Masuk Daftar
My Getplus

E.S. Pohan dari PID ke PRRI

Wakil PRRI di Singapura ini menjalin kontak dengan intelijan Amerika Serikat dan Inggris. Berakhir jadi pendeta.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 04 Jan 2021
E.S. Pohan. (Betaria Sarulina/Historia.id).

Kantornya berada pada salah satu bangunan di belakang gedung Raffles Place, Singapura. Untuk sampai ke sana harus melalui trotoar sempit yang ditaburi noda merah dari ludah sirih seorang penjaga Sikh, bau debu, saluran pembungan, dan air seni. Di sanalah, James Mossman, menemui E.S. Pohan, “duta besar” pemberontak di Asia.

“Mr. Pohan sangat menawan, bahkan periang, tetapi sangat tidak membantu,” kata Mossman dalam Rebels in Paradise: Indonesia’s Civil War. Wartawan BBC ini diduga agen intelijen Inggris, MI6, yang ditugaskan untuk memantau langsung pemberontakan PRRI/Permesta di Sumatra.

Sejarawan Greg Poulgrain dalam Bayang-bayang Intervensi menyebut Pohan bukan hanya kontak PRRI di Singapura melainkan juga bekerja untuk intelijen Inggris, MI5 –dan mungkin juga bekerja untuk Jepang karena dia dulu pernah bekerja pada Kenpeitai (polisi militer Jepang) selama pendudukan pada 1942–1945.

Advertising
Advertising

Baca juga: Operasi Terakhir Frank Wisner di Indonesia

“Pohan juga memiliki kontak dengan wakil nomor satu [Direktur CIA] Allen Dulles di Singapura, Frank Wisner, yang mengetahui hubungan Pohan dengan pihak Inggris,” tulis Poulgrain.

Frank Gardiner Wisner, Deputi Direktur Perencanaan CIA, pernah mengatakan kepada Alfred C. Ulmer, Kepala Divisi CIA untuk Timur Jauh: “sudah waktunya menaikkan suhu panas atas Sukarno dan memanggang kakinya di atas api”.

Wisner pergi ke stasiun CIA di Singapura untuk merencanakan operasi membantu PRRI/Permesta. Indonesia menjadi operasi terakhir Wisner yang berakhir dengan kegagalan.

Polisi Belanda dan Jepang

Pohan mengenyam pendidikan Rechts Hooge School (Sekolah Tinggi Hukum) di Batavia. Dia aktif dalam perkumpulan mahasiswa USI (Unitas Studiosorum Indonesiensis). Mahasiswa yang bergabung dengan USI umumnya penganut sosialisme demokrat yang kemudian bergabung dengan Partai Sosialis Indonesia di bawah Sutan Sjahrir.

Hoegeng Iman Santoso kena gampar Pohan waktu diplonco mau masuk USI. “Kelak, ketika saya ditugaskan sebagai Kepala Reskrim di Jawatan Kepolisian Provinsi Sumatra Utara, masih ada pengalaman lain dengan Elisa Pohan,” kata Hoegeng dalam otobiografinya, Polisi Idaman dan Kenyataan.

Pohan kemudian menjadi anggota PID (Politieke Inlichtingen Dienst) atau Dinas Intelijen Politik yang bertugas mengawasi kaum pergerakan Indonesia. Setelah Belanda kalah, dia bekerja untuk Jepang.

Baca juga: PID Mengawasi Kaum Pergerakan

Menurut sejarawan Peter Post dalam The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War, Kenpeitai (polisi militer Jepang) memanfaatkan keahlian dan jaringan orang Indonesia yang bekerja di PID. Jasa mantan anggota PID sangat berharga bagi Kenpeitai.

Tidak diketahui berapa banyak mantan anggota PID yang bekerja untuk Jepang, tetapi di Bandung dan Surabaya tercatat masing-masing 90 dan 160 orang. “Mantan PID ini bekerja di dalam departemen kepolisian dan dipimpin oleh satu orang Jepang dan satu orang Indonesia, E.S. Pohan,” tulis Post. Pohan mendapat pangkat nitoo keibuho (Pembantu Inspektur Polisi Kelas 2).

Dalam melakukan interogasi, mantan anggota PID menunjukkan kekejaman yang sama dengan Kenpeitai dan Tokko (polisi rahasia Jepang). “Dari bukti yang ada, tampaknya para perwira Kenpeitai menyerahkan sebagian besar penyiksaan terhadap korban kepada PID dan staf polisi, di mana Pohan menjadi sangat terkenal,” tulis Post.

E.S. Pohan, kepala PID Jakarta, dalam koran Pandji Ra'jat, 28 Maret 1947. (The Encyclopedia of Indonesia in the Pacific War).

Salah seorang pemuda pergerakan dan wartawan yang pernah ditangkap Pohan dan seorang polisi Jepang adalah B.M. Diah pada 7 Agustus 1945. “Orang Jepang tidak penting untuk diketahui namanya. Tetapi, orang Indonesia ini bernama Elisa Pohan, yang saya kenal juga,” kata Diah dalam catatannya, Peran “Pivotal” Pemuda Seputar Lahirnya Proklamasi 17-8-45.

Di zaman Belanda, kata Diah, Pohan anggota PID, polisi khusus yang mengamati kegiatan pemimpin-pemimpin politik Indonesia. “PID ini banyak menjerumuskan pemimpin-pemimpin pergerakan kemerdekaan Indonesia di zaman Belanda ke penjara,” kata Diah.

Baca juga: Kisah Asmara Dua Perwarta: BM Diah dan Herawati

Ketika digiring oleh Pohan, Diah berseru kepada istrinya, Herawati, tokoh wartawan perempuan, “Sampai bertemu di Indonesia merdeka...” Pohan menegurnya, “Jangan begitu. Jij (Belanda: kamu) menyusahkan diri sendiri.”

Diah ditahan di sel polisi Pasar Baru, Jakarta, selama delapan hari. Dia dibebaskan pada 15 Agustus 1945, dua hari sebelum Proklamasi kemerdekaan.

“Pohan adalah salah satu dari sedikit orang Indonesia yang ditangkap Belanda setelah Jepang menyerah,” tulis Post. “Dia divonis 12 tahun penjara oleh Pengadilan Sementara di Jakarta.”

Wakil PRRI di Singapura

Pada 1957, Pohan yang lulusan Sekolah Tinggi Hukum bekerja di Kejaksaan Agung di Singapura. Sejarawan Greg Poulgrain dalam The Genesis of Konfrontasi: Malaysia, Brunei, Indonesia, 1945-1965 menyebut Pohan menjadi jaksa di Konsulat Indonesia di Singapura.

“Selama pemberontakan luar Jawa 1958, Pohan (kritis terhadap kepemimpinan Sukarno) berbasis di Singapura sebagai penghubung antara pendukung asing (Amerika Serikat, Inggris, Jepang, red.) dan pemberontak di Sumatra,” tulis Poulgrain.

Baca juga: Senjata CIA untuk PRRI

Selain mendukung pemberontak, Pohan juga membantu kepolisian Indonesia memberantas penyelundupan. “Saya menerima sepucuk surat dari Elisa Pohan yang dulu memplonco saya ketika mau masuk organisasi mahasiswa USI di Batavia (Jakarta),” kata Hoegeng Iman Santoso yang menjabat Kepala Reskrim Kepolisian Provinsi Sumatra Utara.

Dalam suratnya, Pohan memberikan daftar nama penyelundup Tionghoa di kota Medan. Dia meminta agar mereka ditangkap dan diadili.

Baca juga: CIA Kecewa pada PRRI

Di kemudian hari, ketika para pemberontak mendapat amnesti dari Presiden Sukarno, Pohan berkunjung ke rumah Hoegeng. “Tapi saat itu dia sudah menjadi domine atau pendeta Protestan,” kata Hoegeng.

Mereka bercerita masa lalu. Hoegeng berterima kasih atas informasi penyelundup yang diberikan Pohan dari Singapura. Ketika Hoegeng bertanya mengapa masuk PRRI, Pohan menjawab, “Saya tak suka politik Sukarno.”

Hoegeng juga bertanya mengapa Pohan memberikan daftar penyelundup itu kepadanya. “Saya percaya kamu. Kamu bukan komunis,” kata Pohan.

Ketika Pohan menjadi warga negara Amerika Serikat dan tinggal di Seattle, dia sering ke Indonesia dan bertamu ke rumah Hoegeng.

TAG

cia prri permesta hoegeng

ARTIKEL TERKAIT

Sukarno, Jones, dan Green Insiden Hoegeng dan Robby Tjahjadi di Cendana 8 Bea Cukai Loloskan Mobil Selundupan Robby Tjahjadi Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua Gempa Merusak Keraton Bupati dan Masjid Agung Cianjur Ibu Kota Pindah dari Cianjur ke Bandung Gempa Besar bagi Bupati Cianjur Gempa Bumi Mengguncang Cianjur Hoegeng Membuka Buku Hitam Hoegeng Menangkal Bahaya Narkotika