Masuk Daftar
My Getplus

Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia

Petinggi CIA ini ingin membakar kaki Sukarno. Dia menjadi gila dan mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri.

Oleh: Hendri F. Isnaeni | 02 Sep 2019
Kantor pusat CIA.

Alfred C. Ulmer baru saja menempati posisi sebagai kepala divisi CIA untuk Timur Jauh. Sebelumnya, dia menjabat kepala stasiun CIA di Athena, Yunani. Ketika mengambil alih divisi ini, dia hampir tak tahu apa-apa tentang Indonesia. Namun, dia dipercaya penuh oleh Allen Dulles, Direktur CIA.

Ulmer mendapatkan tugasnya ketika pada akhir tahun 1956, Frank Gardiner Wisner, Deputi Direktur Perencanaan CIA, mengatakan kepadanya: “sudah waktunya menaikkan suhu panas atas Sukarno dan memanggang kakinya di atas api”.

Wisner lahir pada 23 Juni 1909. Setelah lulus pendidikan hukum di Universitas Virginia pada 1934, dia berkerja sebagai pengacara di kantor hukum Carter, Ledyard, & Milburn. Pada 1941, enam bulan sebelum serangan Jepang ke Pearl Harbor, dia mendaftar di Angkatan Laut Amerika Serikat. Dia bekerja di kantor sensor Angkatan Laut sampai dipindahkan ke Office of Strategic Services (OSS), pendahulu CIA.

Advertising
Advertising

Wisner ditempatkan pertama kali di Turki, kemudian Rumania, di mana dia menjadi kepala operasi OSS di Eropa Tenggara. Pada Maret 1945, dia dipindahkan ke Wiesbaden, Jerman. Tak lama kemudian, dia kembali bekerja di kantor hukum Carter, Ledyard, & Milburn.

Dua tahun kemudian, pada 1948 Wisner balik lagi ke dunia intelijen untuk mengepalai Office of Policy Coordination (OPC). Unit ini beroperasi secara independen hingga ditempatkan di bawah CIA pada 1950. OPC kemudian diubah menjadi Direktorat Perencanaan CIA.

Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia

Pada 23 Agustus 1951, Wisner menjabat Deputi Direktur Perencanaan CIA, menggantikan Allen Dulles yang diangkat menjabat Direktur CIA. Dalam posisinya ini, Wisner berperan dalam operasi CIA menggulingkan Mohammed Mossadegh di Iran pada 1953 dan Jacobo Arbenz Guzman di Guatemala pada 1954.

Target Wisner berikutnya adalah Sukarno. Dia memberikan “komando” kepada Ulmer untuk memanggang kaki Sukarno.

Menurut sejarawan Baskara T. Wardaya dalam Indonesia Melawan Amerika: Konflik Perang Dingin 1953-1963, sebenarnya tidak seorang pun dalam dinas rahasia itu memahami dengan pasti arti dari “komando” yang diberikan Wisner itu. Namun, sebagai bawahan yang setia, Ulmer menyampaikan perintah itu kepada para pejabat CIA Cabang Nomor 5 dari Divisi Asia Timur (FE/5). Divisi ini membawahi Indonesia dan Malaka, yang menghubungkan CIA dengan dinas intelijen Australia.

Ulmer mengatakan kepada para pejabat CIA itu: “Jika kita tidak mau melaksanakan ‘komando’ itu, maka mungkin saja Santa Klaus akan datang dan mengisi kantong-kantong kita dengan tugas-tugas yang lebih buruk.”

“Seperti diketahui,” tulis Baskara, “rencana para pejabat FE/5 untuk menjalankan ‘komando’ itu nantinya akan didukung sepenuhnya oleh pemerintahan Eisenhower yang kedua, yang secara tragis akan salah membaca situasi di Indonesia.”

Baca juga: CIA Rancang Pembunuhan Sukarno

Menurut Tim Weiner dalam Membongkar Kegagalan CIA, bawahan Ulmer, kepala stasiun CIA di Jakarta, Val Goodell, membuat laporan yang memanas-manasi agar segera membuat operasi. Laporan itu dibawa Allen Dulles ke rapat mingguan di Gedung Putih dalam empat bulan pertama tahun 1957.

Laporan itu berbunyi: “Situasi kritis…Sukarno seorang komunis terselubung…kirimkan senjata. Perwira-perwira Angkatan Darat yang memberontak di Sumatra adalah kunci bagi masa depan bangsa tersebut.” Dalam pesan telegram, Goodell menyebut bahwa “warga Sumatra siap untuk berperang, tetapi mereka kekurangan senjata.”

Wisner kemudian terbang ke stasiun CIA di Singapura. Dia perlu waktu tiga bulan untuk merencanakan operasi. “Perintah untuk operasi datang dari Frank Wisner kepada Al Ulmer yang lalu meneruskannya kepada Mason,” tulis Baskara.

Ulmer membentuk pos-pos komando militer di Pangkalan Angkatan Udara Clark dan Pangkalan Angkatan Laut Subic Bay di Filipina, dua pangkalan terbesar Amerika Serikat di kawasan ini. Bawahan Ulmer, kepala operasi CIA untuk Timur Jauh, John Mason, membentuk sebuah tim kecil perwira paramiliter di Filipina; banyak di antaranya adalah veteran operasi CIA di Perang Korea.

“Mereka mengadakan kontak dengan segelintir tentara pemberontak Angkatan Darat Indonesia di Sumatra dan sebuah kontingen lain yang terdiri atas para komandan militer di Sulawesi,” tulis Weiner.

Baca juga: Pilot CIA Ditembak Jatuh di Ambon

Mason bekerja sama dengan Pentagon untuk mengumpulkan persenjataan: senapan mesin, karabin, bedil, pistol, peluncur roket, mortir, granat, dan amunisi yang cukup untuk sekitar 8.000 tentara pemberontak PRRI/Permesta. Pada 8 Februari 1958, kiriman pertama persenjataan itu diangkut dengan kapal USS Thomaston dan dikawal kapal selam USS Bluegill.

Dengan persenjataan yang dipasok CIA, para pemberontak PRRI/Permesta siap menghadapi pasukan pemerintah. Namun, ternyata mereka tak memberikan perlawanan yang berarti sehingga mudah dipatahkan oleh pasukan pemerintah. Operasi CIA pun gagal, bahkan seorang pilotnya, Allen Pope berhasil ditangkap dan nyaris dihukum mati.

“Agen-agen CIA dan para penasihat mereka mundur ke dalam hutan,” tulis Weiner. Salah satunya adalah Fravel “Jim” Brown yang sempat bertemu dengan Letnan II Benny Moerdani, komandan Kompi A RPKAD (kemudian menjadi Kopassus). Benny tak menyadari kalau Brown adalah agen CIA yang menyamar menjadi staf perusahaan minyak Caltex.

Baca juga: Agen CIA dalam Pemberontakan di Sumatra

CIA, menurut Weiner, nampaknya tidak menyadari fakta bahwa beberapa panglima militer paling berkuasa dalam Angkatan Darat Indonesia telah dilatih di Amerika Serikat. Mereka inilah yang memerangi para pemberontak. “Angkatan Darat, yang dipimpin oleh orang-orang yang antikomunis, sedang berperang melawan CIA,” tulis Weiner.

Lalu, bagaimana dengan Wisner?

“Indonesia merupakan operasi terakhir Frank Wisner sebagai kepala dinas rahasia,” tulis Weiner.

Wisner pulang dari Timur Jauh pada Juli 1958 di batas akhir kewarasannya. Di pengujung musim panas, dia sudah menjadi gila. Dia didiagnosis mengalami psychotic mania. Gejalanya sudah ada selama bertahun-tahun, seperti keinginan mengubah dunia dengan sekehendak hatinya, pidato-pidato yang bernada tinggi, dan misi-misi bunuh diri.

Ahli penyakit jiwa dan obat-obatan penyakit jiwa temuan terbaru tidak membantu sama sekali. Akhirnya, tindakan pengobatan yang diambil adalah dengan kejut listrik (electroshock). Kepalanya disetrum dengan aliran listrik yang cukup untuk menyalakan bohlam 100 watt.

Wisner mengalami gangguan jiwa serius pada September 1958. Dia pun digantikan oleh Richard M. Bissell sebagai Deputi Direktur Perencanaan CIA. Setelah melalui pemulihan yang panjang, Wisner kembali bertugas sebagai kepala stasiun CIA di London.

“Dia menjadi kurang pintar dan kurang berani, dan berhenti dari jabatannya sebagai kepala stasiun CIA di London,” tulis Weiner.

Wisner pensiun dari CIA pada 1962. Dia kemudian mengakhiri hidupnya dengan bunuh diri pada 29 Oktober 1965.

TAG

Intelijen CIA

ARTIKEL TERKAIT

D.I. Pandjaitan dan Aktivis Mahasiswa Indonesia di Jerman Sukarno, Jones, dan Green Sepak Terjang Spion Melayu Adam Malik Sohibnya Bram Tambunan Jenderal Nasution Terseret Kasus Pembajakan Pesawat Garuda Operasi Monte Carlo, Misi Intelijen Koes Bersaudara Satu-satunya Perempuan Amerika yang Dieksekusi Hitler Bapaknya Indro Warkop Jenderal Intel Ali Moertopo Disebut Pernah Jadi Agen Belanda Secuil Cerita Jenaka dari Cianjur Semasa Pendudukan Saudara Tua