Howard Jones, duta besar Amerika Serikat untuk Indonesia, ingin pensiun pada 1964. Namun, Presiden Sukarno mencegahnya. Ini membuktikan eratnya hubungan mereka. Saking dekatnya, sampai disebut tak ada seorang asing pun yang lebih erat hubungannya dengan Sukarno daripada Howard Jones.
Jones pun melanjutkan tugasnya. Sampai pada Mei 1965, Washington mengirimkan pesan kepada Marshall Green ketika dalam perjalanan ke Korea sebagai wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh. Pesan tak terduga itu menanyakan apakah Green bersedia menjadi duta besar untuk Indonesia?
Green sendiri merasa tidak memiliki keahlian tentang Indonesia. Awalnya, antara 1963 hingga 1965, sebagai wakil Asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh, dia memusatkan perhatian pada Tiongkok, Jepang, dan Korea. Namun, menjelang tahun 1964, setelah Perang Vietnam makin menyerap waktu dan tenaga atasannya, William Bundy, dan Indonesia semakin banyak menimbulkan masalah bagi diplomasi Amerika, Green pun terseret ke dalam pembuatan keputusan mengenai Indonesia.
Baca juga: CIA Danai Demonstrasi
Pengumuman Green sebagai duta besar Amerika untuk Indonesia yang baru tertunda sekira dua minggu. Akhirnya, Jones bisa meyakinkan Sukarno agar menyetujui Green sebagai penggantinya.
“Namun demikian, Sukarno juga membisiki pers yang dikuasai oleh komunis di Jakarta agar menyiarkan bahwa Green bukan teman kekuatan yang baru muncul di Jakarta, melainkan telah lama bekerja secara rahasia dengan CIA dalam membantu kekuasaan reaksioner di Asia Timur,” kata Marshall Green dalam Dari Sukarno ke Soeharto: G30S-PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar.
Maksudnya, Green dituding berperan dalam membantu kudeta militer di Korea. “Referensi mengenai bantuan saya bagi kekuatan reaksioner sangat menyesatkan,” kata Green. “Sebenarnya, ketika saya mengepalai Kedutaan Besar kami di Korea dalam bulan Mei 1961, segera (tanpa menunggu perintah dari Washington) dan secara terbuka saya menentang kup militer yang mendongkel pemerintahan Chang Myun yang terpilih secara bebas.”
Baca juga: Teman Lama Ternyata CIA
Pada 26 Juli 1965, lima hari setelah tiba di Indonesia, Green menyampaikan surat kepercayaan kepada Sukarno. Sukarno menyampaikan jawaban yang berakhir dengan serangan terhadap kebijakan luar negeri Amerika.
Setelah acara itu, Green didemo ribuan mahasiswa Sukarnois yang membawa plakat-plakat anti-Amerika dan mengatakan bahwa kehadirannya tidak diharapkan. “Saya menerima perutusan para demonstran di beranda. Juru bicara kelompok itu menyampaikan pidato panjang tentang imperialisme, CIA, dan sebagainya,” kata Green.
Serangan demonstran kembali terjadi pada September 1965. Massa dari pemuda komunis mengepung Konsulat Amerika di Surabaya pada pagi buta. Sepanjang hari itu, para pegawai tak bisa masuk. Untung wakil Konsul dapat menyelinap masuk. Atas perintah Green, dia membakar semua berkas rahasia. Demonstran juga menyerang Kedutaan Besar India karena dalam konflik India-Pakistan, Indonesia memihak Pakistan.
Baca juga: Alasan Indonesia Mendukung Pakistan
Green kemudian mengirim telegram kepada Menteri Luar Negeri Dean Rusk, menceritakan insiden itu. Dia juga meminta agar diberi perintah bertemu Sukarno atau Menteri Luar Negeri Subandrio, untuk menyampaikan sesuatu yang mengandung ultimatum: setiap kerusakan pada aset milik diplomatik dan konsuler Amerika akan mengakibatkan penutupan Konsulat Jenderal Indonesia di New York.
Green membawa ultimatum itu kepada Subandrio pada 13 September 1965. Subandrio pun menjamin keamanan Kedutaan. Selain itu, dia juga mengizinkan Green menemui pengabar Injil dari Amerika, Dr. Harold Lovestrand, yang ditangkap di Papua atas dugaan membantu orang-orang yang membangkang di sana. Akhirnya, Harold dan keluarganya dibebaskan.
Bantuan Rahasia
Pada malam 30 September 1965, Green menghadiri undangan rekan sejawat dari Selandia Baru, yang mengadakan acara wayang di suatu desa di pinggiran Jakarta. Ketika pulang naik beca pada dini hari, jalan-jalan di ibu kota terasa sunyi. Dia tidak mendengar suara tembakan atau kendaraan lapis baja, padahal dia bertetangga dengan Jenderal TNI Ahmad Yani, salah satu korban.
Green baru tahu apa yang terjadi pada esok harinya setiba di Kedutaan. “Tahulah saya bahwa RRI pada pkl. 8.00 pagi itu telah mengumumkan Gerakan 30 September telah menyelamatkan presiden dari kup CIA yang melibatkan Dewan Jenderal,” kata Green. Pengumuman itu disiarkan oleh Letkol Untung.
Tuduhan Untung terhadap CIA, kata Green, cukup jelas bagi Kedutaan agar secepatnya mengawatkan ke Washington mengenai warna gerakan itu. “Kami berani menduga, Untung dan kebanyakan wakilnya hanyalah bidak-bidak PKI.”
Baca juga: CIA dan Operasi Jakarta di Chile
Dalam telegram pertama pada 5 Oktober 1965 tentang penilaian atas peristiwa G30S, Green menyampaikan bahwa “…perjuangan Indonesia untuk menyingkirkan pengaruh Sukarno telah dimulai.” Green berkesimpulan dan begitu pula yang dilaporkan ke Washington bahwa reputasi Sukarno telah pudar dan tidak akan berkuasa seperti sebelumnya.
“Jenderal Soeharto muncul sebagai tokoh yang dapat menyelamatkan Indonesia dari komunisme dan kekacauan,” kata Green.
Green dapat berhubungan dengan Soeharto melalui Atase Angkatan Darat Amerika, Kolonel Willis Ethel, sahabat Jenderal TNI A.H. Nasution. Meskipun Soeharto tidak dikenal oleh kalangan diplomatik Amerika mungkin karena dia tidak mengikuti pelatihan lanjutan di Amerika. Namun, menurut Green, tidak seperti seniornya dalam hal pangkat dan jenjang studi, yaitu Nasution, Soeharto memiliki keteguhan dan ketetapan hati yang strateginya kami perhitungkan sebagai pemimpin yang dapat menghancurkan komunis.
Selain Soeharto dari militer, tokoh sipil penting yang berhubungan dengan Green adalah Adam Malik.
Dalam Membongkar Kegagalan CIA, Tim Weiner mengungkapkan bahwa setelah terlibat perseteruan dengan Presiden Sukarno pada 1964, Adam Malik bertemu dengan perwira CIA, Clyde McAvoy, di sebuah tempat rahasia dan aman di Jakarta. McAvoy adalah operator rahasia yang satu dekade sebelumnya telah membantu merekrut seorang perdana menteri masa depan bagi Jepang. “Dan dia datang ke Indonesia dengan tugas menyusup ke dalam PKI dan pemerintahan Sukarno,” tulis Weiner.
Baca juga: Ironi Operasi CIA di Indonesia
Menurut Weiner, Adam Malik diperkenalkan kepada McAvoy oleh seorang pengusaha Jepang dan mantan anggota partai komunis Jepang. Sejarawan Aiko Kurasawa meyakini orang itu adalah Shigetada Nishijima yang pernah tinggal lama sebelum Indonesia merdeka. Dia telah bekerja sama dengan para pemuda pergerakan, termasuk Adam Malik, mantan seorang Marxis.
Kepada Weiner, McAvoy mengaku merekrut Adam Malik: “Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut.” Setelah perekrutan Malik, CIA mendapat persetujuan untuk meningkatkan program operasi rahasianya. Malik memanfaatkan hubungannya dengan CIA untuk mengadakan serangkaian pertemuan rahasia dengan Green.
Pada 14 Oktober 1965, Green mengirim telegram kepada Kementerian Luar Negeri sebagai jawaban atas pertanyaan tentang Angkatan Darat. Intinya “segala sesuatu yang kita lakukan bagi Angkatan Darat akan bersifat hati-hati atau rahasia.”
Ketika telegram itu diumumkan (deklasifikasi), kata Green, beberapa pengamat kebijakan luar negeri Amerika terhadap Indonesia tahun 1965 menaruh perhatian terhadap kata “rahasia” yang dianggap sebagai bukti bahwa Amerika terlibat dalam operasi rahasia dalam mendukung Angkatan Darat menggempur komunis.
Green mengakui “satu-satunya bantuan materi yang kami berikan dengan sebutan ‘rahasia’ adalah beberapa peralatan walkie-talkie dan obat-obatan. Walkie-talkie itu mula-mula disediakan Atase Angkatan Darat untuk Kedutaan, tapi kami orang-orang sipil tidak menggunakannya. Saya membuat keputusan untuk memberikan beberapa walkie-talkie Kedutaan kepada Angkatan Darat begitu kup pecah, ketika keselamatan Nasution dan Soeharto terancam. Peralatan tersebut (tiga walkie-talkie yang pertama) disampaikan kepada Nasution atas saran ajudannya, melalui Kolonel Ethel.”
Baca juga: Operasi Terakhir Petinggi CIA di Indonesia
Weiner menyebut Green memberikan 14 buah walkie-talkie yang ada di Kedutaan yang digunakan untuk komunikasi darurat kepada Soeharto. “Hal ini memberikan keamanan internal tambahan bagi dia dan semua perwira tingginya,” tulis Weiner.
Green juga mengakui bahwa Amerika kemudian memberikan bantuan walkie-talkie, handy-talkie atau peralatan semacam itu senilai kurang lebih $40.000 kepada Angkatan Darat. Alat komunikasi itu, menurut Weiner, “merupakan suatu cara bagi CIA untuk memonitor apa yang sedang Angkatan Darat kerjakan.”
Dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, sejarawan John Roosa mengungkap bahwa Angkatan Darat memerlukan peralatan komunikasi untuk menghubungkan berbagai markas di seluruh Indonesia agar mereka bisa mengkoordinasi dengan lebih baik gerakan melawan PKI. Pada akhir 1965, Amerika menerbangkan perangkat komunikasi radio lapangan (mobile radio) yang sangat canggih dari Pangkalan Angkatan Udara Clark di Filipina. Semuanya dikirimkan ke markas Kostrad. Sebuah antena dipasang di depan markas Kostrad.
Wartawan investigasi Kathy Kadhane dalam wawancaranya dengan para mantan pejabat tinggi Amerika di akhir tahun 1980-an menemukan bahwa Amerika telah memantau komunikasi Angkatan Darat melalui radio-radio tersebut. “CIA memastikan bahwa frekuensi-frekuensi yang akan digunakan Angkatan Darat sudah diketahui sebelumnya oleh National Security Agency (NSA, Badan Keamanan Nasional). NSA menyadap siaran-siaran radio itu di suatu tempat di Asia Tenggara, dan sesudah itu para analis menerjemahkannya. Hasil sadapan itu kemudian dikirim ke Washington.”
“Dengan demikian,” tulis Roosa, “Amerika memiliki detail bagian demi bagian laporan tentang penyerangan Angkatan Darat terhadap PKI.”
Baca juga: Kerugian Nasional Akibat Genosida Politik
Dalam kesaksiannya yang dideklasifikasi pada 2007, Green menyebut jumlah korban –PKI dan orang-orang yang dituduh PKI– yang dibunuh setelah peristiwa 1965 mendekati angka 500.000. Ketika ditanya oleh Ketua Komite, Senator J. William Fulbright, apakah CIA punya peran dalam kudeta di Indonesia? Green menjawab tidak.
Menurut Weiner, Amerika terus menyangkal terlibat dengan pembantaian yang dilakukan atas nama antikomunis di Indonesia. Yang diakui, setidaknya oleh Green, adalah “kami tidak menciptakan ombak-ombak itu. Kami hanya menunggangi ombak-ombak itu ke pantai.”
Green menjabat duta besar Amerika di Indonesia sampai 1969. Dia kemudian menjabat asisten Menteri Luar Negeri untuk Urusan Timur Jauh hingga tahun 1973. Selanjutnya, dia diangkat menjadi duta besar untuk Australia hingga tahun 1975.
Setelah itu, Green bekerja sebagai Koordinator Urusan Kependudukan di Departemen Luar Negeri. Setelah pensiun pada 1979, dia bergabung dalam Komite Krisis Kependudukan, organisasi nirlaba yang memerangi kelebihan penduduk. Dia meninggal dunia karena serangan jantung pada 6 Juni 1998.