokoh tersebut dalam film ini memperlihatkan bahwa negara lebih menyerupai gelanggang sirkus dengan begitu banyak atraksi kepentingan kelompok, ketimbang arena politik yang memperjuangkan keperluan orang banyak.
Pada akhirnya, sejarah bukan soal menang atau kalah tapi soal bagaimana memuliakan kemanusiaan; menempatkan kemanusiaan pada tempat yang setinggi-tingginya. Dan kini sejarah bukan lagi hanya milik pemenang, di mana sang pemenang bisa sesuka hati menentukan narasi sejarah sembari mencuci tangan dari jerat hukum.