Suatu hari pada Mei 1957, Sumitro Djojohadikusumo menemui Sutan Sjahrir, ketua umum Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan mantan perdana menteri, di kediamannya di Jalan Jawa, Jakarta. Dia mengungkapkan niatnya untuk bergabung dengan gerakan di daerah. Saat itu, dia giat mendorong otonomi daerah. Sejak menjadi menteri keuangan (1952–1953), dia telah merasakan adanya ketimpangan pembangunan antara pusat dan daerah.
Sewaktu ditugaskan menyusun anggaran pertama Republik Indonesia, Sumitro mengeluhkan kecilnya anggaran untuk daerah. Dia memperjuangkan supaya ada undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah agar lebih banyak dana yang disalurkan ke daerah. Namun, birokrasi dan kepentingan pusat menghalangi.
“Dalam hati Sumitro mengeluh, ‘mereka berkuasa, dan hendak menguasai daerah melalui anggaran’,” tulis Hendra Esmara dan Heru Cahyono dalam biografi resmi Sumitro Djojohadikusumo, Jejak Perlawanan Begawan Pejuang.
Sjahrir tidak keberatan dengan keputusan Sumitro. Namun, Sjahrir melihat gerakan di daerah terpisah-pisah dengan adanya Dewan Banteng, Dewan Gajah, dan Dewan Garuda, yang dipimpin oleh para panglima militer.
“Tidak baik terpisah-pisah,” kata Sjahrir. “Usahakan mereka menjadi satu, supaya kuat untuk membendung kekuatan-kekuatan destruktif yang merusak Sukarno.”
Itulah pertemuan terakhir Sumitro dengan Sjahrir. Sumitro kemudian berangkat menuju Sumatra. Dia bergabung dengan PRRI (Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia). Dalam kabinet PRRI, dia menjabat menteri perhubungan dan pelayaran.
Baca juga: E.S. Pohan dari PID ke PRRI
Selain Sumitro, anggota dan simpatisan PSI lain yang bergabung dengan PRRI antara lain Sutan Mohammad Rasjid (wakil PRRI di Eropa), anak angkat Sjahrir, Des Alwi (juru bicara PRRI di Singapura, Manila, dan Hongkong), E.S. Pohan (wakil PRRI di Singapura), dan Tan Po Goan, anggota parlemen dari PSI yang menyeberang ke Singapura.
Sumitro bergerak di luar negeri untuk mencari dukungan kepada PRRI/Permesta. Dukungan datang dari Amerika Serikat lewat operasi CIA.
Menurut Audrey R. Kahin dan George McT. Kahin dalam Subversi Sebagai Politik Luar Negeri, penunjukan Sumitro sebagai pencari dana dan senjata memang tepat. Selama masa awal revolusi, dia orang penting dalam upaya Republik Indonesia mendapatkan dana dari luar, terutama dari kalangan usaha di Amerika Serikat dan negara-negara lain.
“Sumitro sering mengadakan hubungan dengan kantor CIA di Singapura yang dipimpin seorang teman yang dikenalnya di Jakarta, dan dengan para pejabat pemerintah Malaysia, Filipina, Thailand, Taiwan, serta para pengusaha Inggris, Belanda, dan Cina perantauan,” tulis Kahin.
Baca juga: Senjata CIA untuk PRRI
Menurut Hendra dan Heru, Sumitro mengakui bahwa para pemberontak mengadakan kontak dengan CIA untuk mendapatkan senjata. Namun, dia menolak keras tuduhan bahwa dia orang CIA. Sebab, sebagaimana gerakan bawah tanah, dia juga melakukan kontak dengan intelijen lain, seperti intelijen Korea dan Prancis.
“Saya tahu George Kahin, profesor dari Universitas Cornell, mengidentifikasi saya sebagai orang CIA. Dia benar-benar ngawur,” kata Sumitro. “Banyak orang CIA justru membenci saya sebab saya tidak mau terlalu tunduk. Mereka kan mau mandori alias mendikte. Saya menolak didikte. Kalau mau kerja sama oke-lah, tinggal tukar pikiran dan informasi. Tapi, tidak hanya dengan Amerika, dengan intelijen dari Malaysia saya juga bina hubungan. Demikian pula dengan intelijen dari Thailand.”
Komitmen pada CIA
Sjahrir kemudian mengutus Djoeir Moehamad, anggota pimpinan pusat PSI, untuk menemui Sumitro. Menurut Sjahrir, Djoeir cocok dikirim ke Sumatra karena selama revolusi kemerdekaan cukup dikenal di sana. Sebagai anggota DPRS pada 1954, dia juga dikenal sebagai pengusung mosi otonomi daerah.
“Bung juga cukup populer di kalangan tokoh-tokoh politik dan militer di sana,” kata Sjahrir kepada Djoeir dalam Memoar Seorang Sosialis.
Dari Sjahrir, Djoeir menemui mantan Wakil Presiden Mohammad Hatta di rumahnya di Jalan Diponegoro, Jakarta. Inti pesan Hatta dan Sjahrir sama: “Perjuangan daerah untuk mewujudkan otonomi yang luas hendaklah konstruktif. Namun, dukungan partai pada perjuangan daerah disertai peringatan bahwa perjuangan daerah janganlah berkembang ke arah pembentukan pemerintahan tandingan sebab yang demikian destruktif dan menimbulkan malapetaka bagi bangsa Indonesia.”
“Bung Hatta menyatakan bahwa suatu pemberontakan untuk membentuk pemerintahan yang lain akan menimbulkan korban yang tidak sedikit, setidak-tidaknya akan mengakibatkan perkembangan daerah yang bersangkutan akan tertinggal selama satu generasi,” kata Djoeir.
Baca juga: Djohan Sjahroezah di Bawah Panggung Pergerakan
Esoknya, Djoeir terbang menuju Sumatra membawa pesan tersebut. Rupanya partai juga mengutus Sekretaris Jenderal PSI Djohan Sjahroezah dan Imam Bok Slamet. “Prioritas pertama kami sebagai anggota pimpinan pusat PSI adalah menemui Bung Cum (panggilan akrab Sumitro, red.),” kata Djoeir.
Mereka berusaha menemui Sumitro di rumah anggota PSI, Egon Hakim di Padang. Namun, Sumitro sudah pergi ke Payakumbuh. Mereka menyusulnya, tapi kalah cepat. Sumitro sudah pergi ke Pekanbaru terus ke Bengkalis, lantas menyeberang ke Singapura.
“Sumitro dengan sengaja mengelak bertemu utusan-utusan PSI yang dikirim ke Sumatra Barat. Komitmennya pada CIA sudah terlalu kental,” kata Soebadio Sastrosatomo, ketua Fraksi PSI di DPR, dalam Pengemban Misi Politik karya Rosihan Anwar, wartawan senior dan simpatisan PSI.
Menurut Soebadio, adiknya, Soedarpo Sastrosatomo berhasil menemui Sumitro di rumah Egon Hakim. Soedarpo kembali menyampaikan pesan Sjahrir agar jangan terlibat dalam membentuk pemerintahan tandingan. Namun, Sumitro tidak menggubrisnya.
“Soedarpo waktu itu tidak tahu Sumitro sudah bikin deal dengan CIA yang memang sedang berusaha menggoyahkan pemerintah Indonesia yang dikuasai oleh Sukarno,” kata Soebadio.
Baca juga: Sukarno dan Trauma PRRI
Terakhir, Sjahrir mengutus Soebadio untuk menemui Sumitro di Singapura. “Dia memberitahukan kepada saya berapa dan macam apa bantuan yang diterima dari pihak Amerika. Usaha saya menahan gerakannya sia-sia. Dia jalan sendiri terus.”
Soebadio tidak setuju dengan Sumitro yang menerima bantuan CIA untuk PRRI. “Saya menentang CIA atau KGB (Dinas Intelijen Uni Soviet),” kata Soebadio.
Tentang menerima bantuan dari luar negeri itu, kata Soebadio, Sjahrir pernah mengatakan “kamu tahu di mana memulai, tetapi tidak tahu di mana mengakhiri”. Sjahrir pernah berkata kepada Soedarpo bahwa “dalam permainan negara-negara besar itu, begitu masuk dalam jerat KGB tidak bisa lepas dari komunis, begitu juga bila masuk CIA, sampai modar tidak bisa lepas.”
PSI Dibubarkan
Soebadio menyebut Sumitro telah menyulitkan kedudukan partai. PSI tidak mau terlibat dalam PRRI/Permesta, sedangkan Sumitro sudah terlibat jauh. Untuk menyikapi PRRI, pada 14 Februari 1958 Fraksi PSI mengeluarkan pernyataan resmi: PSI mendukung gerakan daerah asalkan konstruktif untuk mewujudkan otonomi yang luas dan demokratis sesuai UUD 1945 dengan cara konstitusional.
PSI juga mengeluarkan Siaran Penerangan pada September 1958 kepada seluruh anggota dan cabang di seluruh Indonesia bahwa “Sesuai dengan Garis Politik dan Perjuangan Partai, maka Partai tak pernah menyatakan persetujuan terhadap apa yang disebut PRRI.”
Dalam Siaran Penerangan itu, PSI juga menyebutkan dua pentingginya yaitu “Sumitro dan Rasjid ikut dalam PRRI adalah di luar pengetahuan partai, apalagi dia tak pernah diberi kuasa bertindak di atas nama partai.” PSI kemudian menjatuhkan sanksi sementara kepada Sumitro. Sebab, untuk memutuskan hukuman partai harus dilakukan melalui sidang partai, di mana dia dapat menjelaskan dan membela diri.
Baca juga: Duet Masyumi-PSI Datangkan Menteri Nazi
“Kita keluarkan statement yang menghukum PRRI. Kita tegaskan tidak setuju dengan pemerintah tandingan. Sumitro sudah diskors oleh partai. Sebabnya karena dia mengadakan perpecahan,” kata Soebadio.
Namun, upaya itu tidak bisa menyelamatkan PSI. Pada 31 Desember 1959, Sukarno menandatangani Penetapan Presiden No. 7/1959 yang mengatur penyederhanaan partai. Pasal 9 menyebutkan bahwa presiden, sesudah mendengar Mahkamah Agung, dapat melarang dan/atau membubarkan partai yang pemimpin-pemimpinnya ikut dalam pemberontakan atau memberikan bantuan, sedangkan partai itu tidak secara resmi menyalahkan perbuatan anggota-anggotanya. Dengan dasar hukum tersebut, pada 17 Agustus 1960, Sukarno mengeluarkan Keputusan Presiden No. 200/1960 yang membubarkan PSI dan Masyumi.
PRRI/Permesta tidak bertahan lama meski mendapat dukungan dari CIA. Operasi militer gabungan pemerintah pusat berhasil memadamkannya. Para perwira dan tiga politisi Masyumi, Sjafruddin Prawiranegara, Mohammad Natsir, dan Burhanuddin Harahap, menyerahkan diri setelah Sukarno memberikan amnesti sebelum 5 Oktober 1961. Namun, Sumitro memilih pergi ke Singapura dan berpindah-pindah negara.
Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI
Menurut Hendra dan Heru, Sumitro kecewa dengan sikap orang-orang PSI mengingat sebelum berangkat dia melakukan pembicaraan dengan Sjahrir, berarti kepergiannya itu atas sepengetahuan dan seizin Sjahrir. Namun, mengapa kemudian partai bersikap seolah tidak mengetahui apa-apa ihwal kepergian Sumitro itu.
“Orang-orang PSI memang begitu, kalau saya masuk kabinet dan gagal mereka bilang ‘itu bukan orang kita. Dia bukan orang partai, dia duduk sebagai perorangan. Itu salah dia!’ Namun, kalau berhasil maka bilang, ‘nah, itu orang kita’. Begitu pula ketika saya bergabung dengan gerakan daerah, mereka lantas bilang bahwa itu ulah Sumitro pribadi,” kata Sumitro yang memutuskan keluar dari PSI.
Dari tempat pelarian, Sumitro sempat sekali mengirim surat kepada Sjahrir, yang isinya: “Kalau mau meneruskan perjuangan, saya akan kirim kapal. Bergabunglah dengan saya, keluar.”
“Namun, tak ada jawaban dari Sjahrir, ini membuat Sumitro semakin kecewa atas sikap teman-teman dari PSI,” tulis Hendra dan Heru.
Sumitro baru kembali ke Indonesia pada 1967, setelah Sjahrir meninggal dan Sukarno dijatuhkan dari kekuasaannya. Dia menjabat menteri perdagangan kemudian menteri negara riset dan teknologi dalam pemerintahan Orde Baru.