Sehari setelah Peristiwa Gerakan 30 September 1965, Brigjen TNI Sucipto, ketua G-V Koti (Komando Operasi Tertinggi), membentuk KAP Gestapu (Kesatuan Aksi Pengganyangan Gerakan September Tiga Puluh). Ini adalah front aksi pertama yang dibentuk untuk melawan PKI. Ketuanya Subhan Z.E. dari Nahdlatul Ulama dan Sekretaris Harry Tjan Silalahi dari Partai Katolik.
Sucipto kemudian memfasilitasi pertemuan para aktivis antikomunis dari berbagai organisasi (NU, HMI, PMKRI, Pemuda Muhammadiyah, PII, Sekber Golkar, Front Nasional, Gasbindo, Gemuis, KBKI, Partai Katolik, dan PSII), untuk bertemu dengan Panglima Kostrad Mayjen TNI Soeharto di markas Kostrad.
Sesudah mengadakan rapat tertutup, menurut John Roosa dalam Dalih Pembunuhan Massal: Gerakan 30 September dan Kudeta Suharto, para pimpinan kelompok itu menyelenggarakan konferensi pers (rapat umum) pada 4 Oktober 1965. Yang terlibat di dalamnya adalah orang-orang semacam Subchan Z.E. dari Nahdlatul Ulama, yang sejak lama bekerja sama dengan para perwira Angkatan Darat yang anti-PKI. Dengan adanya kerja sama sebelumnya, mereka mampu dengan cepat mengorganisasikan diri.
Dalam rapat umum di Taman Sunda Kelapa itu, KAP-Gestapu mengutuk G30S/PKI dan menuntut pembubaran PKI. KAP-Gestapu mengadakan rapat umum kedua yang lebih besar di Taman Suropati pada 8 Oktober 1965. Aksi itu mendesak Presiden Sukarno untuk membubarkan PKI beserta ormas-ormasnya.
Baca juga: Agen CIA Pertama di Indonesia
Menurut Geoffrey B. Robinson dalam Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, alih-alih menjadi badan sipil yang independen sebagaimana kelihatannya, KAP-Gestapu disiapkan atas inisiatif pimpinan Angkatan Darat. Kelompok ini secara efektif berguna sebagai komando aksi politik antikomunis bagi Angkatan Darat.
Hal itu diakui oleh Adam Malik –kemudian menjadi Menteri Luar Negeri– bahwa “para mahasiswa bisa bergerak karena mereka memiliki hubungan dengan Angkatan Darat. Angkatan Darat memberi tahu mereka mengenai kapan dan seberapa banyak mereka akan bergerak.”
Geoffrey menyebut pembentukan KAP-Gestapu juga memicu banyak pendirian badan koordinasi dan kesatuan aksi. Semua kelompok tersebut mendapatkan dukungan pihak Angkatan Darat. Organisasi baru yang paling aktif adalah KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia), KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia), dan organisasi lulusan universitas, KASI (Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia). Selain itu, pihak Angkatan Darat juga membentuk organisasi serupa di tingkat daerah.
Baca juga: Ironi Operasi CIA di Indonesia
KAMI/KAPPI mengadakan demonstrasi besar menyuarakan tiga tuntutan, dikenal dengan Tiga Tuntutan Rakyat (Tritura): Pembubaran PKI beserta ormas-ormasnya, perombakan Kabinet Dwikora, dan turunkan harga pangan.
“Meski penampilan dan namanya terdengar seperti sekumpulan anak kelas menengah yang ramah,” tulis Geoffrey, “kesatuan-kesatuan aksi mahasiswa ini memainkan peran krusial dalam kampanye kekerasan melawan kaum kiri pada 1965-1966.”
Menurut Roosa, untuk membantu KAP-Gestapu mengadakan demonstrasi-demonstrasi dan melaksanakan “tindakan-tindakan represif yang ditujukan terhadap PKI”, pada awal Desember 1965, Marshall Green, Duta Besar Amerika untuk Indonesia, memerintahkan pemberian dana sebesar Rp50 juta kepada KAP-Gestapu lewat Adam Malik.
Operasi Tas Hitam
Amerika Serikat berusaha melawan PKI dan menggulingkan Presiden Sukarno sejak tahun 1950-an. Dari mendukung Partai Masyumi dalam Pemilu 1955 hingga pemberontakan PRRI/Permesta. Sampai akhirnya pecah peristiwa Gerakan 30 September 1965 yang mengakhiri riwayat PKI sekaligus menjatuhkan Sukarno dari kekuasaan. Paman Sam pun senang.
Dalam Membongkar Kegagalan CIA, Tim Weiner mengungkap bahwa Marshall Green mengadakan pertemuan dengan Adam Malik di tempat yang rahasia dan “mendapatkan gambaran yang sangat jelas tentang apa yang dipikirkan Soeharto dan apa yang dipikirkan Malik serta apa yang mereka usulkan untuk dilakukan” buat membebaskan Indonesia dari komunisme melalui gerakan politik baru yang mereka pimpin, yang disebut KAP-Gestapu.
Ketika terbit versi terjemahannya dalam Bahasa Indonesia pada 2008, buku Weiner itu memicu kontroversi karena menyebut Adam Malik direkrut CIA. Tentu saja keluarganya membantah.
Baca juga: CIA dan Operasi Jakarta di Chile
Weiner menyebut Adam Malik direkrut oleh perwira CIA, Clyde McAvoy pada 1964. “Saya merekrut dan mengontrol Adam Malik. Dia adalah pejabat Indonesia tertinggi yang pernah kami rekrut,” kata McAvoy dalam wawancara dengan Weiner pada 2005.
Green melaporkan perkembangan di Indonesia kepada William “Bill” Bundy, Asisten Menteri Luar Negeri untuk urusan Timur Jauh dan analis CIA. Bill dan saudaranya, McGeorge Bundy, Penasihat Badan Keamanan Nasional (NSA), memutuskan bahwa Soeharto dan KAP-Gestapu layak mendapatkan bantuan Amerika.
Namun, Green mengingatkan mereka bahwa bantuan itu tidak boleh berasal dari Pentagon atau Dertemen Luar Negeri karena tidak akan bisa dirahasiakan dan risiko politisnya sangat besar. “Ketiga alumnus Groton School itu sepakat bahwa uang itu harus ditangani oleh CIA,” tulis Weiner.
Mereka sepakat untuk mendukung militer Indonesia dalam bentuk bantuan obat-obatan senilai $500.000 yang akan dikirimkan melalui CIA. Angkatan Darat akan menjual obat-obatan tersebut untuk mendapatkan uang tunai.
Baca juga: Agen CIA Merampok Bank Indonesia
Setelah berunding dengan Bernardo Hugh Tovar, Kepala Stasiun CIA di Jakarta, Green mengirimkan pesan telegram kepada Bill Bundy pada 2 Desember 1965, yang merekomendasikan pembayaran uang dalam jumlah yang cukup besar kepada Adam Malik.
Green menulis: “Ini untuk menegaskan persetujuan saya sebelumnya bahwa kita menyediakan uang tunai sebesar Rp50 juta (sekitar $10.000) buat Malik untuk membiayai semua kegiatan gerakan KAP-Gestapu, kelompok aksi yang beranggotakan warga sipil tetapi dibentuk oleh militer…Kesediaan kita untuk membantu dia dengan cara ini, menurut saya, akan membuat Malik berpikir bahwa kita setuju dengan peran yang dimainkannya dalam semua kegiatan anti-PKI, dan akan memajukan hubungan kerja sama yang baik antara dia dan Angkatan Darat. Kemungkinan terdeteksinya atau terungkapnya dukungan kita dalam hal ini sangatlah kecil, sebagaimana setiap ‘operasi tas hitam’ yang telah kita lakukan.”